Search
Close this search box.
EcoStory

Krisis Iklim Mengancam Kesejahteraan Nelayan Indonesia

Bagikan Tulisan
Kepala Pusat Kajian Sumber Daya Pesisir dan Lautan (PKSPL), Yonvitner, memaparkan dampak perubahan iklim terrhadap perikanan Indonesia

Hari Nelayan Nasional didedikasikan untuk menghargai para nelayan sebagai pahlawan ketahanan pangan yang berjasa besar terhadap pemenuhan kebutuhan protein bagi seluruh lapisan masyarakat Indonesia. Sayangnya, kehidupan dan kesejahteraan nelayan dan masyarakat yang tinggal di pesisir dan pulau-pulau kecil terancam oleh perubahan iklim yang sedang terjadi.

Seperti yang dirasakan oleh para nelayan di Lombok Timur. “Dulu nelayan ke fishing ground hanya menempuh jarak hingga lima mil saja. Sekarang karena hasil laut berkurang, nelayan harus melaut hingga jauh ke perairan Sumba,” kata Amin Abdullah, Ketua Lembaga Pengembangan Sumberdaya Nelayan, dalam Webinar Series dengan tema “Dampak Perubahan Iklim Terhadap Sektor Perikanan” yang diadakan EcoNusa untuk memperingati Hari Nelayan Nasional pada Rabu, 6 April 2022. Ini merupakan webinar pertama dari rangkaian webinar menuju Hari Laut Sedunia (World Ocean Day) pada 8 Juni mendatang.

Baca juga: Peran Masyarakat dalam Pengelolaan Perikanan Berkelanjutan

Menurut Amin, jauhnya jarak mencari ikan tersebut disebabkan perubahan iklim yang membuat perubahan arus laut, gelombang, dan angin, sehingga area tangkapan (fishing ground) nelayan berpindah-pindah dan cenderung lebih jauh. Perubahan iklim juga menyebabkan terjadinya fenomena pemutihan terumbu karang (coral bleaching), sehingga membuat populasi ikan menurun. Belum lagi musim ikan juga menjadi tidak menentu. 

“Kalau dulu, musim ikan itu jelas, sekitar lima sampai enam bulan. Kalau sekarang musim ikan harus menghitung hari pada fase penangkapan. Paling tidak tiga sampai empat hari. Lewat dari itu, nelayan tidak bisa mendapat apa-apa,” ujar Amin.  

Yonvitner, Akademisi dari Institut Pertanian Bogor, menjelaskan bahwa terdapat empat variabel dari iklim yang berpengaruh pada siklus hidup ikan dan perikanan, yaitu suhu air laut, curah hujan, kelembapan, dan angin. Dia juga mengatakan bahwa perubahan iklim yang terjadi secara alami yang ditambah aktivitas manusia secara langsung, seperti pencemaran laut, pertambangan, dan juga aktivitas penangkapan yang ilegal dan merusak, menyebabkan kerusakan masif terhadap ekosistem laut. Mulai dari rusaknya ekosistem pesisir, lambatnya pertumbuhan mangrove, kerusakan ekosistem lamun, memutihnya terumbu karang, yang bermuara pada menurunnya sumber daya ikan.

Baca juga: Mikroplastik dan Sampah Plastik Mengancam Kehidupan

Berbagai masalah ini pun pada akhirnya berimbas pada terancamnya kesejahteraan masyarakat pesisir, meningkatnya potensi bencana pesisir seperti banjir rob, abrasi dan merembesnya air laut ke daratan pesisir (intrusi). Juga menurunnya tingkat keanekaragaman hayati, hingga menyebabkan terganggunya ketahanan pangan terutama sumber protein. “Kebiasaan  kita yang merusak tanpa sadar pada akhirnya akan menimbulkan kesulitan bagi diri kita sendiri,” kata Yonvitner.

Dalam paparannya, Yonvitner juga menjelaskan bahwa kenaikan suhu air laut menyebabkan jumlah persentase ikan dewasa yang siap memijah (matang gonad) makin menurun. Data menunjukkan pada suhu 30,09 derajat Celcius, ikan yang siap memijah berada pada angka 26,98 persen. Sedangkan pada suhu lebih rendah, yakni 28,27 derajat Celcius, persentase ikan yang sudah matang gonad cenderung lebih tinggi, yakni 57,41 persen. Hal tersebut mengindikasikan bahwa kenaikan suhu air laut dapat mengganggu tingkat reproduksi dan regenerasi ikan. 

Tak hanya itu, perubahan iklim juga berpengaruh pada distribusi populasi sumber perikanan yang ada di perairan Indonesia. Menurut Yonvitner, fenomena yang menunjukkan hal ini adalah hilangnya populasi ikan sarden (Sardinella sp) dari Selat Bali dan pergeseran area penangkapan ikan terbang (Exocoetidae) dari Sulawesi ke Papua Barat.

Baca juga: Implementasi Ekonomi Biru Tak Maksimal

Bila dilihat dari pengamatan suhu bumi yang sudah dilakukan sejak 1950, terjadi lonjakan kenaikan suhu global yang diprediksi bisa melewati ambang batas. Berdasarkan laporan Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC), aktivitas manusia selama ini telah menyebabkan kenaikan suhu di atmosfer, laut, dan daratan sampai 1,1 derajat celcius. Kalau tidak ada langkah mitigasi dan adaptasi dari sekarang, ini dapat menyebabkan berbagai bencana iklim ekstrem yang berdampak bagi manusia, terutama nelayan, serta masyarakat pesisir. 

Berbagai pertanda dan dampak dari perubahan iklim yang sudah kian terasa oleh masyarakat, khususnya nelayan dan masyarakat pesisir, tentu membutuhkan tindak lanjut berupa langkah-langkah adaptasi dan mitigasi yang perlu dilakukan guna mencegah bencana akibat krisis iklim yang semakin parah. Oleh karena itu, Pemerintah Indonesia telah mengambil beberapa langkah mitigasi dalam menghadapi krisis iklim yang terjadi.

Alan Koropitan, Tenaga Ahli Utama Kedeputian I urusan Kemaritiman Kantor Staf Presiden, menuturkan langkah mitigasi pemerintah dalam menghadapi krisis iklim. Sejalan dengan yang disampaikan oleh Presiden Joko Widodo dalam United Nations Climate Change Conference yang dilaksanakan di Glasgow, Skotlandia pada 2021, pemerintah akan fokus melakukan rehabilitasi ekosistem mangrove dengan target sebanyak 600.000 hektare yang tersebar di beberapa penjuru Indonesia hingga tahun 2024 mendatang.

“Untuk memenuhi target ini, kita perlu bantuan berkolaborasi baik dari teman-teman CSO (civil society organisation), NGO-NGO (non-governmental organisation), baik di dalam maupun dari luar. Bagaimana kita memenuhi target rehabilitasi ini,” kata Alan.

Baca juga: Upaya Penanganan Sampah Plastik di Maluku dan Tanah Papua

Adaptasi dan mitigasi perubahan iklim adalah langkah-langkah yang perlu dilakukan bersama, tidak hanya pemerintah maupun lembaga konservasi, melainkan masyarakat secara keseluruhan. Perlu adanya aksi kolektif dalam upaya melawan krisis iklim dan menciptakan masa depan yang baik bagi kelestarian laut Indonesia, kesejahteraan nelayan, dan kemakmuran masyarakat secara umum.

Wiro Wirandi, Ocean Program Manager EcoNusa, mengatakan bahwa Indonesia Timur merupakan benteng terakhir untuk keanekaragaman hayati laut di Indonesia. Lebih dari separuh tutupan mangrove di Indonesia berada di Tanah Papua. Selain itu, sebanyak 92 persen ikan karang pun berada di Bird’s Head Seascape atau yang kerap disebut the kingdom of fish, meliputi wilayah perairan Raja Ampat, Teluk Cenderawasih, Kaimana, hingga Laut Banda. “Tapi sayang, kekayaan ini terancam oleh krisis iklim yang perlu segera dilakukan tindak mitigasi dan adaptasinya,” kata Wiro.

Editor: Leo Wahyudi & Nur Alfiyah

EcoBlogs Lainnya

Copyright ©2023.
EcoNusa Foundation
All Rights Reserved