Search
Close this search box.
EcoStory

STS Hanya Permulaan

Bagikan Tulisan
Salah satu kelas teori di Sekolah Transformasi Sosial (STS) Mogatemin, Sorong Selatan. STS berlangsung pada 26-31 Maret 2022. (Yayasan EcoNusa/Alberth Yomo)

Sekolah Transformasi Sosial (STS) yang diinisiasi oleh Yayasan EcoNusa adalah bagian dari sebuah rangkaian edukasi bagi masyarakat di kampung. Proses ini diawali dengan kunjungan ke kampung-kampung yang ditargetkan untuk survei singkat dan wawancara perangkat kampung. Kunjungan tersebut dilakukan untuk mengetahui potensi yang ada di masing-masing daerah. Setahun terakhir, EcoNusa menyasar kampung-kampung yang wilayahnya masuk dalam konsesi perkebunan sawit yang izinnya baru dicabut. 

Dari hasil pendataan tersebut, EcoNusa lalu memfasilitasi kelas-kelas teori dan praktik yang disesuaikan dengan potensi dan kebutuhan masyarakat. Masyarakat diberikan tambahan pengetahuan dan keahlian agar mampu mengelola potensi yang mereka miliki hingga mampu menjualnya ke pasar. Harapannya, masyarakat akan mendapatkan tambahan penghasilan dari hasil pengolahan itu.

Konsultan EcoNusa untuk urusan bisnis yang menjadi fasilitator utama pada kegiatan STS Mogatemin di Sorong Selatan, Yohanes Dwi Subagyo, menjelaskan bahwa dalam STS, selain memperkuat kemampuan masyarakat dalam menciptakan produk dari kampung, yang lebih penting adalah masyarakat mampu menyusun, membaca, dan mengelola data serta informasi. “Karena data dan informasi itu yang akan menjadi dasar dalam pengelolaan potensi kampungnya, baik untuk jangka pendek, jangka menengah, hingga jangka panjang,” kata Yohanes.

Baca Juga: Peserta STS Mogatemin Berjanji Olah Potensi Udang di Kampungnya

Selain itu, dalam STS, para peserta yang merupakan kader terbaik kampung dibekali dengan keterampilan menyampaikan data. Sehingga mereka dapat menjelaskan data dan informasi kepada masyarakat yang lebih luas, berdasarkan pengalaman dan teknik sederhana yang mereka pelajari.

Pada STS ke-6 di Mogatemin yang berlangsung pada 26-31 Maret 2022, misalnya, materi pembelajaran yang diberikan disesuaikan dengan masukan para kepala kampung berdasarkan karakteristik dan potensi komoditas yang dimiliki. Dari 13 kampung yang mengikuti STS, potensi paling dominan yang mereka miliki adalah sagu dan udang. Sedangkan berkebun secara tradisional yang telah menjadi tradisi turun-temurun diusulkan untuk diperkuat agar dapat meningkatkan produktivitas lahan.

Karena berpijak dari kebutuhan masyarakat, semua peserta mengikuti materi dengan serius. Para pemateri yang dihadirkan adalah mereka yang memiliki pengetahuan dan pengalaman yang mumpuni. Maka, tak heran proses transfer pengetahuan ini dapat berjalan dengan baik dan cukup memuaskan.

Baca Juga: Meski Panas Menyengat, Semangat Peserta Kelas Pertanian di STS Mogatemin Tak Surut

Meskipun pada bagian lain ada transfer pengetahuan yang belum sempurna, hal itu tidak menjadi halangan karena sesuai filosofi STS yaitu terus berjalan sambil belajar atau berjalan sambil membuat jalan. Inilah yang kemudian menjadi kekuatan EcoNusa untuk berani bekerja bersama masyarakat dalam mengangkat potensi alamnya agar dikelola secara bijaksana untuk memberikan kesejahteraan dan menjamin keberlanjutan hidup Orang Asli Papua (OAP) di tanahnya sendiri.

“Minimal masyarakat mampu mencukupi kebutuhan hidupnya sendiri dengan cara-cara yang sederhana,” ujar Yohanes.

Menurut dia, EcoNusa dan lembaga lainnya hanya starter, pemerintah punya kewajiban untuk memperhatikan persoalan masyarakat. Karena itu, sangat diharapkan peran pemerintah untuk memperkuat titik-titik yang berada dalam wilayah kewenangan pemerintah. Lembaga lainnya seperti EcoNusa akan mengawal dan mendukung proses itu demi percepatan kesejahteraan masyarakat di kampung-kampung.

Baca Juga: Air, Sumber Terang Masyarakat Moi Kelim

Melalui STS Mogatemin tersebut, diharapkan kolaborasi strategis antara Pemerintah Kabupaten Sorong Selatan dan EcoNusa dapat lebih ditingkatkan. Sehingga, apa yang sudah dimulai ini dapat berproses dengan baik dan menghasilkan sesuatu yang bermanfaat bagi OAP di kampung, terutama di kampung-kampung terpencil yang mendiami daerah pesisir dan kawasan hutan.

Tokoh masyarakat Kampung Mogatemin, Imanuel Tigori mengaku senang dengan kegiatan yang dilakukan oleh EcoNusa di kampungnya. Dari pengamatannya selama beberapa hari kegiatan, ia menilai ilmu yang diberikan kepada para peserta sangat luar biasa, karena sesuai dengan potensi yang ada di kampung masing-masing peserta.

“Bapak pernah ke Riau, di sana bapak lihat mereka buat mie dari sagu, kue kering dari sagu, dan macam-macam kue. Bapak lihat di sini juga bisa seperti itu. Jadi harapan bapak, jangan hanya papeda, tapi anak-anak muda ini bisa juga buat kue atau mie dari sagu, karena kitong pu (sagu kita) sagu banyak,” ujarnya.

Baca Juga: Workshop Kepala Kampung, Agar Hutan Tak Lagi Hilang

Kepala Sekolah STS Mogatemin, Matheos Y. Rayar menjelaskan, kegiatan STS tidak berhenti sampai di hari kelima, tapi masih berlanjut hingga tiga bulan ke depan. Para peserta dari tiap kampung akan terus berproses dengan kegiatan, mengikuti agenda sesuai Rencana Tindak Lanjut (RTL), dan EcoNusa akan tetap mendampingi dalam proses itu. “Kami akan terus mendampingi, agar RTL yang mereka buat itu dapat terlaksana di kampungnya,” ujar Matheos.

Dengan pendampingan yang dilakukan, diharapkan para peserta tetap percaya diri dan berfokus melaksanakan yang direncanakan. Sehingga mereka mampu menjadi tuan di daerahnya sendiri untuk mengelola potensi alam di kampungnya dengan baik demi kesejahteraan mereka.

Editor: Leo Wahyudi, Nur Alfiyah, Lutfy Putra

EcoBlogs Lainnya

Copyright ©2023.
EcoNusa Foundation
All Rights Reserved