Search
Close this search box.
EcoStory

Implementasi Ekonomi Biru Tak Maksimal

Bagikan Tulisan
Sumber daya kelutan dan perikanan diharapkan menjadi sumber pendapatan yang berkelanjutan atau dikenal juga dengan ekonomi biru.

Implementasi ekonomi biru di Indonesia menghadapi sejumlah persoalan sehingga potensi yang diharapkan dari kelautan dan perikanan tak dapat dimanfaatkan dengan maksimal. Tanpa perbaikan dan kerja sama lintas kementerian, lembaga, serta pelibatan berbagai masyarakat sipil, target ekonomi biru berpotensi merusak sumber daya perikanan dan kelautan Indonesia.

“Apa yang bisa dimanfaatkan dalam ekonomi biru? Jangan-jangan sumber daya yang akan kita manfaatkan kondisinya sudah kritis,” kata Wahyu Isroni, Dosen Fakultas Perikanan Universitas Airlangga, dalam diskusi daring dan luring Sail to Campus (STC) di Universitas Airlangga bertajuk “Mendobrak Ekonomi Biru melalui Inovasi Laut Berkelanjutan” pada Kamis, 7 April 2022.

Ekonomi biru digadang menjadi basis perekonomian berkelanjutan baru di Indonesia pada masa mendatang. Dengan luas wilayah perairan mencapai dua pertiga dari luas negara, potensi perekonomian dari sumber daya kelautan dan perikanan diharapkan menjadi sumber pertumbuhan ekonomi baru, terutama sebagai unsur penting pemulihan ekonomi yang tergerus akibat pandemi COVID-19.

Baca juga: Penangkapan Ikan Terukur Abaikan Ekosistem dan Kesejahteraan Nelayan

Kementerian Perencanaan Pembangunan RI/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) memperkirakan potensi ekonomi biru Indonesia mencapai Rp1,9 triliun. Potensi pertumbuhan ekonomi tersebut juga diharapkan akan membuka 45 juta lapangan pekerjaan. Sayangnya, basis penopang perhitungan potensi tersebut tidak dalam keadaan yang baik.

Wahyu menjelaskan, terumbu karang Indonesia berada dalam tahap yang mengkhawatirkan. Berdasarkan hasil penelitian Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) pada 1.067 titik, hanya 6,56 persen terumbu karang yang berstatus sangat baik. Sementara itu, 36,19 persen dalam kondisi buruk.

Laju krisis iklim yang belum bisa dikendalikan hingga penangkapan ikan yang merusak memberikan tekanan lebih tinggi terhadap terumbu karang. Pasalnya, selain berfungsi sebagai penyerap emisi karbon, terumbu karang berfungsi sebagai tempat tumbuh ikan dan jasa lingkungan.

Baca juga: Peningkatan Sumber Daya Manusia, Kunci Keberhasilan Pariwisata di Papua Barat

Selain terumbu karang, kerusakan hutan mangrove juga mengkhawatirkan. Meski menyandang negara dengan hutan mangrove terluas  di dunia dengan luas mencapai 3,4 juta hektare, laju kerusakan hutan mangrove pun berada di urutan teratas dunia. Hingga kini kerusakan hutan mangrove telah meluas hingga lebih dari 600.000 hektare.

Menghadapi fakta tersebut, pemerintah akan merehabilitasi 600.000 hektare kawasan hutan mangrove hingga 2024. Namun, menurut Wahyu, rehabilitasi hutan mangrove berpotensi menurunkan tingkat biodiversitas yang ada. “Mangrove sudah hilang 52.000 hektare per tahun. Ini bisa kita tanam kembali tapi keragamannya akan hilang. Pengembalian (mangrove) juga ada SOP (Standard Operating Procedure), itu yang sampai hari ini belum lengkap,” ujar Wahyu.

Sementara itu, Sekretaris Direktorat Jenderal Pengelolaan Ruang Laut, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Hendra Yusran Siry, mengatakan bahwa penerapan ekonomi biru akan memperbaiki tata kelola ruang laut menjadi lebih baik. KKP akan menerapkan teknologi satelit untuk mendukung pengelolaan sumber daya perikanan dan kelautan.

Baca juga: Kapok Pakai Bom Ikan

Salah satu pengelolaan ruang laut yang akan berubah akibat implementasi ekonomi biru adalah perubahan perikanan tangkap menjadi perikanan terukur. “Perikanan tangkap akan menjadi penangkapan ikan terukur. Pengawasan perikanan akan menjadi pengawasan kelautan dan perikanan terpadu. Saat ini kita akan lebih meningkatkan pengawasan kita di ruang laut,” ucap Hendra.

Rencana penerapan penangkapan ikan terukur mendapat penolakan dari berbagai elemen masyarakat. Masyarakat sipil menilai rancangan kebijakan tersebut tak memperhitungkan keseimbangan ekosistem perikanan dan nasib nelayan kecil. Hal ini terlihat dari rencana pemerintah memberikan akses pemanfaatan laut melalui sistem kontrak, termasuk pada korporasi asing dan rencana menjadikan nelayan sebagai anak buah kapal.

Wakil Menteri Agraria dan Tata Ruang/Wakil Kepala Badan Pertanahan Nasional, Surya Tjandra, mengatakan salah satu tantangan terbesar dalam mengimplementasikan ekonomi biru adalah menyejahterakan masyarakat pesisir di terkecil dan terluar. “Biasanya kantong kemiskinan ada di pulau-pulau terkecil dan terluar itu,” kata Surya.

Baca juga: Upaya Penanganan Sampah Plastik di Maluku dan Tanah Papua

Indonesia memiliki 111 pulau kecil dan terluar. Dari jumlah tersebut, 84 pulau telah memiliki sertifikat. Sementara 27 pulau yang belum tersertifikasi terdiri dari 25 pulau kawasan hutan dan 2 pulau non-hutan. Menurut Surya, percepatan sertifikasi pulau kecil dan terluar sangat penting untuk menjaga batas kedaulatan Indonesia sebelum berangkat lebih jauh pada implementasi ekonomi biru.

“Kami ingin semua pulau ada administratifnya. Kami ingin ada percepatan agar pagar kita rapat dulu sebelum bicara ekonomi biru,” ungkap Surya.

Surya mencontohkan Pulau Pelampong di Provinsi Kepulauan Riau yang berbatasan dengan Singapura. Luas pulau yang dihuni oleh tiga kepala keluarga itu telah menyusut menjadi satu hektare akibat abrasi. Menurut Surya, posisi Pulau Pelampong amat penting karena akan menjadi titik awal Zona Ekonomi Eksklusif hingga 200 mil ke laut lepas. Sumber daya alam di wilayah laut tersebut bisa dimanfaatkan oleh Indonesia. 

Editor: Leo Wahyudi & Nur Alfiyah

EcoBlogs Lainnya

Copyright ©2023.
EcoNusa Foundation
All Rights Reserved