Search
Close this search box.
EcoStory

Praktik Penangkapan Ikan Ilegal Masih Marak di Laut Indonesia

Bagikan Tulisan
Ilustrasi kapal ikan.

Penangkapan ikan ilegal atau Illegal Unreported Unregulated (IUU) Fishing marak terjadi di perbatasan laut Indonesia. Hal ini tak lepas dari masuknya kapal asing tanpa izin ke wilayah laut Indonesia meski ada pengawasan. Dilaporkan 240 kapal ikan asing (KIA) memasuki wilayah laut Indonesia sepanjang 2021. 

Dalam webinar bertajuk ‘Laut Indonesia, Apakah Masih Aman? Upaya Pemerintah Memberantas Pencurian Ikan’ yang diadakan oleh EcoNusa dan Koalisi NGO untuk Perikanan dan Kelautan Berkelanjutan (KORAL) pada 22 April 2022. Direktur Pemantauan dan Operasi Armada Kementerian Kelautan Perikanan (KKP), Pung Nugroho Saksono, memaparkan kondisi di perbatasan laut Indonesia. “Kapal kami ada 30 yang memang standby di laut dan ada juga patroli udaranya, sehingga kami pastikan untuk saat ini aman,” kata Pung.

Pung menjelaskan bahwa pada 2020-2021 Direktorat Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP) berhasil menangkap 53 kapal ikan asing (KIA) ilegal. Secara keseluruhan terdapat 25 kapal berbendera Vietnam, 22 kapal berbendera Malaysia, dan 6 kapal berbendera Filipina. Penangkapan kapal itu dilakukan di berbagai wilayah seperti Laut Arafuru, Selat Malaka, bagian utara Laut Sulawesi, hingga Laut Natuna Utara.

Baca Juga: Peran Masyarakat dalam Pengelolaan Perikanan Berkelanjutan

Hasil pemantauan Sistem Identifikasi Otomatis atau Automatic Identification System (AIS) yang dimiliki Pusat Pengendalian (Pusdal) KKP mencatat 56 KIA di Laut Natuna Utara sepanjang 2021. Pada September 2021, terdapat 2 kapal penjaga pantai (coast guard) dan 1 kapal perang berbendera Ciina. Selain itu, tercatat 5 kapal coast guard berbendera Vietnam dan 1 kapal riset berbendera Cina. 

CEO Indonesia Ocean Justice Initiative (IOJI), Mas Achmad Santosa, memaparkan temuan serupa. Pada Februari 2022, data AIS mencatat 9 KIA Vietnam yang melakukan intrusi di Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia. Kapal ini telah melakukan tindakan yang sama (repeated offenders) pada 2021. 

Sedangkan data Sentinel-2 (satellite imagery) mencatat 26 KIA Vietnam yang beraktifitas di  ZEE Indonesia. Masih di bulan yang sama, IOJI mencatat 8 KIA Cina di Laut Natuna Utara yang diduga melakukan aktivitas penangkapan selama 3 hari.  “Kami dan tim di IOJI akan mencoba melakukan penelusuran terhadap siapa pemiliknya. sampai repeated offenders (mengapa) ada di situ. Dan siapa agennya di Indonesia kalau ada yang memberikan dukungan terhadap kegiatan mereka,“ kata Santosa.

Baca Juga: Kapok Pakai Bom Ikan

Selain masuknya KIA ke wilayah Indonesia, temuan IOJI mencatat kapal ikan indonesia (KII) yang memasuki wilayah ZEE Papua Nugini. Hal ini tidak dibenarkan sebab Indonesia memiliki flag state responsibility untuk mencegah, menghalangi, dan memberantas IUU Fishing oleh KII di semua zona maritim. Artinya, praktik IUU Fishing juga dilakukan oleh masyarakat Indonesia.

Senada dengan temuan IOJI, Ketua Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) Aceh, Azwar Anas, praktik IUU Fishing juga terjadi di Aceh terkait penggunaan alat tangkap trawl. Dalam kurun waktu 2021-2022 terdapat 46 alat tangkap trawl yang telah diserahkan oleh nelayan ke PSDKP Lampulo.

Azwar bercerita bahwa ada sebuah kecamatan yang hampir semua nelayannya menggunakan trawl. “Ada 15 pukat trawl yang ada di Aceh Timur itu 90 persen pemiliknya anggota Dewan,” kata Azwar. Hal ini menyebabkan konflik horizontal seperti adu mulut, ancaman hingga perebutan wilayah tangkap antara nelayan trawl dengan nelayan yang menggunakan alat tangkap tradisional. Selain itu, Azwar juga berpendapat bahwa penggunaan trawl menyebabkan berkurangnya jumlah ikan di laut.

Baca Juga: Penangkapan Ikan Terukur Abaikan Ekosistem dan Kesejahteraan Nelayan

Dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Maritim Raja Ali Haji, Noni T. Saleh, menjelaskan pengalamannya mengenai penggunaan trawl. Berdasarkan data yang didapat Noni dari Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi (DKP) Kepulauan Riau, terdapat 400-600 unit mini trawl yang beroperasi di Kepulauan Lingga. Mini trawl ini ditampung oleh 5 orang.

“Kenapa dia (mini trawl) tetap ada (padahal) itu ilegal, karena ada yang menampung, ada yang bersedia. Kalau kita tidak mau (pakai trawl) pasti dia tidak bakalan memberikan supply-nya kalau tidak ada demand,” kata Noni. Jumlahnya yang mencapai ratusan itu diduga karena praktik penggunaan trawl yang sering disalahpahami dengan cantrang. Menurut Noni, ciri khas penggunaan trawl adalah keberadaan papan pembuka mulut jaring (otter board), sedangkan cantrang tidak.

Untuk mengatasi permasalahan di perbatasan wilayah laut Indonesia, Pung mengatakan KKP berencana membangun Pelabuhan Perikanan Terpadu dan Pangkalan PSDKP di Natuna. Harapannya sumber daya perikanan dapat terkelola dengan baik dan pengawasan yang dilakukan di Laut Natuna Utara lebih efektif dan efisien. Selain itu, KKP juga akan menambah armada kapal pengawas di Laut Natuna Utara.

Editor: Leo Wahyudi & Nur Alfiyah

EcoBlogs Lainnya

Copyright ©2023.
EcoNusa Foundation
All Rights Reserved