Search
Close this search box.
EcoStory

Berjalan Sambil Membuat Jalan

Bagikan Tulisan
Ion Subagyo (kanan), fasilitator Sekolah Transformasi Sosial Kampung Tarsa menanggapi rencana tindak lanjut Kampung Klasman yang dipresentasikan oleh Dina Fadan (kiri). (Yayasan EcoNusa/Lutfy Putra)

Suatu pagi yang cerah pada akhir Juni 2022, Dina Fadan dan Sereptura Fadan mendapatkan kabar gembira usai kedatangan Jefri Fadan, Kepala Kampung Klasman, Distrik Malabotom, Kabupaten Sorong, Provinsi Papua Barat. Keduanya yang baru saja selesai sarapan sagu bakar, roti, dan teh manis bergembira karena mereka diutus untuk mengikuti pelatihan Sekolah Transformasi Sosial (STS) yang diselenggarakan oleh Yayasan EcoNusa.

STS berlangsung selama empat hari pada 26 hingga 29 Juni 2022 di Kampung Tarsa, Distrik Konhir, Kabupaten Sorong. Dua hari sebelumnya, pada 24 dan 25 Juni 2022, sebelas kepala kampung yang tersebar di empat distrik mengikuti lokakarya kepala kampung di tempat yang sama.

“Kami senang sekali ditunjuk menjadi kader kampung untuk mengikuti pelatihan ini. Ilmu dan pengalaman yang didapat bukan hanya untuk kami sendiri tapi juga untuk dibagikan dan dikembangkan bersama masyarakat,” kata Dina.

Baca juga: STS Tarsa, Bersama Membangun Kampung

Kampung Klasman baru berdiri pada 2014 setelah pemekaran wilayah dari kampung induk, yakni Kampung Klawana, Distrik Klamono. Kampung Klasman yang dihuni oleh 23 kepala keluarga dengan total 107 jiwa itu masuk ke dalam area konsesi perkebunan kelapa sawit milik PT Inti Kebun Lestari (PT IKL). Setelah dievaluasi, Bupati Sorong Johny Kamuru mencabut izin PT IKL pada 27 April 2021.

Kampung Klasman

Seperti kampung-kampung di Tanah Papua pada umumnya, fasilitas umum dan sosial di Kampung Klasman belum memadai. Hanya ada jalan, kantor dan kendaraan kampung, air bersih, gereja, dan Puskesmas pembantu, sebagai aset yang dimiliki Kampung Klasman. Listrik hanya menerangi kampung pada malam hari. Sumbernya berasal dari genset berbahan bakar solar ke berbagai lampu dan peralatan elektronik di tiap rumah.

Hanya sebagian rumah di Kampung Klasman yang masuk dalam kategori rumah permanen. Sebagian lagi masih menggunakan papan untuk fondasi, dinding, dan lantai. Selain itu, Kampung Klasman hanya memiliki empat kamar mandi dan toilet yang digunakan secara bergantian oleh seluruh masyarakat. “Harapannya ke depan tiap rumah ada satu, supaya tidak kesulitan saat malam atau hujan,” kata Dina.

Pemetaan aset dan potensi Kampung Klasman sebagai basis data dan informasi perencanaan pembangunan kampung. (Yayasan EcoNusa/Lutfy Putra)

Terkait mata pencaharian, masyarakat Kampung Klasman hidup dengan mengolah sagu. Mereka juga berkebun menggunakan sistem perladangan berpindah dan kebun kecil di pekarangan rumah. Ada tanaman rica, pisang, gedi, kangkung, jagung, keladi, dan petatas. Hanya beberapa keluarga yang memiliki kebun cukup luas hingga dapat menanam tanaman jangka panjang seperti durian, langsat, rambutan, nangka, dan kelapa.

Baca juga: Mengembangkan Kampung Berbasis Potensi dan Aset

Menurut Dina, dalam sekali panen tanaman jangka pendek masyarakat bisa mendapat pendapat sekitar Rp500 ribu-1 juta setelah dikurangi hasil panen untuk keperluan pribadi, sedangkan tanaman jangka panjang sekitar Rp 1-2 juta. “Kami ingin mendalami ilmu pertanian. Selama ini yang kami tahu cuma cangkul dan tanam. Tidak tahu ada pupuk apa yang harus digunakan,” ungkapnya.

Kondisi Kampung Klasman dapat menjadi representasi kondisi kampung-kampung di Tanah Papua. Meski memiliki sumber daya alam yang kaya, kapasitas masyarakat tak berbanding lurus agar dapat mengelola kekayaan tersebut secara adil dan berkelanjutan. Penerapan program pembangunan dari berbagai pihak berlalu dengan cepat hingga peningkatan kapasitas belum terbentuk.

Membuat Jalan

Menyadari hal ini, Kepala Sekolah STS Sorong, Kristian A. Renyan, mengatakan lokakarya kepala kampung dan STS merupakan bagian dari program School of Eco Involvement (SEI). Program tersebut bertujuan membentuk ketangguhan masyarakat dalam melindungi dan mengelola sumber daya alam di wilayah adat masyarakat.

Baca juga: Membuka Egek, Melihat Deposito Alami Suku Moi

Menurut Kristian, filosofi pembentukan ketangguhan masyarakat tercermin dari jargon “berjalan sambil membuat jalan” yang digunakan pada setiap penyelenggaraan STS. Selain di Kampung Tarsa, Distrik Konhir, STS telah diselenggarakan di Negeri Morekau, Seram Bagian Barat, Kampung Mogatemin, Sorong Selatan, Kampung Kufuriyai, Kabupaten Kaimana, Kampung Waninggap Nanggo, Merauke.

“Yel-yel atau jargon berjalan sambil membuat jalan mencerminkan kondisi masyarakat. Masyarakat Tanah Papua yang belum menjadi subjek pembangunan sepenuhnya memperkuat diri mereka sendiri. Mereka berjalan menuju masyarakat yang tangguh secara ekonomi dan sosial. Untuk mencapai itu, masyarakat membuat jalan sendiri dengan menyesuaikan adat, budaya, dan kondisi kampung masing-masing,” kata Kristian.

Sebelum pelaksanaan STS, Divisi Program Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Ketangguhan Masyarakat Yayasan EcoNusa membuat studi pendahuluan terkait potensi pengembangan perekonomian dalam satu distrik. Termasuk hal-hal yang dapat meningkatkan potensi ekonomi masyarakat, komoditas unggulan, serta alokasi terbesar pengeluaran masyarakat.

Baca juga: Kenari, Pohon Pelindung yang Menjadi Sumber Penghidupan

Berdasarkan studi pendahuluan tersebut, STS di Kampung Tarsa berfokus pada pengembangan pertanian organik. Hal ini didapat dari tingkat kesuburan dan kecocokan tanah dalam pengembangan komoditas keladi. “Fokusnya akan berbeda dengan wilayah lain. Di Merauke misalnya, mereka diajarkan membuat pangkalan data dan pertanian organik. Sedangkan STS di Sorong Selatan berfokus pada pertanian, perikanan, dan kehutanan,” ungkap Kristian.

Pada hari ketiga pelaksanaan STS, semua peserta mendapatkan pengetahuan baru tentang pertanian organik yang dipandu oleh Ladino Suyoto, fasilitator pertanian. Sesi pertama dimulai dengan praktik langsung di kebun Kampung Tarsa tentang bagaimana membersihkan lahan dari tanaman pengganggu, ciri-ciri tanaman terserang penyakit, menggemburkan tanah, dan penyemaian benih.

Pengukuran tingkat intensitas cahaya pada lahan kebun keladi di Kampung Tarsa. (Yayasan EcoNusa/Lutfy Putra)

Menjelang sore, Ladino mengajarkan peserta STS membuat pestisida organik menggunakan bahan-bahan yang mudah didapatkan di sekitar kampung seperti sereh, daun pepaya, dan daun sirsak. Sedangkan pupuk organik dibuat dari bahan air cucian beras, bawang merah, bonggol pisang, EM, dan molase atau tetes tebu.

Rencana Tindak Lanjut

Pada tahap akhir STS Kampung Tarsa, para peserta dari sebelas kampung diminta membuat rencana tindak lanjut sebagai pedoman yang akan mereka kerjakan bersama masyarakat. Setelah pulang ke kampung masing-masing, para peserta mengajarkan apa yang mereka dapat ke masyarakat dengan membuat Sekolah Kampung selama tiga bulan.

Baca juga: W20: Perempuan Tonggak Penting Pembangunan Desa

Dalam rencana membangun ketahanan pangan, Dina dan Sereptura berencana menanam pisang, keladi, patatas, kasbi, jagung, tomat, dan rica. Selain itu, mereka juga hendak mengembangkan budidaya ikan nila dan mujair. “Saya mau membuat tambak udang juga. Karena di Klasman udang banyak sekali di sungai di depan rumah,” ujar Sereptura.

Selain materi yang didapat selama STS, Sereptura dan Dina berkeinginan menyempurnakan informasi dan data Kampung Klasman. Mereka ingin Kampung Klasman memiliki peta yang dapat digunakan dalam proses pengakuan wilayah adat oleh panitia masyarakat hukum adat yang kini tengah berjalan.

“Kami juga berharap pemerintah bangun jalan dari kampung ke kota. Sekarang kalau mau ke kota untuk jual hasil panen, habiskan Rp500 ribu sampai Rp1 juta untuk minyak ke SP1 (Satuan Pemukiman), lalu naik taksi lagi bayar Rp500 ribu. Lama perjalanan 2 jam lebih. Kalau sudah ada jalan raya yang menghubungkan dari kampung ke kota tidak buang biaya,” ungkap Sereptura.

Editor: Leo Wahyudi & Nur Alfiyah

EcoBlogs Lainnya

Copyright ©2023.
EcoNusa Foundation
All Rights Reserved