Search
Close this search box.
EcoStory

Keberpihakan RTRW Selamatkan Hutan Perempuan

Bagikan Tulisan
Keberpihakan RTRW Selamatkan Hutan Perempuan, Hutan Mangrove Papua
Ekosistem mangrove di Hutan Perempuan (Yayasan EcoNusa/Moch. Fikri)

Keberpihakan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) pada lingkungan dan masyarakat adat berperan signifikan dalam pembangunan berkelanjutan. RTRW Provinsi yang berlaku selama dua puluh tahun akan memberikan kerugian besar bila hanya berfokus pada pertumbuhan ekonomi. Sementara itu, kalau lingkungan hidup rusak, maka dampaknya tidak hanya pada penghidupan masyarakat adat namun juga hilangnya kebudayaan.

Hal itu menjadi kesimpulan dalam diskusi daring “Mangrove di Tanah Papua: Siapa yang Jaga?”. Diskusi tersebut terselenggara berkat kerja sama Terasmitra dan Yayasan EcoNusa. “Bila ada keberpihakan pada tata ruang maka energi masyarakat tidak akan sia-sia. Di daerah mana pun, dasar membuka lahan merujuk ke tata ruang,” kata akademisi Fakultas Kehutanan, Universitas Papua, Jimmy Wanma, pada Sabtu (19/2/2022).

Baca Juga: Restorasi Mangrove Teluk Youtefa Urgen

Pembangunan jembatan Youtefa membuat hutan mangrove terdegradasi. Jembatan yang diresmikan pada Oktober 2019 itu menghubungkan Kota Jayapura dengan Distrik Muara Tami. Dalam pembangunannya yang berlangsung sejak 2015, sekitar satu hektare hutan mangrove primer habis terbabat akibat kesalahan penghitungan. Sayangnya, kesalahan tersebut tidak diperbaiki dengan melakukan penanaman kembali.

Hutan mangrove di sekitar Teluk Youtefa juga disebut dengan Hutan Perempuan. Penamaan ini merujuk pada aturan adat bahwa hanya perempuan yang boleh memasuki hutan mangrove. Petronela Merauje, tokoh perempuan di Hutan Perempuan, mengatakan Hutan Perempuan telah menjadi penopang hidup masyarakat di Kampung Enggros.

Hutan Perempuan menjadi tempat para mama mencari kerang (bia), kepiting, dan udang tanpa busana. Tak jarang para mama mengajak anak perempuan mereka untuk turut serta. Selama di dalam Hutan Perempuan, transfer nilai-nilai adat pun terjadi. Para mama mengajarkan bagaimana anak mereka kelak bersikap sesuai nilai adat, terutama bila terjadi perselisihan. Selain biota mangrove, kayu di Hutan Perempuan dimanfaatkan sebagai material fondasi rumah dan kayu bakar.

Baca Juga: Hutan Perempuan, Pelestarian Ekosistem Bakau oleh Perempuan Enggros (Bagian I)

Sayangnya Hutan Perempuan tercemar oleh sampah yang berasal dari Pasar Youtefa. Sampah yang masuk terperangkap di akar-akar mangrove dan mencemari perairan Hutan Perempuan. “Saudara saya mencari ikan dan bia hanya dapat sampah. Kerang untuk pengganti lauk dan dijual ke pasar sudah sulit ditemukan. Kami sudah tidak bisa lagi mencari bia tanpa busana karena jalan sudah terang, kelihatan dari luar,” ungkap Petronela.

Keseriusan Pemerintah Provinsi Papua dalam menata ruang akan membantu mengurangi tekanan yang terus berlangsung terhadap Hutan Perempuan. Di sisi lain, Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM)  di sepanjang Pantai Ciberi juga berdiri tanpa izin. Hilangnya vegetasi di sekitar pantai akan membuat abrasi mengikis garis pantai. Belum lagi sampah yang akan muncul bila tak dikelola dengan arif.

Upaya melindungi Hutan Perempuan mendapat dukungan dari berbagai elemen masyarakat. Komunitas Rumah Bakau Jayapura, salah satunya, rutin melakukan gerebek sampah di sekitar kawasan Hutan Perempuan. Mereka juga turut aktif mencari bibit dan menanam mangrove untuk mengurangi laju degradasi.

Baca juga: Bersama EcoNusa, Kemendikbud Akan Dirikan Sekolah Adat di Malaumkarta

“Pemerintah tidak bisa mengabaikannya begitu saja. Jika sudah hilang apa yang akan dibanggakan oleh masyarakat adat dan warga Jayapura. Otomatis adat dan budaya hilang bila Hutan Perempuan tidak dijaga. Hanya akan jadi cerita bagi anak cucu,” kata Ezterlin Baransano, anggota Rumah Bakau Jayapura.

Editor: Leo Wahyudi & Nur Alfiyah

EcoBlogs Lainnya

Copyright ©2023.
EcoNusa Foundation
All Rights Reserved