Search
Close this search box.
EcoStory

Catatan Perjalanan: Ayam Petelur dan Sayuran Organik untuk Peningkatan Gizi dan Ekonomi Masyarakat 

Bagikan Tulisan
Anggota Kelompok Budi Daya Ayam Muara Bian memanen telur. Selain untuk keperluan konsumsi, telur-telur tersebut juga dijual di sekitar kampung.

Merauke berada di wilayah Indonesia paling timur dan berbatasan langsung dengan Papua Nugini. Seperti wilayah Papua lainnya, kabupaten tersebut memiliki sumber daya alam yang melimpah, terutama perikanan dan hasil hutannya. Namun di tengah-tengah kekayaan itu angka stunting di Merauke tergolong tinggi, yakni 23 persen atau di atas rata-rata nasional. Kasus stunting dan malnutrisi kerap kami jumpai di kampung-kampung, khususnya di wilayah Marind Dek. 

Melihat kondisi tersebut, kami dari Gereja Protestan di Indonesia (GPI) berkolaborasi dengan Yayasan EcoNusa melatih masyarakat di Kampung Kaptel untuk beternak ayam petelur. Selain menjadi program untuk membantu masyarakat dan pemerintah dalam memerangi stunting dan malnutrisi, peternakan ayam petelur dipilih karena belum ada usaha peternak ayam telur maupun ayam potong di Distrik Kaptel maupun Distrik Okaba yang berada di sebelahnya. 

Masyarakat semula mengonsumsi telur ayam dengan membelinya di Kota Merauke, dengan harga Rp5 ribu per butir atau sekitar Rp70 ribu per kilogram. Jika mereka bisa membudidayakan ayam petelur, maka masyarakat di Kampung Kaptel dan sekitarnya  dapat mengakses protein dari telur dengan harga yang lebih terjangkau.

Baca Juga: Sanggase, Calon Sentra Penghasil Beras di Distrik Okaba

Kegiatan pelatihan budi daya ayam petelur ini dimulai pada akhir Agustus 2023, kami datang ke Kampung Kaptel dan melatih masyarakat. Ada 15 orang mama-mama dan bapa-bapa yang bergabung. Mereka belajar tentang proses beternak, mulai dari cara membuat kandang, memelihara ayam, memberikan pakan, membersihkan dan memberikan vaksin, hingga cara mengatasi ayam yang stres. Usai pelatihan tersebut, para anggota Kelompok Budi Daya Ayam Muara Bian tersebut baku jaga memelihara ayam yang diternakkan. 

Ayam petelur umumnya mulai bertelur pada umur sekitar 22 minggu. Produksi telur terus meningkat dan mencapai puncak produksi pada umur sekitar 32 sampai 36 minggu. Dan benar saja, pada Desember 2023, ayam-ayam yang dipelihara mulai bertelur. Para anggota kelompok tentu sangat senang, terlebih hasilnya terus bertambah dari hari ke hari. Dari 20 telur per hari hingga kemudian bisa menghasilkan 80-100 butir telur per hari dari 100 ekor ayam.

Januari 2024, sudah lebih dari 200 butir telur yang mereka panen. Kami kemudian mengumpulkan para anggota kelompok. Para anggota bersepakat bahwa hasil ini tidak dijual tetapi dikonsumsi untuk setiap anggota kelompok dan mereka sangat senang sekali. Mengingat telur ayam sangat sulit didapatkan di Kampung Kaptel. 

Baca Juga: Menggali Potensi Kampung Gisim di Sorong

Setelah minggu kedua Januari 2024, kami bersepakat untuk mulai menjual atau memasarkan ke dalam kampung. Para pegawai Distrik Kaptel dan Puskesmas mulai memesan telur secara rutin kepada kami. Para anggota kelompok juga mulai menjual di kampung-kampung sekitar yang berdekatan dengan Kampung Kaptel. Kami juga bekerja sama dengan Pemerintah Provinsi Papua Selatan untuk memasarkan telur hasil panen ke Puskesmas Kaptel sebagai program perbaikan gizi bagi anak dan ibu hamil. 

Saya sempat berbincang dengan mama Yakoba Balagaize, salah satu anggota kelompok ayam petelur tersebut. Dia mengatakan dengan adanya program budi daya ayam petelur ini, masyarakat tidak lagi susah untuk mengkonsumsi telur. Mama Yokaba bahkan berharap GPI Papua dan EcoNusa menambah jumlah ayam, sebab banyak masyarakat lain yang ingin juga terlibat dan kami sudah bisa merasakan hasilnya.

Setelah ayam petelur ini, masyarakat juga ingin melanjutkan dengan budi daya ayam potong serta membentuk kelompok sayur organik. Kami dari pihak GPI Papua pun berencana, ketika ayam petelur, ayam potong berjalan, maka kami memanfaatkan pekarangan rumah warga untuk menanam sayuran dan tumbuhan obat lainnya. 

Budi Daya Sayuran Organik di Sanggase dan Alatep

Program budi daya sayuran organik juga sudah kami lakukan di Kampung Sanggase dan Kampung Alatep di Distrik Okaba sejak 2022, dengan dukungan Yayasan EcoNusa. Kami melihat bahwa warga di dua kampung tersebut memiliki lahan pekarangan yang cukup luas. Namun, pekarangan tersebut kebanyakan tidak digarap oleh masyarakat. Para warga kebanyakan membiarkan tanah-tanah itu tidur atau ditumbuhi ilalang.

Di sisi lain, kebutuhan akan sayuran tidak terpenuhi dengan cukup baik. Masyarakat biasanya hanya mengkonsumsi daun atau bunga tanaman, seperti daun ubi, daun gedi, dan bunga pepaya. Sayuran seperti sawi, kangkung, bayam, rica, tomat, dan mentimun baru bisa dikonsumsi ketika mereka baru berbelanja dari pusat distrik.

Baca Juga: Membangun Kemandirian Masyarakat Adat Melalui Komoditas Keladi

Kami mengajak masyarakat untuk memanfaatkan lahan milik gereja yang kurang lebih berukuran setengah hektare. Dan karena masyarakat asli belum memiliki pengetahuan tentang budi daya sayuran, maka kami mengundang para petugas pertanian dan masyarakat yang menjadi jemaat gereja untuk memberikan mereka pengetahuan cara bertani sayuran organik. 

Para petugas pertanian inilah yang memberikan pemahaman serta melatih para jemaat yang kemudian menjadi anggota kelompok pertanian. Para anggota tersebut diajarkan mulai dari bagaimana menyiapkan lahan, mengelola tanah, juga membuat tempat persemaian bibit. Setelah itu baru mereka mulai diajarkan untuk membuat pupuk organik dan pestisida alami. 

Kami pun menjelaskan kepada masyarakat terkait dengan pentingnya sayuran organik yang bermanfaat bagi kesehatan mereka dan juga bagi lingkungan. Dalam diskusi tersebut kami menerangkan bahwa apabila menggunakan pupuk non organik, memang hasilnya akan melimpah, tetapi lama-kelamaan humus tanah akan rusak serta pasti tubuh kita akan sangat rentan dengan penyakit. 

Baca Juga: Memenuhi Gizi dari Kebun Sendiri

Sejak saat itu, anggota Kelompok Pertanian Tangan Sanggase Okaba mulai mengelola lahan tersebut. Bermacam-macam tanaman dibudi daya, seperti terung, kacang panjang, rica, tomat, sawi, dan bawang merah. Biasanya tanaman tersebut mulai ditanam tiga bulan sebelum lebaran dan Natal. Mengapa? Kami sadar bahwa pada hari raya keagamaan sudah barang tentu harga kedua komoditas tersebut akan sangat tinggi nilainya. 

Hal itulah yang sudah masyarakat rasakan. Pada Maret 2022, kelompok tani pernah mendapatkan kurang lebih Rp 7 juta ketika menjual rica dan tomat. Tentunya masyarakat sangat merasa senang sekali. Kami arahkan mereka untuk duduk bersama dan membagi uang tersebut kepada setiap anggota kelompok secara merata dengan menyisihkan Rp2 juta sebagai modal produksi selanjutnya. Masyarakat pun bebas mengonsumsi hasil panen untuk memenuhi gizi anggota keluarga. 

Tentunya dengan melihat hasil tersebut masyarakat sangat senang dan mereka mulai menggarap lahan-lahan tidur untuk dijadikan tempat sayuran. GPI Papua terus mendorong agar masyarakat dapat terus mengembangkan pertanian organik selain baik untuk kesehatan masyarakat, tetapi juga aman bagi lingkungan sehingga bisa digunakan secara berkelanjutan. Hal ini dimaksudkan agar masyarakat dapat secara mandiri memiliki ketahanan pangan dan sejalan dengan itu peningkatan ekonomi pun dapat terjadi.

*External Affairs Sinode GPI Papua & Direktur Yayasan Dahetok Milah Lestari

Editor: Nur Alfiyah

EcoBlogs Lainnya

Copyright ©2023.
EcoNusa Foundation
All Rights Reserved