EcoStory

Nasib Demokrasi dan Lingkungan di Tangan Pemuda

Bagikan Tulisan
Beach Clean Up Jayapura (Dok. Yayasan EcoNusa)

Jika ada yang bertanya hal besar apa yang bisa dilakukan oleh pemuda saat ini, maka demokrasi dan krisis iklim akan menjadi dua isu besar yang akan dikaitkan dengan peran mereka. Kedua hal itu tidak saja memengaruhi sendi kehidupan dan bernegara, namun juga menentukan nasib Indonesia di masa depan.

“Ada pandangan positif yang muncul ketika mendengar kata ‘pemuda’. Pemuda menjadi harapan keberhasilan pembangunan nasional di masa mendatang. Pemuda juga identik dengan sikap semangat dan pekerja keras,” kata Yoesep Budianto, peneliti Litbang Kompas pada diskusi terbatas Lingkungan dan Demokrasi yang diselenggarakan EcoNusa pada Rabu 2 Maret 2022. 

Citra positif tersebut didapat melalui jajak pendapat terhadap 510 responden di 34 provinsi pada Oktober 2021. Melalui wawancara telepon, 24 persen menyatakan pemuda identik dengan semangat dan pekerja keras dan 15 persen menyebut pemuda sebagai harapan bangsa. Sisanya mengasosiasikan pemuda dengan karakter kreatif, produktif, visioner, dan pemberani.

Kekuatan Pemuda

Salah satu kekuatan besar pemuda terletak pada dominasi mereka dalam proporsi penduduk Indonesia. Pemuda, dalam kategori umur 15-39 tahun, berjumlah 41 persen dari 270,2 juta jumlah penduduk Indonesia. Dengan kata lain, ada lebih dari 110,9 juta penduduk yang akan punya andil dalam menentukan arah masa depan Indonesia dari faktor politik hingga lingkungan hidup.

Baca juga: Suara Kaum Muda di COP 26 dan Indonesia untuk Melawan Krisis Iklim

Dalam ranah politik, sejarah telah berulang kali membuktikan peran besar pemuda dalam menggulirkan perubahan. Pemuda membentuk berbagai organisasi dan membuka harapan baru untuk keluar dari kolonialisme. Menjelang kemerdekaan, pemuda kembali mengambil peran dengan membentuk ikatan yang menyatukan bahasa, bangsa, dan tanah air. Puluhan tahun berselang, aksi pemuda ke jalan berhasil menurunkan rezim Orde Baru yang telah berkuasa selama 32 tahun.

Indonesia mempersiapkan momentum politik berikutnya pada 2024 dalam pemilihan calon presiden dan wakil presiden berikutnya. Berkaca pada survei yang dilakukan Litbang Kompas pada pemilu 2019, pemuda punya karakteristik unik. Sekitar 80 persen dari para pemuda aktif memilih salah satu calon pasangan capres-cawapres. Mereka punya independensi tinggi dalam menentukan calon pemimpin. Hanya 1,5 persen pemuda yang mengikuti pilihan politik keluarga.

“Pemuda juga punya sportivitas yang tinggi. Kami menemukan bahwa 80 persen pemuda menerima dan mendukung siapa pun calon yang menang,” ujar Yoesep.

Baca juga: Tanam 2.850 Bibit Mangrove Bersama EcoNusa, Blink Official Indonesia Serukan Pengendalian Krisis Iklim

Keterpilihan pasangan pemimpin negara tersebut akan menentukan arah demokrasi dan berbagai kebijakan yang akan terjadi di Indonesia, tak terkecuali pada kebijakan yang mengarusutamakan keberpihakan pada masyarakat adat, pengelolaan sumber daya alam secara berkelanjutan dan berkeadilan, serta pembangunan berkelanjutan.

Krisis Lingkungan

Sayangnya, kinerja pemerintah Indonesia dinilai tak serius dalam menangani permasalahan lingkungan hidup. Melalui jajak pendapat Litbang Kompas pada Oktober 2021, sebanyak 36,45 persen generasi X menilai pemerintah belum serius menangani masalah lingkungan. Sementara 42,52 persen generasi Y dan 41,03 persen  Z menilai lebih pesimistis. 

Ridho Slank bersama warga dan komunitas dalam pembersiihan sampah di sepanjang pantai Nusalaut, Kabupaten Maluku Tengah, Provinsi Maluku. (Yayasan EcoNusa/Victor Fidelis Sentosa)

Padahal, kerusakan lingkungan menimbulkan risiko besar yang tak peduli terhadap demografi maupun status sosial-ekonomi. The Global Risk Report 2021 yang dipublikasikan oleh World Economic Forum pada awal tahun lalu, menyatakan infeksi penyakit menular dan kegagalan aksi iklim menempati urutan teratas risiko global dengan kemungkinan tertinggi. Dalam 5 tahun terakhir, risiko global akibat permasalahan lingkungan selalu terjadi, seperti cuaca ekstrem, bencana alam, hingga kehilangan biodiversitas.

Baca juga: Pace Lingkungan: Anak Muda Bisa Membawa Perubahan

Laporan Intergovernmental Panel of Climate Crisis (IPCC) yang baru saja dirilis pada akhir Februari bahkan menyebut secara khusus bahaya yang akan dihadapi Indonesia akibat krisis iklim, khususnya dalam bidang ekonomi, ekologi, dan sosial. Berdasarkan pada pengukuran suhu berbasis panas dan kelembaban, Indonesia akan mengalami kenaikan suhu 30-33 derajat celsius di seluruh wilayah. Hal ini akan berakibat pada produktivitas dan perkembangan ekonomi. Jakarta akan merasakan panas yang luar biasa dengan suhu 40,6-42,3 derajat celsius.

Kenaikan permukaan laut akan membuat Indonesia yang merupakan negara kepulauan berisiko tinggi. Sebanyak 20 juta orang yang tinggal di sekitar pesisir akan merasakan banjir rob berkepanjangan. Jakarta, Semarang, Karawang, Medan, dan Manado telah lebih dulu merasakan banjir rob. Selain banjir, intrusi air laut juga mengancam panen. 

Krisis iklim yang membuat cuaca ekstrem dan kenaikan suhu akan mengganggu produksi pangan. Kekeringan dan gelombang panas akan merusak tanaman pangan. IPCC memperkirakan produksi beras akan turun hingga 6 persen. Perikanan tangkap Indonesia juga akan berkurang 24 persen karena pemutihan terumbu karang di Asia Tenggara yang terjadi akibat kenaikan suhu laut.

Baca juga: Baru Sebagian Masyarakat yang Paham Meski Krisis Iklim Mengancam

Meski dampak krisis iklim sudah mulai  terjadi, hanya segelintir masyarakat yang mau menyadari dan mengetahuinya. Hasil survei Indopol Survey and Consulting pada November 2021 menyatakan hanya 6,59 persen responden yang memiliki kekhawatiran terhadap krisis iklim. Bahkan Indonesia sempat dinobatkan sebagai negara yang paling tidak percaya bahwa pemanasan global dipicu oleh ulah manusia.  

Pandemi COVID-19 yang masuk ke Indonesia pada awal 2020 membuat masyarakat berefleksi terhadap  gaya hidup yang telah mereka jalani. Penyebaran penyakit dari hewan ke manusia (zoonosis) dan penurunan emisi karbon akibat terhentinya sejumlah aktivitas ekonomi merupakan sejumlah faktor pendorong keingintahuan masyarakat.  

Menurut laporan Year in Search 2020 Indonesia yang dipublikasikan oleh Google, terdapat kenaikan 35 persen terhadap penelusuran “bebas plastik” di mesin pencari. Hal ini terjadi sebagai respon terhadap Peraturan Gubernur Nomor 142 Tahun 2019 tentang Kewajiban Penggunaan Kantong Belanja Ramah Lingkungan pada Pusat Perbelanjaan, Toko Swalayan, dan Pasar Rakyat. Kekhawatiran terhadap plastik sekali pakai mendorong peningkatan 170 persen pencarian “reusable cup”. 

Baca juga: Barasuara: Menjaga Hutan Tanggung Jawab Semua Generasi Muda

Keingintahuan masyarakat terhadap isu lingkungan juga terjadi sepanjang tahun 2021. Sebagai konsumen, masyarakat ingin memastikan mereka tak turut berperan merusak lingkungan melalui barang yang mereka konsumsi. Hal ini terlihat dari lonjakan pencarian “jejak karbon” sebesar 114 persen dan “bebas uji coba hewan” meningkat hingga 65 persen. 

Pengarusutamaan Wacana

Tak berhenti sampai di situ, pencarian praktik keberlanjutan tetap menarik minat masyarakat. Tren pencarian meningkat untuk kata “biodegradable” (19 persen), “ramah lingkungan” (33 persen) dan “hemat energi” (41 persen).

Melihat kondisi tersebut, Enggar Paramita, Communication Strategist Development Dialogue Asia (DDA), menilai ada kesempatan baru untuk membuat isu lingkungan hidup menjadi perbincangan yang lumrah di masyarakat. Salah satu temuan dalam riset yang dilakukan oleh DDA bersama C4C dan Kantar, kesadaran masyarakat Indonesia terhadap krisis iklim tergolong tinggi. Namun, hal itu didukung oleh pemahaman yang memadai.

Baca juga: Anak Muda Mandiri Hasilkan Pangan di Kampung Mlaswat

“Ada lebih dari 85 persen yang mengaku menyadari perubahan iklim namun ketika dieksplorasi lebih lanjut apa sih perubahan iklim, hanya separuh yang benar. Jadi menyadari iya tapi paham belum tentu,” ujar Enggar. 

Menurut Enggar, beragam komunitas yang tumbuh menanggapi berbagai keresahan di masyarakat menjadi peluang baru terciptanya gerakan perubahan. Tingginya jumlah populasi pemuda, sengat gotong royong yang mewujud dalam komunitas, serta fleksibilitas pemuda terhadap ide baru, menjadi titik awal yang penting untuk mengejar momentum pemilihan capres-cawapres pada 2024 mendatang. 

“Berbagai elemen masyarakat perlu bekerja sama. Perlu ada rencana yang matang menuju pemilu 2024. Edukasi perubahan iklim perlu terus dilakukan kepada semua lapisan masyarakat,” papar Enggar.

Editor: Leo Wahyudi & Nur Alfiyah

EcoBlogs Lainnya

Copyright ©2023.
EcoNusa Foundation
All Rights Reserved