Search
Close this search box.
EcoStory

Hasil Riset: Nelayan Kepulauan Maluku Belum Tahu tentang Kebijakan Perikanan Terukur

Bagikan Tulisan
Para peneliti dari Politeknik Perikanan Maluku, Universitas Muhammadiyah Maluku, dan Universitas Pattimura memaparkan hasil temuan mereka pada Hari Laut Sedunia, 8 Juni 2023. (Yayasan EcoNusa)

Nelayan skala kecil menjadi penopang kebutuhan perikanan Indonesia. Kementerian Kelautan dan Perikanan mencatat jumlah nelayan kecil yang terdata sekitar 2,22 juta orang yang tersebar di seluruh Indonesia. Namun banyak nelayan kecil yang belum mengetahui tentang kebijakan perikanan terukur yang telah ditetapkan pada 6 Maret 2023 dalam Peraturan Pemerintah (PP) No.11 Tahun 2023 tentang Penangkapan Ikan Terukur (PIT).

Fakta tersebut dikemukakan oleh para peneliti dalam Launching Riset Kolaboratif Persepsi Masyarakat Mengenai Penangkapan Ikan Terukur (Wilayah Pengelolaan Perikanan 714, 715, dan 718) dan Perikanan Skala Kecil pada Perairan Pulau Ternate yang diselenggarakan oleh Yayasan EcoNusa pada Hari Laut Sedunia, 8 Juni 2023.  

Muhammad Zia Ulhaq Payapo, Dosen Politeknik Kelautan Perikanan Maluku, menuturkan sebagian besar elayan yang menjadi responden di Seram Selatan, Maluku tidak mengetahui tentang kebijakan perikanan terukur, isu pembangunan lumbung ikan nasional (LIN), dan Ambon New Port. Seram Selatan berada di Kawasan WPP 714.

“Dari respon yang terlibat saat informasi mengenai kebijakan ini disampaikan, 93 persen nelayan merasa keberatan dengan kebijakan tersebut,” tulis Zia yang melakukan penelitian berjudul Analisis Keberlanjutan Perikanan Tuna Skala Kecil di Seram Selatan, Kabupaten Maluku Tengah.

Baca Juga: Melindungi Kekayaan Alam dengan Menjaga Rasa

Para nelayan di Desa Kawa, Seram Bagian Barat yang berada di WPP 715 pun menyatakan hal yang sama. Mereka belum mengetahui kebijakan perikanan terukur dan setelah dijelaskan tentang kebijakan tersebut pun, mereka menyatakan kurang setuju. “Hampir semua tidak mengetahui terkait kebijakan ini, jadi memang butuh sosialisasi yang ekstra kepada masyarakat,” kata Miftah Makatita, Dosen Universitas Muhammadiyah Maluku yang melakukan penelitian.

Demikian pula dengan masyarakat yang berada di Desa Samang dan Desa Benjina di Kepulauan Aru, Maluku yang berada di Kawasan WPP 718. Mereka juga tidak mengetahui tentang kebijakan perikanan terukur. Setelah dijelaskan tentang peraturan perikanan terukur oleh peneliti, 70 persen nelayan tidak setuju dengan penangkapan terukur.

“Sedangkan 30 persen dari mereka setuju dengan adanya kebijakan tersebut dengan pemahaman bahwa kebijakan penangkapan ikan terukur dapat memberlakukan sistem penangkapan yang lebih terkendali,” kata Saiful, Dosen Universitas Patimura, yang melakukan penelitian.

Baca Juga: Sekolah Kampung Waimon dan Kasimle: Pelatihan untuk Kemajuan Kampung

Wilayah Maluku merupakan provinsi kepulauan yang mempunyai sumber daya perikanan berlimpah sehingga dijuluki dengan golden fishing ground. Estimasi total potensi perikanan tangkap berdasarkan Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No. 19 Tahun 2022, pada WPP 714, 715, dan 718 mencapai 222,89 ribu ton. Peraturan perikanan terukur membuka ruang terhadap penanaman modal asing dan penanaman modal dalam negeri untuk mengeksploitasi sumber daya ikan dengan memberikan kuota tangkap di 11 WPP dan Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI).

Ketiga penelitian tersebut merupakan kolaborasi EcoNusa bersama Politeknik Kelautan dan Perikanan Maluku, Universitas Muhammadiyah Maluku, dan Universitas Pattimura Ambon. Ketiga riset ini dilakukan untuk mengkaji dan menganalisis kondisi perikanan skala kecil di ketiga WPP dan mengetahui persepsi masyarakat perikanan skala kecil terhadap kebijakan penangkapan ikan terukur. Selain ketiga riset tersebut, EcoNusa juga melakukan dua riset perikanan skala kecil di perairan Pulau Ternate bersama Universitas Khairun, Ternate. Kedua riset tersebut dilakukan untuk mengkaji status pembangunan perikanan tuna skala kecil di Pulau Ternate.

“EcoNusa ingin mendorong bagaimana peneliti-peneliti muda lokal di daerah mengambil peran yang signifikan untuk menyampaikan apa yang terlihat dan apa yang dirasakan oleh masyarakat terkait dengan isu keluatan dan perikanan,” kata CEO EcoNusa, Bustar Maitar. Dia menambahkan, “Saya berharap riset-riset ini bisa menjadi masukan penting, bisa di-leverage untuk memperkuat kebijakan nasional yang tentu lebih berpihak kepada nelayan skala kecil.”

Baca Juga: Praktik Baik dari Timur Indonesia Modal untuk Ekonomi Biru

Riza Damanik, Ketua Umum Ikatan Sarjana Kelautan Indonesia (Iskindo), menyambut baik inisiasi riset kolaboratif ini. Menurut dia, riset kolaboratif menjadi sangat relevan dalam kerangka menjawab tantangan untuk memulihkan laut kita supaya lebih sehat. “Kami berharap riset kolaboratif ini bisa menghasilkan rekomendasi yang bisa mendekatkan kita pada pengelolaan perikanan yang lebih presisi, inklusif, serta berkelanjutan,” ujarnya.

Ady Candra, perwakilan Ditjen Perikanan Tangkap Kementerian Kelautan dan Perikanan mengatakan momentum peluncuran riset ini pas karena saat ini Kementerian sedang menyusun  rancangan Peraturan Menteri atau pun Keputusan Menteri terkait PP 11 Tahun 2023 tentang Penangkapan Ikan Terukur. 

Penelitian di bidang perikanan dan kelautan sangat penting untuk mengoptimalkan pelibatan para akademisi untuk menguatkan rekomendasi kebijakan menuju tata kelola perikanan dan kelautan yang berkeadilan dan berkelanjutan. Riset-riset tersebut perlu untuk diarahkan pada penyajian dasar-dasar ilmiah yang akan menjadi landasan dalam pengambilan keputusan dan penyusunan suatu peraturan perundang-undangan. 

EcoBlogs Lainnya

Copyright ©2023.
EcoNusa Foundation
All Rights Reserved