EcoStory

Rehabilitasi Mangrove, Upaya Pemerintah Mengurangi Emisi Karbon

Bagikan Tulisan
Akar mangrove di Kabupaten Fakfak, Provinsi Papua Barat, membentuk formasi akar papan. (Yayasan EcoNusa/Kei Miyamoto)

Rehabilitasi hutan mangrove Indonesia mendapat secercah pengharapan baru, setidaknya hingga 2024. Saat melakukan penanaman mangrove di Pantai Wisata Raja Kecik, Desa Muntai Barat, Kecamatan Bantan, Kabupaten Bengkalis, Provinsi Riau, pada Selasa (28/9/2021), Presiden Joko Widodo, mengatakan pemerintah akan merehabilitasi hutan mangrove seluas 34.000 hektare hingga akhir 2021 dan akan terus berlanjut dengan luasan 600,000 hektare hingga 2024. 

“Kita harapkan nanti kawasan ini akan bisa kita perbaiki, kita rehabilitasi dalam rangka mengendalikan abrasi, dalam rangka juga mendukung ekowisata, pariwisata di daerah, dan juga tentu saja kita harapkan juga mendukung ekonomi masyarakat di sekitar kawasan ini,” kata Jokowi

Kerusakan Mangrove

Hutan mangrove dalam keadaan tidak baik-baik saja. Dalam tiga dekade terakhir, laju kerusakan mangrove Indonesia tercepat di dunia.  Menurut Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Siti Nurbaya Bakar, hutan mangrove yang rusak telah mencapai 600.000 hektare. Sekadar perbandingan, luas tersebut setara dengan lebih dari sembilan kali luas Provinsi DKI Jakarta. 

Baca juga: Mangrove, Kekayaan atau Kerusakan Ekologi Tak Ternilai?

Mangrove tersebar di wilayah bumi bagian tropis dan subtropis. Akumulasi total luas mangrove di dua wilayah iklim itu sekitar 18 juta hektare. Dari jumlah tersebut, Indonesia menempati urutan pertama negara dengan kawasan mangrove terluas, yakni sekitar 3,311 juta hektare atau sekitar 25 persen total luas mangrove dunia, kemudian disusul oleh Brazil sekitar 8 persen dan Australia 7 persen.

Untuk di Indonesia, mangrove tak menyebar secara merata di sepanjang 95.000 kilometer garis pantai. Pusat ekosistem mangrove Indonesia berada di Tanah Papua dengan Provinsi Papua menjadi tempat hutan mangrove terluas yakni 1.634.041 hektare dan Provinsi Papua Barat 473.059 hektare.

Menyitir gaya bahasa warganet, rasanya tidak berlebihan jika menyebut “hutan mangrove adalah koentji”. Keberadaan ekosistem hutan mangrove memberikan manfaat yang tak ternilai bagi makhluk hidup di sekitarnya, tidak hanya manusia tapi juga terumbu karang dan sumber daya perikanan.

Hutan mangrove adalah kunci untuk menyelamatkan sumber daya perikanan, keanekaragaman terumbu karang, kekayaan sumber daya perikanan, dan ketahanan pangan masyarakat. Masyarakat yang hidup di sekitar hutan mangrove dapat dengan mudah memanen udang, belut, ikan, kepiting, dan siput laut. 

Mangrove adalah Koentji

Ekosistem mangrove menahan laju abrasi, mengurangi laju badai, tsunami, serta air laut. Dosen Ilmu Kelautan Universitas Diponegoro, Rudhi Pribadi, mengatakan beberapa spesies mangrove berukuran cukup besar untuk menjadi “dinding alami”, seperti spesies Avicennia. Rudhi, yang pernah meneliti mangrove di Papua menemukan mangrove berukuran besar, bahkan mencapai diameter empat lingkaran tangan orang dewasa. “Kondisi vegetasi (mangrove) tergantung tempat tumbuh, spesies, dan gangguan,” kata Rudhi.

Baca juga: Kalau Banyak Mangi-Mangi, Banyak Kepiting

Secara ekologi, ekosistem mangrove menjadi tempat pemijahan sumber daya perikanan. Fungsi ekologi ini dirasakan oleh masyarakat di Kampung Mandoni, Distrik Kokas, Kabupaten Fakfak. Saat berkunjung ke Kampung Mandoni, kampung yang terkenal dengan julukan “Kampung Kepiting Bakau”, Tim Ekspedisi Mangrove bertemu dengan Mama Mariam Kramandondo yang tengah mencari kepiting. Saat musim hujan ia bisa menangkap hingga 50 ekor kepiting berukuran besar.

Fungsi ekosistem mangrove yang tak kalah penting lainnya adalah kemampuan vegetasi mangrove menyimpan karbon. Hasil penelitian yang terbit di jurnal Nature mendapati bahwa mangrove menyimpan karbon tiga sampai lima kali lebih besar dibanding hutan hujan. Dengan kata lain, ada 3,14 miliar ton karbon yang tersimpan di ekosistem mangrove Indonesia.

Niat baik untuk merehabilitasi hutan mangrove perlu diapresiasi. Koordinator Advokasi dan Kebijakan Kelautan Yayasan EcoNusa, Gadri Ramadhan Attamimi, menilai rehabilitasi mangrove menunjukkan pemerintah berupaya mencapai target kontribusi yang ditetapkan nasional atau Nationally Determined Contribution (NDC) untuk menurunkan emisi gas rumah kaca sebesar 29 persen dengan kemampuan sendiri atau 41 persen dengan dukungan internasional pada 2030. Percepatan ini sesuai dengan komitmen Indonesia pada Perjanjian Paris (Paris Agreement) untuk bersama-sama negara-negara lain menjaga kenaikan suhu bumi di bawah 2 derajat celsius dan berupaya menekannya hingga 1,5 derajat celsius.

Baca juga: Warga Mai Mai Membangun Ketahanan Pangan dari Rumah

Rehabilitasi mangrove menghadapi tantangan tersendiri. Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM) mengidentifikasi beberapa tantangan dalam upaya merehabilitasi mangrove seperti kesulitan mendapatkan bibit, cuaca di lokasi rehabilitasi, hingga penolakan masyarakat setempat yang telah membuat kawasan mangrove menjadi area tambak dan budidaya.

Untuk merehabilitasi mangrove hingga 2024, BRGM memprediksi diperlukan Rp18 triliun untuk merehabilitasi mangrove sekitar 673.000 hekatere. Tanpa pelibatan berbagai elemen masyarakat, bukan hanya pencapaian target NDC yang semakin beranjak jauh tapi juga kehidupan masyarakat sekitar hutan mangrove pun tidak akan membaik.

“Untuk memastikan target rehabilitasi mangrove, semua elemen masyarakat harus saling bahu-membahu. Pelibatan masyarakat juga harus bersifat partisipatif agar masyarakat level tapak dapat merasakan dampaknya,” ujar Gadri.

Editor: Leo Wahyudi & Nur Alfiyah

EcoBlogs Lainnya

Copyright ©2023.
EcoNusa Foundation
All Rights Reserved