
Selasa, 21 September 2025 siang, tepi pantai di Pulau Lakahia tampak ramai. Puluhan warga menunggu kedatangan Wakil Bupati Kaimana, Isak Wariensi, yang akan menyerahkan Surat Keputusan Bupati Kaimana tentang Pengakuan dan Perlindungan Keberadaan Masyarakat Hukum Adat Aara Suku Napiti. Keputusan tersebut adalah hasil perjuangan warga yang telah bekerja keras untuk mendapatkan pengakuan hak mereka.
Ketika rombongan Wakil Bupati Isak datang, masyarakat menyambutnya dengan tarian seka kaimana. Usai Kepala Suku Napiti, Frans Amerbay, memberikan ucapan selamat datang, Isak menyerahkan SK Pengakuan tersebut. “Pengakuan ini adalah kemerdekaan sesungguhnya bagi masyarakat adat. Semoga SK tersebut dapat digunakan untuk melestarikan wilayah adat bagi generasi mendatang,” kata Isak.
Baca Juga: Masyarakat Adat Aara Usulkan Pengakuan Wilayah Adat
Perwakilan masyarakat Napiti, Melkianus Tenawe, mengucapkan terima kasih kepada pemerintah dan berjanji bersama masyarakat akan menjaga wilayah tersebut sesuai amanat. Ia juga menyampaikan apresiasi khusus kepada EcoNusa yang selama ini telah mendorong masyarakat adat Aara sehingga mendapatkan pengakuan dari pemerintah daerah. “Kami berharap EcoNusa terus mengawal agar wilayah adat yang telah ditetapkan ini dapat dimanfaatkan secara berkelanjutan sesuai aturan yang berlaku,” ujarnya.
Perjuangan Masyarakat Aara
Dengan dukungan EcoNusa, Masyarakat Hukum Adat Aara, berjuang mendapatkan pengakuan hak sejak awal 2024. Tim EcoNusa melakukan asesmen awal pada Januari 2024 untuk mengidentifikasi komunitas adat tersebut dan batas wilayah mereka. Langkah krusial berikutnya adalah implementasi prinsip FPIC (Free, Prior, and Informed Consent) atau yang dikenal secara lokal sebagai padiatapa pada Mei 2024. Kesepakatan tanpa paksaan ini menjadi landasan etis dan hukum bagi pembentukan tim spasial, yang melibatkan elemen kunci masyarakat, yakni pemuda, tua adat, dengan dorongan tim EcoNusa.

Tim spasial lalu memetakan batas-batas wilayah Aara. Tim dari EcoNusa juga memberikan pelatihan penggunaan alat GPS (Global Positioning System) bagi pemuda adat agar mereka bisa memetakan wilayah mereka sendiri. Pemetaan tersebut juga melibatkan marga-marga tetangga untuk menyepakati batas wilayah.
Baca Juga: Musyawarah Adat Masyarakat Hukum Adat Aara: Momen Penting untuk Pengakuan Wilayah
Selain aspek spasial, proses ini diperkaya dengan penggalian tujuh pilar data sosial yang mencakup sejarah, hukum adat, kelembagaan, hingga keanekaragaman hayati. Kegiatan tersebut dilakukan secara paralel selama 25 hari melalui diskusi dan wawancara mendalam.
Setelah semua data dikumpulkan dan dicapai kesepakatan internal, masyarakat mengundang marga-marga tetangga untuk melakukan verifikasi lewat musyawarah adat pada 23-24 September 2024. Ini adalah momen pengakuan wilayah adat Aara secara formal dan disahkan melalui berita acara oleh marga-marga sekitar seperti Ombanariki, Kiruru, Bamana, dan Syawatan.
Setelah semuanya bersepakat, awal November 2024, masyarakat mengajukan usulan pengakuan hak kepada Pemerintah Kabupaten Kaimana, yang diterima langsung oleh Wakil Bupati Habusla Puarada dan Sekretartis Daerah Kaimana, Donald Wakum. Panitia Masyarakat Hukum Adat di bawah Pemda kemudian memverifikasi data-data tersebut.
Baca Juga: Meski Terisolir, Masyarakat Ombanariki Tetap Berkomitmen Melindungi Wilayah Adat
Surat Keputusan Bupati Terbit
Setelah proses panjang itu, pada September 2025 Bupati Kaimana akhirnya menandatangani SK No. 500.13/191/IX/2025 tentang Pengakuan dan Perlindungan Keberadaan Masyarakat Hukum Adat Aara Suku Napiti. Ini adalah SK pengakuan wilayah adat pertama di Kaimana. Dalam keputusan tersebut, pemerintah daerah resmi mengakui keberadaan dan hak-hak masyarakat adat atas wilayah yang telah mereka kelola secara turun-temurun.
Penyerahan SK pengakuan wilayah adat kepada Masyarakat Hukum Adat Aara ini merupakan perwujudan amanat konstitusi yang termaktub dalam Pasal 18B ayat (2) UUD 1945, menegaskan hak masyarakat adat atas wilayah, pranata, dan hukum adat mereka, di mana penyerahan SK oleh Wakil Bupati tersebut dipandang bukan sekadar seremoni, melainkan pengakuan negara yang nyata atas eksistensi mereka.
Editor: Nur Alfiyah


