EcoStory

Sasi Sambite: Kearifan Lokal untuk Meningkatkan Kualitas Pala Arguni Bawah

Bagikan Tulisan
Para ketua adat di Kampung Kufuriyai dan Manggera memimpin upacara adat Sasi Sambite. (Yayasan EcoNusa/Alberth Yomo)

Bagi masyarakat Kabupaten Kaimana, khususnya di Distrik Arguni Bawah, Papua Barat, pala bukan hanya bagian dari sejarah dan budaya dari zaman kakek moyang. Bagi masyarakat Kampung Kufuriyai, Manggera, Egarwara, dan Warmenu, pala adalah komoditi yang mampu memberikan penghidupan.

Dengan total luasan wilayah perkebunan yang mencapai 197 hektare di empat kampung tersebut, pala dapat memberikan pendapatan dari Rp45.000.000 sampai Rp67.000.000 per kampung setiap tahunnya. Tak heran kalau pala menjadi komoditi yang menjanjikan di Arguni Bawah.

“Tanaman pala adalah penopang utama ekonomi rumah tangga masyarakat di empat kampung. Bisa dikatakan, 99 persen pendapatan masyarakat Kufuriyai, Manggera, Egarwara, dan Warmenu diperoleh dari hasil panen pala,” kata Beatris Tefruam, Kepala Kampung Kufuriyai.

Baca juga: Papua, Maluku, Torang Bisa, Barang Apa Jadi

Namun sayangnya, masyarakat belum mengelola pala dengan baik. Misalnya, masyarakat terbiasa untuk memanen pala kapan pun tanpa menunggu cukup umur, sehingga harga jual pala di Arguni Bawah hanya Rp35.000 per kilogram. Ini tergolong rendah.  Padahal bila dikelola dengan baik, harga pala bisa jauh lebih tinggi seperti di Kabupaten Fakfak yang mencapai Rp50.000-Rp100.000 per kilogram.

“Kita kadang barang (pala) belum tua ini sudah panen, proses pengeringan belum kering sudah masuk karung,” ujar Freddy Thie, Bupati Kaimana.

Demi meningkatkan kualitas pala tersebut, suku Irarutu yang mendiami Kampung Kufuriyai dan Kampung Manggera menerapkan budaya sasi pala sejak zaman nenek moyang yang disebut dengan sasi sambite. Sasi ini merupakan larangan bagi masyarakat di kampung untuk memanen pala sampai jangka waktu yang ditentukan berdasarkan hasil musyawarah.

Baca juga: Mengupas Posisi Masyarakat Adat dan Hak Ulayat dalam Konstitusi Negara

Dari sisi kebudayaan, sasi pala ini terbilang unik lantaran yang dilakukan kali ini merupakan sasi untuk tanaman. Karena biasanya warga di Kabupaten Kaimana menerapkan sasi untuk laut, seperti yang dilakukan di Kampung Namatota dan Kampung Adijaya. Sedangkan, sasi sambite yang dilakukan oleh warga Kampung Kufuriyai dan Manggera diterapkan di saat masyarakat kampung sudah terlalu besar memanfaatkan pala berdasarkan kebutuhan mereka pribadi sehingga kualitas yang dihasilkan menurun.

Sasi telah diyakini oleh masyarakat memiliki dampak positif untuk menjaga ketersediaan sumber daya alam agar tetap lestari, termasuk dalam pemanfaatan pala yang merupakan sumber kehidupan utama bagi mereka, karena pala memiliki nilai jual yang lebih tinggi dibandingkan hasil kebun lainnya. Bukan hanya itu, sasi pala yang diselenggarakan di Kampung Kufuriyai dan Manggera juga merupakan bagian dari upaya pelestarian budaya nenek moyang dalam meningkatkan kualitas pala. 

Sayangnya, kebutuhan hidup yang mendesak membuat tradisi sasi pala yang sudah berlangsung sejak zaman nenek moyang sempat ditinggalkan. Dampaknya, masyarakat di empat kampung terus memanen pala sesuai kebutuhan mereka, tanpa melihat apakah pala tersebut sudah siap dipanen atau belum. 

Baca juga: Harapan Masyarakat dan Pemuda untuk Pergub Penetapan Pengakuan Masyarakat Adat di Papua Barat

“Jika hukum sasi adat tidak ada, maka akan terjadi pemanfaatan secara besar-besaran yang dapat merusak lingkungan,” kata Beatris. 

Sasi sambite yang dilakukan di Kampung Kufuriyai dan Kampung Manggera bukanlah satu-satunya cara yang dilakukan masyarakat untuk meningkatkan kualitas pala di Arguni Bawah. Dalam hal ini, pemerintah kampung menggunakan dana desa untuk perencanaan program pengembangan pala.  

“Lebih kurang empat kampung telah dan akan mengalokasikan anggaran sebesar Rp791.000.000 yang bersumber dari 20 persen dana desa,”  ujar Beatris. 

Baca juga: Sekolah Transformasi Sosial Resmi Dibuka Bupati Sorong Selatan

Ke depannya, alokasi dana desa tersebut akan digunakan untuk membentuk Badan Usaha Milik Kampung (BUMKam) bernama Nembeve yang dalam bahasa lokal berarti “berubah ke arah yang lebih baik”. BUMKam tersebut diharapkan akan menjadi perantara antara petani dengan pasar, karena melalui BUMKam akan ada sistem kendali mutu untuk pala yang akan diperjualbelikan. Dengan demikian, kualitas pala yang diproduksi oleh masyarakat memiliki nilai jual yang tinggi.

Editor: Leo Wahyudi, Nur Alfiyah, Lutfy Putra

EcoBlogs Lainnya

Copyright ©2023.
EcoNusa Foundation
All Rights Reserved