Hidup di Bumi Cenderawasih nan subur tak membuat masyarakat adat di Kabupaten Merauke, Provinsi Papua, memiliki ketahanan pangan. Pengeluaran untuk belanja rumah tangga guna memenuhi kebutuhan pangan terbilang tinggi. Sementara produktivitas pertanian tergolong rendah. Selain itu, hidup berdampingan dengan perkebunan sawit juga membuat masyarakat adat makin rentan.
“Obat-obatan dan segala macam yang kita butuhkan dari hutan itu semua sudah tidak ada. Bahan-bahan untuk atribut budaya sudah tidak ada karena atribut diambil dari kulit kayu. Sagu untuk kita makan saja sudah tidak ada,” kata Pasificus Anggojai, warga Kampung Bupul, Distrik Elikobel, Kabupaten Merauke, kepada EcoNusa.
Kampung Bupul yang terletak di area perbatasan dengan Papua Nugini dikelilingi oleh konsesi perkebunan kelapa sawit. Mereka sudah kehilangan sumber penghidupan yang mereka dapatkan di hutan, karena hutan di sekitar mereka sudah berubah jadi perkebunan. Untuk mendapatkan protein dari hasil buruan, mereka harus berjalan lebih jauh menyusuri hutan di sisi timur Kali Maro yang jauh dari kampung mereka.
Baca juga: Charlie Heatubun: Hutan Adalah Tempat yang Tak Tergantikan
Saat itu, November 2020, Pasificus masih menjabat sebagai Kepala Kampung Bupul. Ia menjadi peserta lokakarya kepala kampung yang diselenggarakan oleh Yayasan EcoNusa bekerja sama dengan INSIST dan Caritas Merauke. Selain Pasificus, hadir sembilan kepala kampung yang berada di Kabupaten Merauke. Lokakarya tersebut menyepakati komitmen setiap kepala kampung untuk mengutus pemuda untuk mengikuti Sekolah Kampung Samb Kai di Kampung Waninggap Nanggo.
Pangkalan Data
Sekolah kampung terbagi menjadi dua kelas yakni pertanian organik dan pangkalan data. Ahmad Mahmudi, guru Sekolah Kampung Samb Kai, mengatakan bahwa pembagian kelas mengacu pada studi pendahuluan sebelum lokakarya kepala kampung. Hasil studi menemukan ketahanan pangan dan pembangunan kampung jauh panggang dari api.
Ini terlihat misalnya ketika beras telah menggeser posisi sagu sebagai makanan pokok dan alokasi belanja rumah tangga untuk pangan terbilang besar. Di sisi lain, pemerintah kampung tak memiliki data sosial, ekonomi, dan kependudukan seperti jumlah penduduk Kampung Bupul, kepala keluarga, hingga potensi perekonomian kampung.
“Ini akan menyulitkan pemerintah kampung untuk merancang pembangunan kampung dengan benar. Oleh karena itu kami putuskan bawah perlu ada pembelajaran mengenai pertanian dan pangkalan data,” kata Mahmudi.
Baca juga: Warga Mai Mai Membangun Ketahanan Pangan dari Rumah
Sekolah Kampung Samb Kai berlangsung selama 15 hari pada 4-18 November 2020. Dalam kelas pangkalan data, peserta mempelajari cara penggunaan perangkat keras untuk pengumpulan data seperti pesawat nirawak, perangkat sistem navigasi satelit (GPS) dan perangkat lunak pengolah data. Kemudian, dalam kelas pertanian organik, peserta mempelajari pengolahan tanah, pemanfaatan sumber daya hayati di sekitar kampung untuk membuat pupuk dan pestisida organik, hingga analisa usaha tani berkelanjutan.
Kampung Bupul diwakili oleh Wensislaus Agji, Rafael Mekiuw, Hendrik J. Tanjai, dan Billy Matemko. Billy dan Hendrik tergabung dalam kelas pangkalan data sedangkan Wensislaus dan Rafael masuk ke dalam kelas pertanian organik. Usai mengikuti sekolah kampung, keempat utusan Kampung Bupul wajib membagikan ilmu yang mereka dapatkan kepada masyarakat lainnya.
Billy mengatakan ketiadaan data kampung membuat pembangunan kampung tak sesuai dengan kebutuhan. Menurutnya, pembangunan yang selama ini terjadi hanya dilandasi pada estimasi. Akibatnya, pembangunan kampung tak tepat sasaran dan rentan pada pemenuhan kelompok tertentu. “Pembangunan di kampung dapat direncanakan sehingga sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Dari apa yang saya lihat, pemanfaatan dana kampung belum sepenuhnya sesuai karena bukan didasarkan pada kebutuhan tapi keinginan,” kata Billy.
Baca juga: Melindungi Wilayah Adat dari Investari Sawit
Tim pangkalan data di Kampung Bupul ada 16 orang, termasuk Wensislaus dan Rafael. Begitu juga sebaliknya, tim pertanian organik juga diikuti 16 orang, termasuk Billy dan Hendrik. Keterlibatan peserta sekolah kampung di tiap kelompok memudahkan mereka untuk mengikuti perkembangan dan dinamika yang terjadi di kampung.
Pertanian Organik
Manfaat pertanian organik dirasakan oleh Cristofora Kwerkujai, warga Kampung Erambu, Distrik Sota. Sebelum mengikuti sekolah kampung, hasil panen kebun Cristofora sangat sedikit, hanya cukup untuk makan sehari-hari selama tiga hari. Ia menghamburkan bibit tanaman di atas bedeng tanpa memperhatikan jarak tanam, umur semai, dan nutrisi tanah. “Tanaman tumbuh tapi tidak subur karena baku himpit. Tidak punya udara karena kakak hambur saja,” ujar Cristofora.
Setelah mengikuti sekolah kampung, Cristofora menanam sawi, cabai, bayam, kangkung, dan kacang panjang. Hasil panennya jauh lebih baik. Dalam satu kali masa panen, ia mendapat penghasilan Rp500.000 dari menjual hasil kebun kepada masyarakat. “Hasil panennya kakak jual. Satu ikat harganya Rp5000. Uangnya sudah kakak tabung. Sekarang ada 7 orang yang ikut menanam di pekarangan rumah mereka,” ungkap Cristofora.
Koordinator Sekolah Eco Involvement Yayasan EcoNusa, Carmelita Mamonto, berharap peserta Sekolah Kampung Samb Kai dapat menjadi motor penggerak perubahan di kampung mereka. Setelah kerentanan pangan dapat diatasi, tata kelola pemerintahan kampung menjadi tujuan perubahan lainnya. “Dampaknya tidak hanya dirasakan peserta. Kalau dari pangan sudah bisa diatasi, harapan kita masalah lain pun berangsur-angsur bisa diatasi sendiri. Ada perubahan tata kelola pemerintahan dan tata kelola hutan, misalnya,” ujar Carmelita.
Editor: Leo Wahyudi