Search
Close this search box.
EcoStory

Memaksimalkan Potensi Kampung Manyaifun, Raja Ampat

Bagikan Tulisan
Suasana senja di Kampung Manyaifun, Kabupanten Raja Ampat, Papua Barat. (Yayasan EcoNusa/Moch. Fikri)

Siapa sangka, Kampung Manyaifun, sebuah kampung terpencil di Kecamatan Waigeo Barat Kepulauan, Kabupaten Raja Ampat, Papua Barat, memiliki potensi alam yang menakjubkan. Selain memiliki pemandangan alam yang indah, keanekaragaman biologi lautnya pun tak tertandingi. Di sana kita dapat menemukan hewan khas perairan Raja Ampat, yaitu ikan Pari Manta.

Ikan Pari Manta merupakan ikan cantik yang hidup di perairan tropis. Hewan ini terkenal ramah dan sering berenang bersama para penyelam. Ikan ini cukup sulit untuk ditemukan, tetapi dapat kita temukan di Kampung Manyaifun.

Salah satu kekayaan kampung Manyaifun adalah hutan pohon sagu. Pohon sagu dapat dimanfaatkan untuk berbagai kebutuhan seperti bahan makanan pokok, bahan baku dinding dan atap pembangunan homestay, pembuatan tikar atau senat, dan rajutan daun sagu.

Sayang, potensi yang ada di sana belum dikelola dengan maksimal. Masyarakat di sana belum memiliki pengetahuan untuk mengembangkan potensi daerahnya. Padahal sektor pariwisata terutama ekowisata dapat ditonjolkan untuk menambah penghasilan masyarakat kampung. Selain itu, akses yang cukup sulit dan wilayah yang terpencil membuat Kampung Manyaifun belum mendapatkan perhatian khusus.

Kampung yang berjejer sepanjang bibir pantai ini hanya memiliki 80 kepala keluarga. Mata pencaharian utama kepala keluarga atau biasa disebut pace adalah menjadi nelayan. Sedangkan mama-mama atau mace di sana membantu mencari uang dengan membuat senat.

“Dulu mama-mama di sini berkebun, karena belum ada babi. Sekarang sudah ada yang piara babi, jadi kebun kita dirusak makanya kami tidak berkebun lagi,” ujar Mariam, salah satu pengrajin senat asal Kampung Manyaifun (11/6). Kegiatan mama-mama di sana setiap harinya menjadi pengrajin senat. Ayaman tikar ini dibuat untuk dipakai sendiri atau dijual ke pulau-pulau di Raja Ampat sampai Sorong.

Mama Aisyah, pemimpin kelompok mama-mama pengrajin senat menjelaskan, produksi ayaman tidak menentu. Selain untuk penggunaan pribadi, produksi ayaman jumlah besar sangat jarang. Mama-mama hanya akan memproduksi ayaman jika ada permintaan. “Takut tidak laku kalau bikin banyak dan menitipkan di pasar. Di sini tidak ada pasar, jadi untuk mengirim senat ke pasar butuh waktu tiga jam dan bensin yang mahal,” ujarnya.

Selain itu, beberapa keluarga memiliki usaha homestay. Ada delapan keluarga yang memiliki usaha ini. Sayang, pengelolaan homestay pun belum sesuai standar baku acuan tata kelola homestay dan strategi promosinya pun tebilang minim. Homestay masyarakat lokal kurang memperhatikan standar kebersihan, kenyamanan, dan keamanan.

Padahal homestay merupakan salah satu fasilitas yang dibutuhkan oleh para wisatawan agar nyaman berkunjung ke Kampung Manyaifun. Belum ada pula kolaborasi antara masyarakat dengan usaha homestay padahal kolaborasi ini penting untuk memasarkan kerajinannya. “Masyarakat di sini belum merasa “memiliki” homestay. Karena masih punya perorangan dan belum dirasakan masyarakatnya,” kata Kris selaku Ketua Asosiasi Perkumpulan Penggerak Usaha dan Penghidupan Masyarakat Asli Raja Ampat (Pejampat).

Untuk memaksimalkan potensi-potensi daerah Kampung Manyaifun, Yayasan EcoNusa bekerja sama dengan asosiasi Perjampat untuk memberikan dukungan dan pengetahuan kepada masyarakat di Kampung Manyaifun berupa pelatihan. Proyek ini didukung oleh salah satu asosiasi homestay yang pernah mendapatkan penghargaan untuk pengelolaan homestay berbasis masyarakat adat.

Pelatihan yang ada berupa pembentukan kelompok perempuan dan pemuda dalam pengelolaan dan pengembangan souvenir lokal dan pelatihan homestay ramah lingkungan sesuai dengan standar-standar baku acuan tata kelola homestay. Setelah adanya pelatihan ini, kelompok masyarakat menjadi terbantu, misalnya dalam pembuatan souvenir seperti senat (tikar) dan minyak kelapa, lebih cepat karena dilakukan gotong royong. “Sebelumnya kami mengerjakan souvenir sendiri-sendiri sehingga membutuhkan waktu yang lama. Jika dulu membutuhkan 2 hingga 3 hari pengerjaan, kini hanya membutuhkan tiga jam pengerjaan,” kata Mariam. Hasil produk ini dipasarkan di kanal website yang sekarang menjadi acuan turis ke Raja Ampat.

“Harapannya kelompok mama-mama ini bisa terus berjalan. Kami juga inginnya bisa membuat satu tempat untuk toko souvenir. Kalau ada tamu homestay datang, kami juga bisa mengajak keliling kampung, terus mampir ke rumah souvenir,” ujar Mariam.

Selain itu, ada pula pelatihan homestay ramah lingkungan. Masyarakat diberikan pengetahuan tentang standar-standar baku acuan tata kelola homestay, termasuk pentingnya para masyarakat usaha memiliki surat perizinan lingkungan hidup dan melakukan pelestarian lingkungan dan hutan sagu.

Sayangnya, setelah pelatihan, masyarakat masih belum melakukan upaya peningkatan standar homestay. Misalnya, mereka telah diberikan pelatihan terkait pemisahaan dan pengelolaan sampah organik dan anorganik, pelestarian kampung lewat aksi pembersihan lingkungan mingguan (Jumat bersih), dan penyediaan tempat sampah akhir di kampung. Namun yang baru berjalan hanya kegiatan Jumat bersih. Ketika ditanya mengapa belum menggunakan fasilitas yang dibuat, jawabannya karena menurut mereka belum ada sampah yang harus dibuang ke tempat pembuangan akhir. Jadilah, sampah-sampah menumpuk di pinggir rumah mereka. Kurangnya kesadaran masyarakat tentang kebersihan lingkungan inilah yang masih menjadi PR.

Menurut Kris, ini adalah kali pertama mereka melaksanakan program homestay yang melibatkan masyarakat. Biasanya mereka bekerja sama dengan pengusaha. Antusias masyarakat mendapatkan pelatihan cukup tinggi. Masyarakat merasa senang dengan adanya program ini. “Perbedaannya sangat jelas, contoh kecilnya saja ketika kami datang, masyarakat kami minta untuk berkumpul mereka langsung semangat datang. Kalau pengusaha susah disuruh kumpul. Masyarakat senang adanya program ini, karena mereka mendapat insight baru,” jelasnya.

Pelatihan berjalan dalam kurung waktu empat bulan. Pelatihan yang dilaksanakan pada awal tahun 2019 ini memang belum memberikan hasil yang maksimal untuk masyarakat. Walaupun hasil yang di dapatkan belum maksimal, pelatihan ini telah memberikan perubahan kepada masyarakat. Perubahan yang ada misalnya adanya peningkatan penghasilan bagi kelompok pengrajin, adanya program jumat bersih untuk menjaga kebersihan lingkungan, adanya penanaman pohon sagu rutin untuk menjaga kelestariannya, dan lainnya. Sehingga, sedikit demi sedikit masyarakat dapat memanfaat potensi daerahnya dengan lebih baik.

EcoBlogs Lainnya

Copyright ©2023.
EcoNusa Foundation
All Rights Reserved