Search
Close this search box.
EcoStory

Praktik Baik dari Timur Indonesia Modal untuk Ekonomi Biru

Bagikan Tulisan
Para pemuda Malaumkarta pergi molo (menyelam) untuk memanen lobster dan teripang sesaat setelah egek dibuka. (Yayasan EcoNusa/David Herman Jaya)

Sebagai negara kepulauan, Indonesia punya potensi laut yang sangat besar. Negara kita berada di urutan kedua sebagai negara penghasil ikan terbesar secara global setelah Cina. Laut Indonesia Timur yang menjadi lokasi segitiga terumbu karang (coral triangle) menjadi rumah bagi 76 persen spesies terumbu karang dunia dan 37 persen spesies ikan terumbu karang global.

“Jantung segitiga terumbu karang ini menjadi rumah bagi 45 persen stok ikan Indonesia,” kata CEO EcoNusa, Bustar Maitar, dalam Seminar “The Development of Indonesia’s Blue Economy Roadmap”, salah satu side event G20 yang diselenggarakan di Belitung, Rabu, 7 September 2022. 

Indonesia Timur, kata Bustar, juga menjadi rumah bagi 39 juta hektare hutan. Sebanyak  45 persen hutan hujan tropis dan 41 persen luasan hutan mangrove Indonesia berada di wilayah tersebut. Sumber daya alam yang masih terjaga dengan baik ini tidak hanya berperan untuk menstabilkan iklim dunia, tapi juga punya potensi yang sangat besar untuk ekonomi biru. Ekonomi biru adalah pemanfaatan sumber daya laut yang berwawasan lingkungan untuk mendukung pertumbuhan ekonomi, kesejahteraan, dan mata pencaharian sekaligus pelestarian ekosistem laut. 

Baca Juga: G20 Kunci Perubahan Paradigma Pembangunan

EcoNusa turut mendukung upaya pemerintah dalam ekonomi biru. Di antaranya dengan mendukung implementasi provinsi pilot untuk pembangunan rendah karbon di Papua, Papua Barat, dan Maluku. “Termasuk mendukung master plan untuk rencana pembangunan 25 tahun  di Tanah Papua,” ujar Bustar.  EcoNusa juga ikut mempromosikan praktik-praktik terbaik dari masyarakat adat sebagai sumber referensi kepada pemerintah dalam memperkuat kebijakan tata kelola hutan dan pembangunan berkelanjutan. 

Dari kiri ke kanan: Ketua MCC Teria Salhuteru, Jefri Mobalen dari PGM, dan Marthalia Borumey usai acara Showcasing Session “Blue Economy Initiatives”. (Yayasan EcoNusa/Nur Alfiyah)

Di antara praktik baik yang terus didukung adalah konservasi tradisional egek yang dilakukan oleh masyarakat Suku Moi di Kampung Malaumkarta, Kabupaten Sorong, Papua Barat. Di acara Showcasing Session “Blue Economy Initiatives” yang juga salah satu kegiatan side event G20 di Belitung pada 8 September 2022, Jefri Mobalen, Ketua Masyarakat Hukum Adat dari Perkumpulan Pemuda Generasi Malaumkarta (PGM) memaparkan tentang kearifan lokal egek demi melestarikan sumber daya laut di wilayah adat Malaumkarta. 

Egek merupakan konservasi tradisional berupa larangan memanfaatkan sumber daya alam di suatu daerah dalam kurun waktu tertentu. Menurut Jefri, larangan tersebut diberlakukan karena banyak terumbu karang rusak akibat penggunaan bom dan potasium untuk menangkap ikan pada 1990-an. “Kami larang penggunaan alat tangkap yang merusak ekosistem laut,” katanya.

Baca Juga: Membuka Egek, Melihat Deposito Alami Suku Moi

Selain melarang penggunaan alat tangkap yang merusak, masyarakat juga dilarang mengambil beberapa jenis spesies laut, seperti lobster dan teripang dalam kurun waktu tertentu. Spesies tersebut baru bisa diambil ketika egek sudah dibuka. 

Setelah bertahun-tahun ditutup, masyarakat Suku Moi membuka egek pada 13 Juni 2022 dengan prosesi ritual adat. Barulah mereka boleh menangkap jenis-jenis hewan yang sebelumnya dilarang dengan alat tangkap yang tidak merusak, seperti pancing. Hasil tangkapan tersebut dikonsumsi dan dijual ke pasar. Dalam kurun waktu 2 bulan, hasil penjualan tangkapan mereka mencapai Rp 177 juta. Penghasilan tersebut mereka gunakan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat serta pembangunan gereja di Malaumkarta. 

Di Kepulauan Maluku praktik baik juga dilakukan oleh Moluccas Coastal Care (MCC). MCC aktif mengedukasi anak-anak dan pemuda di Ambon, Pulau Gunung Api, Pulau Run, dan Pulau Hatta untuk menjaga pesisir dan pulau yang mereka huni. “Kami berfokus untuk menginvestasi orang, karena setidaknya ada satu generasi yang mengerti bahwa menjaga pulau dan ekosistem itu penting,” kata Ketua MCC, Teria Salhuteru.

Baca Juga: Kewang Muda Maluku Mencetak Generasi Penerus Bumi

Selain mendirikan rumah belajar untuk mendidik anak-anak, bersama EcoNusa MCC juga menginisiasi program Kewang Muda Maluku. Kewang merupakan pranata hukum adat di Maluku yang berperan menjaga alam di darat dan laut. Kewang juga bertugas memberi pendidikan alam kepada masyarakat. Secara adat, kewang dipilih dari marga tertentu. Semangat kewang untuk menjaga alam itulah yang ditularkan kepada anak-anak muda. 

Menjaga kelestarian alam ini penting. Menurut data Kementerian Koordinasi Bidang Kemaritiman dan Investasi, dalam setahun nilai ekonomi terumbu karang mencapai 36.794 USD per hektare, mangrove sebanyak 9.900 USD per hektare, dan  lamun 19.004 USD per hektare dalam setahun. “Kalau misalnya kita bisa menjaga ekosistem dan mengedukasi masyarakat, ini hasilnya yang bisa kita dapatkan,” kata Teria. 

Editor: Leo Wahyudi

EcoBlogs Lainnya

Copyright ©2023.
EcoNusa Foundation
All Rights Reserved