Keterlibatan pemuda terhadap isu krisis iklim tak lagi bisa dipandang sebelah mata. Kerusakan bumi akan membuat laju krisis iklim berjalan lebih cepat bila tak ada suara lantang pemuda yang menuntut perubahan. Apalagi, sebagai negara yang tersusun oleh belasan ribu pulau, Indonesia juga berada dalam ancaman serius.
Hal itu menjadi pesan kunci dalam diskusi daring bertajuk “Selamatkan Pesisir Laut, Selamatkan Bumi Kita” dalam rangka memperingati Hari Bumi yang digelar oleh Jaring Nusa pada Jumat, 22 April 2022. “Karena kita adalah anak muda yang akan mendiami bumi hingga puluhan tahun dari sekarang, kita harus bergerak menjadi sahabat bagi bumi,” ujar Nurul Habaib Al Mukarramah, anggota Green Youth Movement.
Nurul mengatakan semakin banyak pemuda yang memiliki kepedulian terhadap krisis iklim. Survei Indikator Politik bersama Yayasan Indonesia Cerah menunjukkan 82 persen responden memiliki kepedulian tinggi terhadap isu krisis iklim. Para responden berada dalam rentang usia 17-35 tahun yang tersebar di seluruh Indonesia.
Baca juga: Merangkul Pemuda di Tahun Politik
Hasil survei Kelompok Diskusi dan Kajian Opini Publik Indonesia pada 2021 menunjukkan hal yang serupa. Dalam wawancara telepon terhadap 1.200 responden dengan rentang usia 14-40 tahun, 77,4 persen pemuda Indonesia memiliki ketertarikan terhadap isu lingkungan hidup. Sebanyak 81,1 persen responden menilai krisis iklim dalam kondisi darurat.
Dalam lingkup yang lebih luas, Badan Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNDP) menggelar survei persepsi publik terhadap krisis iklim di lima puluh negara dengan responden mencapai 1,22 juta orang. Hasil survei menunjukkan 70 persen responden di bawah 18 tahun menyatakan krisis iklim dalam kondisi darurat. Mereka juga memahami pemerintah berperan besar dalam mitigasi laju krisis iklim.
“Laporan IPCC (Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim) sudah menyebutkan pemanasan global tidak hanya sampai 1,5 derajat celsius, bisa jauh di atasnya. Komitmen berbagai negara tidak akan cukup untuk menahan laju pemanasan global,” kata Nurul.
Baca juga: Nasib Demokrasi dan Lingkungan di Tangan Pemuda
Dalam laporan yang dirilis pada akhir Februari 2022, IPCC menggaris bawahi secara khusus dampak krisis iklim yang akan terjadi di Indonesia. Dampaknya akan memengaruhi ekosistem, keanekaragaman hayati, serta kondisi manusia. Tak hanya itu, sebagai negara dengan garis pantai terpanjang kedua di dunia dan tersusun atas lebih dari 17.000 pulau, Indonesia amat rentan terhadap krisis iklim.
IPCC memperkirakan Indonesia akan tenggelam secara perlahan akibat erosi. Kondisi tersebut akan mengakibatkan sekitar 20 juta orang yang tinggal di sekitar pesisir dan pulau-pulau kecil mengalami banjir rob berkepanjangan. Kemudian, intrusi air laut akan meresap masuk ke lahan pertanian dan mengakibatkan gagal panen.
Direktur Yayasan Konservasi Laut (YKL) Indonesia, Nirwan Dessibali, mengatakan bahwa masyarakat yang hidup di kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil berada dalam kondisi yang sangat rentan. Ancaman krisis klim tidak hanya membuat kenaikan permukaan air laut, tapi masyarakat akan menghadapi fenomena tenggelamnya pulau kecil, abrasi, kehilangan sumber perekonomian, hingga ancaman ketahanan pangan.
Baca juga: Baru Sebagian Masyarakat yang Paham Meski Krisis Iklim Mengancam
“Kenaikan muka air laut sudah terjadi di mana-mana. Masyarakat di kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil semakin rentan. Kebijakan reklamasi untuk menghentikan ancaman tersebut tidak akan menghentikan krisis iklim,” ungkap Nirwan.
Berdasarkan hasil studi yang dilakukan oleh Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) pada 2009, kenaikan permukaan air laut di bagian selatan Makassar mencapai 42,09 centimeter. Satu tahun berselang kenaikan permukaan air laut menjadi 69,4 centimeter. Kemudian, diperkirakan kenaikan akan terus berlangsung hingga 88,16 centimeter pada 2025 dan 1,4 meter pada 2100.
“Untuk di Kota Makassar, pada tahun 2025 ada 76,82 hektare wilayah yang akan tergenang banjir rob. Pada 2100 semakin meningkat menjadi 681,05 hektare. Kita akan tenggelam,” kata Nirwan.
Baca juga: Krisis Iklim Mengancam Kesejahteraan Nelayan Indonesia
Bagi Nurul, keterlibatan pemuda untuk menyuarakan krisis iklim dapat dilakukan dengan berbagai macam cara, seperti riset mandiri untuk menambah khazanah informasi terkait krisis iklim dan mengadvokasi isu tersebut menggunakan media sosial. Bersama Walhi dan Yayasan EcoNusa, Green Youth Movement meriset dampak krisis iklim terhadap masyarakat di Pulau Bontosua, Kabupaten Pangkep, Provinsi Sulawesi Utara.
Banjir di Pulau Bontosua terjadi akibat kenaikan permukaan laut dan curah hujan tinggi sekitar bulan Januari-Februari. Pemerintah dan masyarakat membangun pemecah ombak di sekitar pulau sebagai langkah mitigasi. Selain banjir, masyarakat juga menghadapi abrasi. Cuaca yang tak menentu juga menjadi kendala tersendiri bagi nelayan Pulau Bontosua.
“Kami fokus suarakan kehidupan masyarakat pesisir melalui tarian, kampanye laut, teater, dan krisis iklim. Di acara Sail to Campus, kami bangun edukasi bagaimana bahaya sampah plastik dan krisis iklim. Kami juga melakukan aksi di fly over dengan berbagai tuntutan seperti restorasi hutan Sulsel,” ujar Nurul.
Editor: Leo Wahyudi