Search
Close this search box.
EcoStory

Dua Perusahaan Sawit yang Menggugat Bupati Sorong Selatan Tidak Pernah Beraktivitas

Bagikan Tulisan
Kepala Distrik Teminabuan, Frans Salmon Thesia (kanan), dan Kepala Distrik Wayer, Yonias Kaisala (kiri), menjadi saksi dalam sidang gugatan terhadap bupati sorong selatan yang dilayangkan oleh PT ASI dan PT PUA. (Yayasan EcoNusa/Roberto Yekwam)

Sidang gugatan terhadap Bupati Sorong Selatan, Samsudin Anggiluli, oleh dua perusahaan perkebunan kelapa sawit kembali digelar di Pengadilan Tata Usaha Negara Jayapura pada Selasa, 12 April 2022. Dalam sidang ini, tim Bupati Sorong Selatan menghadirkan saksi Kepala Distrik Teminabuan, Frans Salmon Thesia, dan Kepala Distrik Wayer, Yonias Kaisala. Keduanya menerangkan bahwa selama menjabat sebagai kepala distrik, mereka tidak pernah mendengar nama PT Anugerah Sakti Internusa (ASI) dan PT Persada Utama Agromulia (PUA). Kedua perusahaan ini juga tidak pernah beroperasi atau berkegiatan di kedua wilayah mereka.

Dalam sidang, kuasa hukum dan majelis hakim mempertanyakan tentang aktivitas kedua perusahaan. Misalnya adanya pemberitahuan dari perusahaan, pembangunan base camp atau kantor cabang, hingga membuka penerimaan karyawan. Kuasa hukum dan majelis hakim juga mempertanyakan tentang pelepasan tanah oleh masyarakat kepada perusahaan. Semua pertanyaan tersebut ditepis oleh Frans dan Yonias.

Dalam kesaksiannya, keduanya mengaku baru mengetahui informasi tentang  adanya perusahaan yang memiliki izin operasi di wilayah adatnya setelah Pemerintah Kabupaten Sorong Selatan mencabut izin tersebut dan aksi demo menolak keberadaan perusahaan sawit yang dilakukan masyarakat adat di Teminabuan.

Baca juga: Proses Pengakuan Wilayah Adat dan Masyarakat Hukum Adat di Papua Barat Kini Bisa Lebih Singkat

Frans mengatakan, ia tidak hanya menjadi aparat pemerintah, tapi juga merupakan putra asli Sorong Selatan yang memiliki hak ulayat atas tanah yang diklaim oleh perusahaan ASI. Sehingga ia tahu betul apa yang terjadi pada daerahnya. ”Kami tidak pernah tahu ada pelepasan tanah adat ke perusahaan, tidak pernah ada pemberitahuan. Padahal saya kepala distrik dan pemilik tanah di wilayah itu,” katanya.

Ia juga membantah bukti yang disodorkan kuasa hukum penggugat tentang adanya surat dukungan dari masyarakat adat kepada perusahaan. “Surat yang masuk dan keluar dari kantor distrik ada nomornya, tapi ini tidak ada nomor suratnya,” ujar Frans.

Kepala Distrik Wayer, Yonias Kaisala (ketiga dari kiri) dan Kepala Distrik Teminabuan, Frans Salmon Thesia (keempat dari kiri) berfoto bersama usai menjadi saksi dalam sidang gugatan terhadap bupati sorong selatan yang dilayangkan oleh PT ASI dan PT PUA. (Yayasan EcoNusa/Roberto Yekwam)

Frans menambahkan, masyarakat sudah menolak ketika PT. ASI mau melakukan sosialisasi pada 2021. “Itu masyarakat bongkar tenda dan kursi-kursi, jadi kegiatan sosialisasi itu tidak jadi dilakukan,” ujarnya.

Yonias juga mengatakan hal yang sama. Menurut dia, sebelum menjadi kepala distrik, hingga menjadi kepala distrik selama 6 tahun terakhir ini, ia tidak pernah mendengar ada perusahaan yang masuk ke wilayahnya. Sama seperti Frans, Yonias juga merupakan putra asli Sorong Selatan dan pemilik wilayah adat dari lokasi yang disengketakan.

Baca juga: Harapan Masyarakat dan Pemuda untuk Pergub Penetapan Pengakuan Masyarakat Adat di Papua Barat

Kesaksian Frans dan Yonias ini menguatkan alasan Pemerintah Kabupaten Sorong Selatan dalam mencabut izin PT. ASI dan PT. PUA di wilayah Distrik Teminabuan, Distrik Konda, dan Distrik Wayer. Izin kedua perusahaan tersebut dicabut pada 2021 sebagai tindak lanjut dari evaluasi perizinan sawit di Provinsi Papua Barat. Hasil evaluasi tersebut menemukan bahwa banyak perusahaan yang melakukan pelanggaran, termasuk PT. ASI dan PT. PUA.  

PT. ASI dan PT. PUA kemudian menggugat keputusan Bupati Sorong Selatan ke PTUN Jayapura. PT. ASI meminta PTUN Jayapura menunda pelaksanaan Keputusan Bupati Sorong Selatan Nomor 025/102/BSS/V/2021 tentang Pencabutan Keputusan Bupati Sorong Selatan Nomor 522/82/BSS/2014 tentang Pemberian Izin Usaha Perkebunan Kepada PT Anugerah Sakti Internusa. Perusahaan tersebut juga meminta PTUN Jayapura menunda Keputusan Bupati Sorong Selatan Nomor 025/104/BSS/V/2021  tentang Pencabutan Keputusan Bupati Sorong Selatan Nomor 522/184/BSS/XII/2013 tentang Pemberian Izin Lokasi untuk keperluan Pembangunan Perkebunan Kelapa Sawit seluas ± 37.000 hektare di Distrik Teminabuan dan Distrik Konda. 

Sedangkan PT. PUA meminta PTUN Jayapura menunda pelaksanaan Keputusan Bupati Sorong Selatan Nomor 025/101/BSS/V/2021 tentang Pencabutan Keputusan Bupati Sorong Selatan Nomor 522/83/BSS/2014 tentang Pemberian Izin Usaha Perkebunan Kepada PT Persada Utama Agromulia. Perusahaan tersebut juga meminta penundaan Keputusan Bupati Sorong Selatan Nomor 025/105/BSS/V/2021 tentang Pencabutan Keputusan Bupati Sorong Selatan Nomor 522/183/BSS/XII/2013 tentang Pemberian Izin Lokasi untuk keperluan pembangunan Perkebunan Kelapa Sawit seluas ± 25.000 hektare di Distrik Wayer dan Distrik Kais.

Baca juga: Setelah Pencabutan Izin Perusahaan Sawit di Papua Barat, Lalu Bagaimana?

Setelah mendengar keterangan saksi, Ketua Majelis Hakim, Firman, menutup sidang dengan nomor perkara 45/G/2021/PTUN.JPR dan Nomor perkara : 46/G/2021/PTUN.JPR tersebut. Sidang akan dilanjutkan pada minggu depan dengan agenda mendengar keterangan saksi ahli.

Kuasa hukum tergugat, Rahman Ramli, menjelaskan bahwa dari keterangan saksi Frans Salmon Thesia dan Yonias Kaisala jelas menunjukkan bahwa PT. ASI dan PT. PUA tidak  beraktivitas di Sorong Selatan. Menurutnya, mereka hanya punya nama, tapi tidak melakukan kegiatan di daerah itu. “Yang paling penting lagi, masyarakat adat setempat tidak menghendaki adanya perusahaan itu, karena itu adalah tanah masyarakat adat yang harus dikembalikan kepada masyarakat adat setempat,” kata Rahman usai sidang.

Editor: Nur Alfiyah, Lutfy Putra, Leo Wahyudi

EcoBlogs Lainnya

Copyright ©2023.
EcoNusa Foundation
All Rights Reserved