Search
Close this search box.
EcoStory

Ekonomi Biru dan Pemetaan Wilayah Adat Bagian Agenda Penting ASPEKSINDO

Bagikan Tulisan
Para pembicara tampil dalam Seminar Nasional dan FGD Perlindungan Hak-hak Masyarakat Adat, Masyarakat Tradisional, Masyarakat Lokal di Pesisir dan Pulau-pulau Kecil ” Pada Rakernas Asosiasi Pemerintah Daerah Kepulauan dan Pesisir (ASPEKSINDO) pada 10 Agustus 2022 di Kementerian Kelautan dan Perikanan. (EcoNusa/Mida N. Saragih)

Strategi ekonomi biru di Indonesia merupakan komitmen untuk memulihkan kesehatan laut dan mempercepat ekonomi laut yang berkelanjutan. Untuk mewujudkannya, komitmen untuk bekerja secara kolaboratif antara pemerintah nasional, pemerintah daerah dan berbagai organisasi yang bekerja untuk masyarakat adat diperlukan. 

Berbagai kegiatan ekonomi yang memanfaatkan ruang laut bertumbuh dengan cepat dan ancaman terhadap ekosistem laut dan pesisir juga terus meningkat. Hal ini disampaikan oleh Victor Gustaf Manoppo, Direktur Jenderal Pengelolaan Ruang Laut Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) pada Seminar Nasional dan Grup Diskusi Terpadu (FGD) tentang Perlindungan Hak Masyarakat Adat, Masyarakat Tradisional, Masyarakat Lokal di Pesisir dan Pulau-pulau Kecil pada 10 Agustus 2022. Acara ini menjadi bagian dari rapat kerja nasional Asosiasi Pemerintah Daerah Kepulauan dan Pesisir (ASPEKSINDO).

Menurut Victor, tantangan paling mendasar bagi bangsa Indonesia adalah bagaimana membangkitkan Kembali sektor perekonomian melalui pengelolaan sumber-sumber ekonomi secara kreatif, efektif, adaptif terhadap perubahan dan menjaga agar berkesinambungan.

“KKP memandang ekonomi biru sebagai acuan utama untuk laut Indonesia berkelanjutan dan kemakmuran rakyat,” kata Victor. Ia menambahkan bahwa strategi pengembangannya dapat dilakukan melalui tiga pilar utama ekonomi biru, yaitu ekologi, ekonomi, dan sosial. 

Dalam implementasi ekonomi biru, KKP menargetkan Kawasan Konservasi seluas 28,4 juta hektare pada 2021 dari target konservasi perairan laut seluas 32,5 juta hektar pada 2030. 

Pemetaan wilayah adat mendesak 

Deklarasi Wakatobi yang dihasilkan dari pertemuan puncak Gugus Tugas Reforma Agraria (GTRA Summit) 2022 pada 10 Juni 2022 meneguhkan komitmen kementerian/Lembaga untuk berkolaborasi dalam percepatan reforma agraria. Beberapa poin dalam Deklarasi Wakatobi adalah upaya untuk mewujudkan provinsi  dan kabupaten/kota yang bebas tumpang tindih aturan pada 2025, komitmen pemerintah daerah untuk mendorong percepatan penetapan Peraturan Daerah untuk pengakuan dan perlindungan masyarakat adat, termasuk pemetaan wilayah adat dan pemberdayaan masyarakat, mempercepat pendaftaran tanah di wilayah pesisir, dan berperan dalam mencegah perubahan iklim melalui pengelolaan kawasan mangrove di wilayah pesisir dan pulau kecil.

Dalam konteks ini, pemetaan wilayah adat merupakan salah satu agenda penting yang harus ditindaklanjuti, salah satunya dengan Kebijakan Satu Peta (KSP). “Kebijakan Satu Peta ini bertujuan untuk Menyusun standar referensi basis data geoportal yang sama secara nasional,” kata Kartika Listriana, Plt. Asisten Deputi Penataan Ruang dan Pertanahan, Kementerian Koordinator Perekonomian.

Target KSP adalah menyelesaikan 158 peta tematik di 34 provinsi dan 24 kementerian/Lembaga. Saat ini, 34 provinsi telah berkomitmen untuk menyelesaikan ketidaksesuaian tata ruang yang harus selesai pada 2024. “KSP akan mengurangi dan menghilangkan tumpang tindih dari pemanfaat ruang yang saat ini masih banyak (terjadi),” kata Kartika. 

Sementara itu, Kepala Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA), Kasmita Widodo, mengatakan bahwa BRWA bersama CSO sudah mengkompilasi 20 juta hektare peta wilayah adat dengan 1.119 peta di seluruh Indonesia. “Dari jumlah tersebut, tiga juta hektare dengan 189 peta wilayah adat sudah ada penetapan dari kepala daerah,” kata Kasmita.

Menurutnya, peta wilayah adat masih banyak yang di daratan. Tapi ada beberapa yang berada di wilayah pesisir dan ini bisa dikolaborasikan dengan KKP terkait informasi spasial dan sosial masyarakat adatnya. 

“Kepala daerah perlu menyuarakan bagaimana peta-peta yang sudah ditetapkan melalui SK atau Perda memiliki wali data di masing-masing daerah,” tegas Kasmita. 

Tak hanya wilayah darat, wilayah laut, wilayah pesisir pun harus segera dipetakan agar mendapatkan sertifikasi seperti yang diupayakan GTRA. “Kesertifikatan akan memberikan kepastian hukum dan kepastian tempat tinggal bagi masyarakat,” kata Haliana, Bupati Wakatobi sekaligus Sekretaris Jenderal ASPEKSINDO. 

Rakornas ASPEKSINDO merupakan pertemuan pimpinan daerah pesisir dan kepulauan seluruh Indonesia yang menjadi pertemuan strategis untuk mendorong implementasi Deklarasi Wakatobi menuju GTRA Summit 2023 yang akan diadakan di Provinsi Kepulauan Riau. ASPEKSINDO saat ini memiliki 333 kabupaten/kota berbasis daerah kepulauan dan pesisir sebagai anggotanya.

Editor: Leo Wahyudi

EcoBlogs Lainnya

Copyright ©2023.
EcoNusa Foundation
All Rights Reserved