EcoStory

Perahu Tradisional dan Motif Pelayaran Suku Biak

Bagikan Tulisan
Suku Biak menaiki perahu tradisional wairon dalam Festival Munara Wampasi. (Shutterstock/Donny Irawan)

Suku Biak dikenal sebagai pengarung lautan yang handal. Suku yang berasal dari Pulau Biak dan Pulau Numfor ini mampu membuat beragam jenis perahu sesuai kebutuhan yang kemudian menjadi tradisi. Motif pelayarannya pun beragam, dari sekedar memenuhi kebutuhan hidup hingga pencarian budak.

Dalam jurnal berjudul Orang Biak Numfor Sebelum Abad 19 Suatu Tinjauan Sejarah Maritim yang ditulis oleh Usmany (2014), bagi orang Biak-Numfor, perahu merupakan benda berharga. Bentuk perahu dibuat sesuai peruntukannya, hal ini membuat Suku Biak dikenal memiliki beragam jenis perahu tradisional, antara lain wairon dan mansusu.

Baca juga: Membuka Egek, Melihat Deposito Alami Suku Moi

Wairon adalah sebutan untuk perahu berbentuk ramping yang digunakan untuk berperang. Saat itu pada abad ke-19, perang merupakan hal lumrah demi menunjukan status sosial. Perahu wairon tidak meng-gunakan layar untuk memudahkan pergerakan ketika berhadapan dengan lawan. Selain digunakan untuk berperang, perahu wairon juga digunakan untuk berniaga. Jika digunakan untuk berniaga barulah layar dipasang untuk mempercepat pelayaran.

Sedangkan mansusu adalah perahu yang digunakan untuk memuat hasil pelayaran seperti bahan pangan dan harta kawin. Karena berfungsi sebagai pembawa muatan, maka ukuran perahu ini lebih besar dan dapat menampung hingga 40 orang. Ciri khas perahu ini adalah bagian muka dan belakang yang dibuat serupa untuk mempermudah pergerakan jika suatu waktu perang terjadi.

Ketika berlayar, biasanya posisi wairon berada di depan, samping kanan dan kiri, juga di belakang mansusu. Tujuannya adalah untuk mengawal dan melindungi muatan hasil pelayaran. Namun pada situasi tertentu, wairon hanya berada di depan dan samping kanan-kiri saja, sementara mansusu berada di belakang. Hal ini bertujuan untuk mengantisipasi gelombang tinggi dan menghindari serangan dari kelompok lain.

Baca juga: Om, Makanan Berharga Bagi Suku Ngalum Ok

Motif pelayaran yang dilakukan oleh Suku Biak tidak terlepas dari hubungan dengan Kerajaan Tidore. Se-belum abad ke-19, tepatnya sebelum penaklukan Tidore, orang Biak berlayar untuk memenuhi kebutuhan hidup. Pelayaran dilakukan pada musim kemarau ketika tempat tinggal mereka mengalami kekeringan.

Terdapat dua jenis pelayaran dalam mencari bahan pangan ini yaitu fadaduren dan wadwai. Fadaduren adalah pelayaran untuk mencari bahan pangan dengan sistem barter. Sedangkan wadwai adalah pela-yaran untuk mencari makanan dengan memancing ikan dan berkebun ke daerah yang lebih jauh.

Selain itu, Suku Biak juga melakukan pelayaran untuk menjelajah atau yang disebut dengan bawores. Pelayaran ini biasanya didorong oleh tuntutan untuk memenuhi mas kawin dan juga persaingan untuk memperebutkan prestise atau yang dikenal dengan ego korfandi. Motif bawores inilah yang membawa mereka hingga ke Raja Ampat.

Baca juga: Suku Dani Manfaatkan Hutan sebagai Sumber Obat

Setelah penaklukan Tidore di wilayah pantai Barat dan kepala burung Papua, motif pelayaran Suku Biak lebih dominan untuk mencari budak. Sultan Tidore mengangkat kepala-kepala suku sebagai penguasa dengan catatan mereka harus mengirimkan upeti kepada sultan. Salah satu upeti yang diinginkan Kerajaan Tidore pada saat itu adalah budak.

Suku Biak kemudian memburu budak untuk memenuhi tuntutan upeti kepada Kerajaan Tidore. Pada saat itu, budak merupakan salah satu komoditas utama perdagangan yang memiliki nilai jual. Selain diberikan sebagai upeti kepada sultan, mereka juga memperdagangkan budak-budak yang berhasil mereka tang-kap. Perahu mansusu yang awalnya digunakan untuk mengisi muatan berupa pangan, kemudian beralih dan dipadati oleh budak-budak hasil buruan. 

Dalam hal navigasi, Suku Biak mengacu kepada bintang-bintang. Misalnya dalam menentukan arah angin, Suku Biak menggunakan bintang pagi (kumeser wanurem) yang muncul pada saat fajar sebagai tanda arah Timur. Sedangkan bintang sore (makmandira) yang terlihat ketika matahari akan terbenam digunakan sebagai tanda arah Selatan. 

Baca juga: Mendongkrak Produktivitas Pala di Kaimana

Beberapa bintang juga dijadikan acuan untuk menentukan musim seperti bintang Orion (Sawakoi) dan Scorpio (Romangguandi). Dari konstelasi bintang ini mereka membagi musim menjadi dua kategori besar yaitu wampasi dan wambraw. Wampasi adalah sebutan ketika laut tidak bergelombang, sedangkan wambraw adalah sebutan ketika laut bergelombang.

Untuk menapak tilas pelayaran nenek moyang tersebut, pada 2018, kapitarau (nahkoda) bernama Denis Koibur bersama Mananwir (Ketua Adat) Apolos Sroyer dan beberapa orang personil berlayar meng-gunakan perahu wairon  dari Biak untuk mengikuti Festival Perahu dan Perang di Papua New Guinea. Mereka bertolak dari Biak pada 25 September 2018 dan sempat singgah di Pulau Nusi dan Yapen. 

Setelah delapan hari berlayar, tepatnya pada 2 Oktober 2018, rombongan perahu Wairon itu berlabuh di Pantai Dok II Jayapura. Kehadiran mereka dimeriahkan oleh tarian adat tanah tabi dan disambut oleh Klemen Tinal, Wakil Gubernur Papua saat itu. Mereka sampai di Jayapura untuk meminta perizinan berlayar menuju Papua New Guinea.

Baca juga: Selayang Pandang Kopi Paniai

Perahu wairon kemudian sampai di Provinsi Milne Bay, Papua New Guinea pada 3 Desember 2018. Me-nurut Denis Koibur, seperti dilansir papua.go.id, perjalan itu merupakan yang pertama kali setelah 100 tahun berlalu. “Yang pasti perjalan ini baru pertama kali kami lakukan sejak 100 tahun lalu. Memang selama ini kami hanya lakukan perjalanan di seputaran pulau pulau yang ada di Biak saja,” kata Denis.

Editor: Nur Alfiyah & Lutfy Putra

EcoBlogs Lainnya

Copyright ©2023.
EcoNusa Foundation
All Rights Reserved