Search
Close this search box.
EcoStory

Sidang Adat Pengakuan Hak Gelek Ulim Abgies Pela dan Ulimpa Obokmala Berlangsung Baik

Bagikan Tulisan
Sidang adat pengakuan hak gelek (marga) dipandu oleh tiga orang nedinbulu (hakim adat) dari Dewan Adat Distrik Suku Moi di Klayili yang berperan sebagai pengatur dan penengah sidang. Ketiga nedinbulu itu adalah Leonardus Su (Kiri), Yunus A. Samolo (tengah), Ismail Sapisa (kanan).

Dewan Adat Suku Moi menggelar Sidang Adat Pengakuan Hak Gelek (Marga) Ulim Abgies Pela dan Ulimpa Obokmala pada Jumat, 13 Mei 2022, di Kampung Klayili. Yohanis Sawisa, Kepala Distrik Klayili, Kabupaten Sorong, Papua Barat, secara resmi membuka acara yang dihadiri oleh Kepala Kampung Kwakeik, Yakob Ulim, perwakilan Bupati Sorong, Luther Salamala, dan Ketua Lembaga Masyarakat Adat (LMA) Malamoi, Silas O. Kalami tersebut. 

Di hadapan lebih dari 60 peserta yang menghadiri sidang adat tersebut, Silas menjelaskan bahwa sidang adat merupakan aturan adat bagi setiap pemilik tanah untuk mendapatkan pengakuan hak atas tanah, terutama dari pemilik tanah yang berbatasan langsung. Sidang adat juga menjadi syarat untuk mendapatkan pengakuan hak atas tanah dari Pemerintah Daerah sesuai Perda No. 10 Tahun 2017 dan Perbup Sorong No. 6 Tahun 2020. Hasil sidang adat akan dilaporkan kepada Panitia Masyarakat Hukum Adat (PMHA) Kabupaten Sorong yang telah dibentuk dengan SK. Bupati Sorong No. 224/KEP. 408/XI/2021 dan akan dilakukan verifikasi sebelum penetapan oleh Bupati. 

Baca juga: Proses Pengakuan Wilayah Adat dan Masyarakat Hukum Adat di Papua Barat Kini Bisa Lebih Singkat

Wilayah adat yang ditempati Gelek Ulim Abgies Pela dan Ulimpa Obokmala berada di Kampung Kwakeik berbatasan langsung dengan lima Gelek atau marga, yaitu Ulim Abgies Kiem, Ulim Abya Pela, Mobalen Klatomok, Kadakolo Awenolo, dan Kadakolo Tiliwolo. Hal ini dituturkan oleh Pilemon Ulimpa, pengurus IPMKKR (Ikatan Pelajar Mahasiswa Kampung Kwakeik Raya). “Karena itu, IPMKKR bertugas memastikan kehadiran lima Gelek yang berbatasan dengan wilayah adat Gelek Ulim Abgies Pela dan Ulimpa Obokmala,” kata Pilemon.

Sidang adat pengakuan hak ini merupakan yang kedua di Tanah Moi. Sebelumnya, pada 2021, sidang adat pertama telah digelar untuk pengakuan hak Gelek Gilik dan Malak Malawilis Pasa. Sidang adat ini memiliki keistimewaan karena membahas pengakuan hak dua Gelek pada satu wilayah adat. 

Sidang adat dipandu oleh tiga orang nedinbulu (hakim adat) dari Dewan Adat Distrik Suku Moi di Klayili yang berperan sebagai pengatur dan penengah sidang. Ketiga nedinbulu itu adalah  Yunus A. Samolo, Ismail Sapisa, dan Leonard Su. 

Baca juga: Harapan Masyarakat dan Pemuda untuk Pergub Penetapan Pengakuan Masyarakat Adat di Papua Barat

Pada sesi pertama, nedinbulu memberikan kesempatan kepada Gelek Ulim Abgies Pela dan Ulimpa Obokmala untuk memberikan keterangan bagaimana satu wilayah adat telah dikuasai bersama. Sesi kedua, nedinbulu meminta keterangan perihal kebenaran batas-batas wilayah adat kepada lima Gelek yang berbatasan, yaitu Ulim Abgies Kiem, Mobalen Klatomok, Ulim Abya Pela, Kadakolo Awenolo dan Kadakolo Tiliwolo. 

Setelah mendengarkan keterangan dari semua pihak, nedinbulu mengumumkan dua keputusan penting. Pertama, Gelek Ulim Abgies Pela dan Ulimpa Obokmala telah saling mengakui hak atas wilayah adat di Kampung Kwaekik dengan luas 955,26 hektare. Gelek Ulim Abgies Pela menjadi  pemilik hak mutlak (eges pebemun) atau orang pertama dan Gelek Ulimpa Obokmala memiliki hak makan atau sebagai pihak kedua. Keputusan kedua, lima Gelek yang berbatasan, yaitu Ulim Abgies Kiem, Ulim Abya Pela, Kadakolo Awenolo, Kadakolo Tiliwolo, dan Mobalen Klatomok, telah mengakui batas-batas wilayah adat yang disepakati bersama. 

Kepala Kampung Kwakeik, Yakob Ulim, sangat mendukung penataan wilayah adat marga di Kwakeik tersebut. Penataan ini menguatkan upaya pembangunan kampung berbasis wilayah adat. “Ini pekerjaan besar. Orang tua rintis untuk kita, generasi ke depan,” tegas Yakob. 

Baca juga: Setelah Pencabutan Izin Perusahaan Sawit di Papua Barat, Lalu Bagaimana?

Sementara itu, Kepala Distrik Klayili, Yohanis Sawisa, bersyukur atas terselenggaranya sidang adat. “Hari ini saya merasa sesuatu yang sangat luar biasa. Saya tidak pernah merasakan pengalaman seperti ini,” ungkap Yohanis.  

Secara khusus, Yohanis sangat mengapresiasi Gelek Ulimpa Obokmala atas teladannya dalam menjalankan amanah dari dahulu hingga saat ini dalam menjaga wilayah marga lain. “Hal yang dilakukan Bapak Ulimpa, saat ini menjadi contoh, panutan, barometer untuk marga-marga lain supaya melakukan hal yang sama. Jangan klaim orang lain pu hak,” tegas Yohanis. 

Menanggapi sidang adat tersebut, Anggiana Ginanjar Adinugraha, staf EcoNusa yang bertanggung jawab untuk pemetaan wilayah adat, menyampaikan bahwa EcoNusa tetap berkomitmen mendukung seluruh elemen masyarakat adat Suku Moi, baik Gelek maupun lembaga-lembaga adat. Khusus di Distrik Klayili, EcoNusa telah mendukung lima  marga di Kampung Kwakeik, yaitu Ulim Abgies Pela, Ulimpa Obokmala, Ulim Abya Pela, Kadakolo Awnolo, dan Mobalen Klatomok. “EcoNusa sangat terbuka, selalu berupaya sesuai kapasitasnya untuk memasilitasi Gelek-gelek yang sudah siap memetakan wilayah adat untuk diusulkan penetapannya oleh Bupati Sorong,” kata Anggiana.

Baca juga: Saksi Ahli: Izin Bisa Dicabut karena Mengabaikan Kewajiban

Sebagai Ketua LMA Malamoi, Silas berpesan agar segera dilaksanakan sidang adat pengakuan hak untuk tiga Gelek di Kwakeik yang sudah selesai pemetaan, yaitu Ulim Abya Pela, Kadakolo Awenolo, dan Mobalen Klatomok. “Gelek-gelek yang belum melakukan pemetaan agar segera mempersiapkan diri dan dapat meminta bantuan kepada jaringan yang selama ini mendukung masyarakat adat, termasuk EcoNusa,” kata Silas. 

Silas juga meminta Gelek Ulim Abgies Pela dan Ulimpa Obokmala untuk hadir pada saat verifikasi oleh PMHA Kabupaten Sorong. LMA Malamoi sebagai bagian dari Tim PMHA Kabupaten Sorong akan mengawal prosesnyadi kabupaten.  

“Ketika Gelek memiliki keinginan kuat, tidak ada proses yang sulit untuk mendapatkan pengakuan. Semua akan berjalan lancar selama saling menghargai dan menghormati.Itu yang penting,” tegas Silas.

Baca juga: Dua Perusahaan Sawit yang Menggugat Bupati Sorong Selatan Tidak Pernah Beraktivitas 

Pengakuan wilayah adat tidak dapat dipandang hanya sebagai legalitas yang berupa Surat Keputusan (SK) dari pemerintah. “Lebih dari itu, yang lebih substantif adalah penyelesaian atau resolusi konflik. Batas-batas wilayah adat bukanlah pemisah, melainkan simbol persatuan. Warisakan perdamaian, bukan permusuhan kepada anak cucu,” tegas Anggiana. 

Editor: Leo Wahyudi

EcoBlogs Lainnya

Copyright ©2023.
EcoNusa Foundation
All Rights Reserved