Search
Close this search box.
EcoStory

Pandora Kelapa Sawit: Primadona Ekspor Non-Migas hingga Perusak Lingkungan

Bagikan Tulisan
Ilustrasi perkebunan sawit. (gambar: beritagar)

Akhir-akhir ini kelapa sawit menjadi perbincangan di sejumlah lini masa. Setidaknya terdapat dua peristiwa yang melatarbelakangi: video kurang dari satu menit unggahan Partai Solidaritas Indonesia (PSI) berjudul “Gadget Murah karena Sawit” dan terbitnya Instruksi Presiden nomor 8/2018 tentang Penundaan dan Evaluasi Perizinan serta Peningkatan Produktivitas Perkebunan Sawit.

Kelapa sawit ibarat kotak pandora dalam mitologi Yunani. Kehadirannya membawa berkah sekaligus petaka. Dari perspektif pelaku industri, kelapa sawit berperan dalam pertumbuhan ekonomi dengan menghasilkan devisa dan lapangan kerja. Sementara itu, kita tidak bisa pungkiri bahwa kelapa sawit juga berpartisipasi terhadap kerusakan lingkungan.

Olahan Elaeis guineensis dapat digunakan hampir di berbagai jenis produk untuk kebutuhan sehari – hari kita. Mulai dari Minyak goreng, coklat, margarin, lipstik, sabun, mi instan, roti dan kue, sampo, detergen, obat-obatan hingga biodiesel.

Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) mengklaim nilai ekspor minyak kelapa sawit pada 2017 memecahkan rekor sepanjang sejarah. Naik 26 persen dibanding 2016, nilai ekspor minyak kelapa sawit mencapai 22,97 miliar dolar Amerika. Nilai tersebut didapat dari 31,05 juta ton volume ekspor, naik 23,6 persen dibanding 2016 sebesar 25,11 juta ton.

Besarnya produksi kelapa sawit dan produk turunannya sejalan dengan serapan tenaga kerja guna menurunkan tingkat pengangguran. Menurut Menteri Perindustrian Airlangga Hartanto, sekitar 16-20 juta pekerja yang dapat diserap industri kelapa sawit dari hulu hingga hilir. Sedangkan data Statistik Perkebunan Indonesia tahun 2016, perkebunan sawit menyerap 5,7 juta pekerja. Dari jumlah tersebut 2,2 orang adalah petani rakyat skala kecil. Soal urusan pajak, dilansir Antara.com, sektor kelapa sawit menyumbangkan Rp 12 miliar per tahun. Pungutan pajak didapat dari dana perkebunan dan bea cukai.

Hadir sebagai komoditas yang menjanjikan, penanaman kelapa sawit terus digenjot. Dilansir Tirto.id, luas perkebunan kelapa sawit di Indonesia baru sekitar 300.000 ha pada 1980. Puluhan tahun berselang, pada 2014 luasnya menjadi 11 juta ha. Mengutip Kompas.com, Direktorat Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian menyebut saat ini luas perkebunan sawit mencapai 14,03 juta ha.

Kelapa sawit tak bisa berdampingan dengan jenis tanaman lainnya atau monokultur. Artinya, peningkatan produksi kelapa sawit akan meningkatkan angka deforestasi serta meningkatkan permintaan untuk pembukaan lahan baru. Dalam laporan berjudul The Enviromental Status of Borneo 2016, World Wide Fund for Nature (WWF) menyebut ekspansi perkebunan kelapa sawit menyebabkan penggundulan hutan.

Masih ingat dengan kebakaran hutan dan lahan yang terjadi beberapa tahun belakang? Dilansir dari Tribunnews, kebakaran hutan dan lahan menghasilkan kerugian cukup besar, Presiden Joko Widodo menyebutkan negara rugi Rp 220 triliun.

Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) pada Agustus 2018 mendapati banyak lokasi titik api berada di lahan konsesi perkebunan kelapa sawit. Menurut Walhi, 4,3 juta ha lahan gambut dirusak oleh 291 perusahaan, 193 diantaranya adalah perusahaan sawit, karena lahan hutan yang dibakar atau terbakar tersebut diduga akan dimanfaatkan sebagai lahan penanaman sawit baru.

Selain itu, sawit juga disinyalir menyebabkan kehilangan lahan yang dialami petani di Desa Toluonua dan Peohuko, Kecamatan Mowila, Sulawesi Selatan. Konflik antara petani dengan PT Merbau Jaya Indah Raya menyebabkan hilangnya 300 ha sawah. Perusahaan beralasan memiliki hak guna usaha (HGU) dari pemerintah kabupaten dan datang tanpa sepengetauhan pemilik lahan.

Efek lain dari ekspansi sawit adalah hilangnya habitat satwa liar. Baru – baru ini Juli 2018, satu orang utan jantan dewasa ditemukan mati dengan peluru bersarang di tubuhnya di kanal konsesi perkebunan kelapa sawit PT Wana Sawit Subur Lestari (WSSL) II, Kabupaten Seruyan, Kalimantan Tengah.

Selain orang utan di Kalimantan, peristiwa serupa juga dialami gajah di Sumatera. Kehilangan habitatnya, gajah datang ke perkebunan sawit. Namun kehadiaran mereka dianggap sebagai ancaman dan berakhir kematian.

Hal lain yang juga perlu dipertanyakan adalah pendapatan pajak dari sektor industri kelapa sawit setelah adanya temuan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Menurut KPK, sekitar 63 ribu wajib pajak industri kelapa sawit diduga menghindari maupun mengelak setoran pajak. Dari 70.918 wajib pajak yang terdaftar – orang pribadi dan badan – hanya sekitar 9,6 persen yang melaporkan Surat Pemberitahuan Pajak (SPT). Realisasi penerimaan pajak pada tahun 2015 hanya Rp 22,2 trilun dengan perputaran uang mencapai Rp 1,2 triliun per hari.

Hingga 3 tahun ke depan, diharapkan pembukaan lahan baru untuk perkebunan kelapa sawit tak terjadi. Ini disebabkan adanya Inpres yang telah disebutkan di atas yang ditandatangani Presiden Joko Widodo pada 19 September 2018. Dasar hukum tersebut memberikan intruksi kepada kementerian/Lembaga dari penundaan izin baru hingga evaluasi HGU kebun sawit.

Sumber:

https://tirto.id/cengkeraman-kuat-kelapa-sawit-indonesia-bDSn

http://www.mongabay.co.id/2017/11/21/populasi-orangutan-kalimantan-cenderung-menurun-perlindungan-habitat-menjadi-keharusan/

https://tirto.id/dua-hal-yang-tak-dibahas-psi-dalam-video-dukung-sawit-cY7M

http://www.mongabay.co.id/2018/07/03/banyak-peluru-bersarang-orangutan-ini-mati-mengenaskan-di-kebun-sawit/

https://www.cnnindonesia.com/nasional/20170503174824-12-212023/kpk-temukan-63-ribu-wajib-pajak-industri-sawit-kemplang-pajak

EcoBlogs Lainnya

Copyright ©2023.
EcoNusa Foundation
All Rights Reserved