Search
Close this search box.
EcoStory

Masyarakat Cemas Menanti Putusan Gugatan Pencabutan Izin Perusahaan Sawit

Bagikan Tulisan
Sopice Sawor (tengah) bersama masyarakat Distrik Konda memberikan dukungan kepada Bupati Sorong Selatan, Samsudin Angigiluli, atas sidang gugatan yang dilayangkan oleh PT Anugrah Saksi Internusa (PT ASI) dan PT Persada Utama Agromulia (PT PUA). (Dok. Sopic Sawor)

Rasa takut membayangi benak masyarakat di Distrik Konda, Kabupaten Sorong Selatan, Provinsi Papua. Mereka cemas menanti kabar jalannya rangkaian sidang gugatan yang dilayangkan oleh perusahaan sawit kepada Bupati Sorong Selatan, Samsudin Anggiluli. Gugatan tersebut teregistrasi di Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Jayapura sejak akhir Desember 2021. Putusan sidang akan menentukan masa depan hutan, sumber penghidupan masyarakat di Sorong Selatan.

“Masyarakat kaget kenapa perusahaan bisa menggugat pemda (pemerintah daerah). Masyarakat tahunya bupati sudah mengeluarkan pencabutan izin, berarti aman saja. Begitu tahu pemda digugat, kami takut. Karena kalau sampai pemda kalah berarti hutan kami mau dikemanakan,” ungkap Sopice Sawor, perempuan adat Distrik Konda, kepada EcoNusa melalui sambungan telepon.

Gugatan terhadap Bupati Sorong Selatan dilayangkan oleh PT Anugrah Saksi Internusa (PT ASI) dan PT Persada Utama Agromulia (PT PUA). Keduanya keberatan atas pencabutan izin yang dilakukan oleh Bupati Sorong Selatan, Samsudin Anggiluli, pada Mei 2021 lalu. Gugatan PT PUA teregistrasi dengan nomor perkara 46/G/2021/PTUN.JPR dan PT ASI dengan nomor perkara 45/G/2021/PTUN.JPR. Selain kedua perusahaan tersebut, Samsudin juga mencabut izin PT Internusa Jaya Sejahtera dan PT Varia Mitra Andalan.

Baca juga: Saksi Ahli: Izin Bisa Dicabut karena Mengabaikan Kewajiban

Samsudin Anggiluli tak sendiri. Selain dirinya, ada tujuh bupati lain yang mencabut izin perusahaan perkebunan kelapa sawit. Sejak 2018, tim evaluasi perkebunan kelapa sawit telah mengevaluasi izin 24 perusahan perkebunan kelapa sawit di Papua Barat. Hasil rekomendasi tim evaluasi perizinan kemudian ditindaklanjuti dengan pencabutan izin konsesi dengan total luas 351.342,93 hektare, termasuk milik PT ASI dan PT PUA.

Pencabutan izin tersebut telah mengikuti prosedur evaluasi dan konfirmasi data dengan pihak perusahaan. PT ASI dan PT PUA belum memiliki Hak Guna Usaha (HGU) dan belum melakukan penanaman. Tanpa memiliki dokumen HGU, tidak ada legalitas untuk mengalihfungsikan hutan menjadi lahan perkebunan kelapa sawit. Keduanya juga tidak mematuhi kewajiban yang tertera dalam Izin Usaha Perkebunan.

Sopice mengenang kembali kedatangan PT ASI ke Distrik Konda pada 2013. Menurut Sopice, perwakilan PT ASI bertemu dengan kepala kampung, namun tidak bertemu dengan masyarakat Konda. Menurutnya, dalam pertemuan tersebut tak ada kesepakatan maupun persetujuan PT ASI untuk dapat membuka lahan perkebunan sawit. “Waktu itu mereka hanya sepakat bahwa nanti akan ada pertemuan dengan lima kampung di Distrik Konda membahas apakah masyarakat menerima sawit atau tidak,” kata Sopice.  Lima kampung di Distrik Konda yakni Kampung Bariat, Konda, Manelek, Nagna, dan Wamergege.

Baca juga: Dua Perusahaan Sawit yang Menggugat Bupati Sorong Selatan Tidak Pernah Beraktivitas

Kemudian tanpa diketahui oleh masyarakat, PT ASI hadir lagi di Sorong Selatan pada 2015. Tanpa menyebutkan waktunya, menurut Sopice, saat itu sedang dilaksanakan sidang komisi dan tim teknis Analisis mengenai Dampak Lingkungan Hidup (AMDAL) agar PT ASI dapat beroperasi di Distrik Konda dan Teminabuan. “Masyarakat ribut dan melakukan aksi demo di kantor bupati sehingga sidangnya dibatalkan,” ujar Sopice.

Pertemuan berikutnya terjadi di Distrik Konda pada 2020. Sopice, yang menjabat sebagai kepala distrik sejak 2016 hingga 18 Februari 2022, masih ingat dengan jelas peristiwa itu. Dalam sebuah pertemuan dengan beberapa kepala distrik lainnya, Sopice menganjurkan PT ASI untuk berbincang langsung dengan masyarakat. Meski berstatus sebagai kepala distrik, ia tak memiliki hak untuk mewakili hak ulayat masyarakat.

Sekitar Oktober 2020, pertemuan PT ASI dengan masyarakat rencananya akan digelar di lapangan upacara di kantor distrik. Sayangnya, kedatangan PT ASI ditolak masyarakat. “Kami langsung pegang pihak perusahaan dan minta dasar bukti dari pemerintah. Mereka sempat berikan surat dari pemda. Itu menjadi dasar buat bikin surat penolakan bahwa masyarakat tidak pernah ada kesepakatan menerima PT ASI, kenapa pemerintah mengeluarkan izin ini,” kata Sopice.

Baca juga: Proses Pengakuan Wilayah Adat dan Masyarakat Hukum Adat di Papua Barat Kini Bisa Lebih Singkat

Rencananya Sopice akan menjadi salah satu saksi dalam sidang gugatan terhadap bupati Sorong Selatan. Namun, ia berhalangan hadir karena mengikuti pendidikan dan pelatihan kepemimpinan (Diklat PIM III) di Makassar. Keterangan Sopice sebagai saksi digantikan oleh Kepala Distrik Teminabuan Frans Salmon Thesia.

Dalam kesaksiannya, Fans mengaku baru mengetahui keberadaan perusahaan yang beroperasi di wilayah adatnya usai Samsudin Anggiluli mencabut izin PT ASI dan PT PUA, serta penolakan masyarakat adat di Teminabuan. Sebagai bagian dari pemerintah daerah dan anak adat pemilik hak ulayat, Frans berujar mengetahui dengan baik seluk beluk tanah adatnya.

“Kami tidak pernah tahu ada pelepasan tanah adat ke perusahaan, tidak pernah ada pemberitahuan. Padahal saya kepala distrik dan pemilik tanah di wilayah itu,” katanya. Frans juga menolak bukti dukungan masyarakat adat yang dimiliki oleh kuasa hukum penggugat. “Surat yang masuk dan keluar dari kantor distrik ada nomornya, tapi ini tidak ada nomor suratnya,” ujar Frans.

Baca juga: Harapan Masyarakat dan Pemuda untuk Pergub Penetapan Pengakuan Masyarakat Adat di Papua Barat

Sopice berharap kesimpulan sidang memberikan hasil yang positif bagi masyarakat adat. Jika majelis hakim menolak gugatan tersebut, masyarakat akan merasa aman.  “Karena hutan dan tanah adat ini sebagai ‘mama’ bagi kami. Pemberi kehidupan bagi kami. Ketika hutan kami aman berarti orang Papua akan tenang. Ketika hutan diganggu, berarti hidup mereka juga tidak tenang,” ungkap Sopice.

Editor: Leo Wahyudi & Nur Alfiyah

EcoBlogs Lainnya

Copyright ©2023.
EcoNusa Foundation
All Rights Reserved