Sebagai negara maritim dengan potensi laut yang tinggi, Indonesia menjadi negara produsen tuna terbesar dan memiliki peluang besar untuk merajai pasar tuna dunia. Kementerian Kelautan dan Perikanan menyebutkan, data Food and Agriculture Organization (FAO) pada 2020 menunjukkan bahwa kontribusi Indonesia untuk memasok kebutuhan tuna, cakalang, dan tongkol dunia mencapai 20 persen. Indonesia pun menjadi salah satu anggota Indian Ocean Tuna Commission (IOTC) sejak 2007.
Seiring berjalannya waktu, jumlah produksi tuna, cakalang, dan tongkol Indonesia terus meningkat, bahkan lebih tinggi dibandingkan dengan rata-rata produksi dunia. Direktur Pemasaran Direktorat Jenderal Penguatan Daya Saing Produk Kelautan dan Perikanan Kementerian Kelautan dan Perikanan (Ditjen PDSPKP KKP) menuturkan bahwa produksi Indonesia mengalami kenaikan rata-rata 3,66 persen, dan sebanyak 70 persen hasil tangkapan tuna berasal dari nelayan tradisional yang menggunakan alat tangkap sederhana dan ramah lingkungan.
Nelayan tradisional Maluku hingga saat ini masih menggunakan alat pancing tradisional yang mereka sebut “huhate” untuk menangkap tuna, cakalang dan tongkol di laut. Huhate terbuat dari joran bambu, tali nilon, dan mata pancing. Panjang bambu bisa mencapai enam meter dengan tali pancing utama sepanjang lima meter, dan tali cabang sepanjang 30 centimeter yang dipasang mata pancing. Dengan kata lain, huhate merupakan alat tangkap pole and line tradisional yang menjadi warisan budaya nelayan Maluku. Huhate dianggap sebagai alat tangkap yang selektif, ramah lingkungan, serta mendukung perikanan yang berkelanjutan.
Baca Juga: EcoNusa Dukung Riset Kelautan dan Perikanan di Kepulauan Maluku
Dalam prosesnya, setelah mempersiapkan berbagai kebutuhan untuk melaut, termasuk umpan hidup, para nelayan pun mencari posisi kawanan tuna. Biasanya seorang nelayan ditugasi mengintai posisi kawanan tuna menggunakan teropong. Setelah diketahui, kapal akan mendekat dan para nelayan yang menggunakan huhate bersiap di posisinya masing-masing di sebelah kanan dan kiri haluan kapal. Setelah itu, umpan ditebar dan para nelayan memulai aksinya, melempar huhate. Ketika sudah ada tuna yang terpancing, dengan cepat huhate ditarik untuk dan ikan terlempar naik ke kapal.
Wakil Sekretaris Jenderal Masyarakat Perikanan Nusantara, Amrullah Usemahu mengatakan bahwa nelayan huhate kini semakin menurun karena menghadapi berbagai kendala. Beberapa kendala tersebut di antaranya adalah biaya operasi kapal yang cukup tinggi, semakin menjauhnya daerah penangkapan (fishing ground), dan ketersediaan umpan hidup berupa ikan Lemuru (Sardinella sp) yang tak menentu.
Produk perikanan tuna, tongkol, dan cakalang memang memiliki nilai yang tinggi dan menjadi potensi besar untuk meningkatkan perekonomian negara. Menyadari hal tersebut, pemerintah melalui Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap berkomitmen untuk mengelola sumber daya perikanan secara berkelanjutan dengan cara mendorong implementasi penangkapan ikan terukur. Caranya dilakukan dengan mengatur kuota tangkapan ikan, dan membagi wilayah perikanan penangkapan menjadi tiga zonasi: zona industri, zona nelayan lokal, dan zona pemijahan ikan (spawning/nursery ground).
Baca Juga: Forum Dekan jadi Pengawal Kebijakan Kelautan dan Perikanan
Kebijakan ini akan diberlakukan bagi para pelaku perikanan tangkap, mulai dari skala industri hingga nelayan tradisional. Hal ini dilakukan guna mewujudkan perikanan tangkap yang berkelanjutan dan mencegah terjadinya eksploitasi sumber daya perikanan, salah satunya tuna, secara berlebih (over exploitation). Kabarnya, kebijakan ini akan dilakukan uji coba mulai 17 Agustus 2022 di Pelabuhan Cirebon, Pelabuhan Perikanan Tual di Maluku, dan Pelabuhan Perikanan di Ternate.
Kebijakan penangkapan ikan terukur sempat menimbulkan pro kontra dan dianggap akan merugikan nelayan tradisional karena kuota penangkapan diutamakan bagi pelaku perikanan industri dan pemodal. Namun, Direktur Jenderal Perikanan Tangkap Muhammad Zaini Hanafi menyampaikan komitmen Kementerian Kelautan dan Perikanan untuk memastikan diutamakannya kepentingan nelayan lokal dalam implementasi kebijakan ini. “Kuota untuk nelayan diberikan tanpa batasan dan tidak perlu bayar PNBP (Penerimaan Negara Bukan Pajak),” kata Zaini.
Selain ditetapkannya kuota, pemerintah juga mengatur alat tangkap dalam kerangka kebijakan ini. Alat tangkap yang boleh digunakan harus ramah lingkungan dan tidak merusak ekosistem laut. Oleh karena itu, diharapkan peraturan penangkapan perikanan terukur dapat mewujudkan laut yang sehat dan produktif, serta berkelanjutan guna mencapai kesejahteraan secara menyeluruh bagi seluruh pemangku kepentingan sektor perikanan tangkap, tak hanya industri besar namun juga nelayan lokal.
Baca Juga: Ketidakpastian di Sektor Kelautan dan Perikanan Perlu Disikapi
Tuna, cakalang, dan tongkol merupakan bagian dari kelompok ikan pelagis besar yang bersifat oseanik. Mereka selalu berpindah dari satu wilayah perairan ke wilayah perairan lainnya yang memiliki kondisi sesuai habitatnya. Jenis ikan-ikan ini kerap disebut dengan istilah highly migratory fish. Di Indonesia sendiri, terdapat lima jenis tuna, yakni tuna mata besar (Thunnus obesus), madidihang (Thunnus albacares), albakora (Thunnus alalunga), cakalang (Katsuwonus pelamis), dan tuna sirip biru selatan (Thunnus maccoyii).
Daerah penangkapan tuna di wilayah perairan Indonesia tersebar mulai dari Laut Banda, Laut Maluku, Laut Flores, Laut Sulawesi, Laut Hindia, Laut Halmahera, perairan utara Aceh, perairan barat Sumatera, perairan selatan Jawa, perairan utara Sulawesi, Teluk Cenderawasih, Teluk Tomini, dan Laut Arafura. Wilayah Indonesia timur hingga saat ini menjadi sentra produksi ikan pelagis bernilai ekonomi tinggi ini. Ini pula yang mendorong wilayah perairan Indonesia Timur, khususnya Maluku untuk dijadikan Lumbung Ikan Nasional.
Editor: Nur Alfiyah dan Leo Wahyudi