Rencana pemerintah menerbitkan regulasi penangkapan ikan terukur menimbulkan pertanyaan dan keraguan dalam memperbaiki tata kelola perikanan tangkap. Penyusunan kebijakan baru yang dilandasi penerimaan pendapatan negara dikhawatirkan akan merusak ekosistem sumber daya perikanan dan tak mengindahkan kesejahteraan nelayan kecil.
“Nelayan kecil akan lebih termarjinalkan kalau kebijakan ini terealisasikan. Nelayan kecil juga masih harus menghadapi ancaman lain seperti perubahan iklim sehingga mereka sulit melaut,” kata Dedi S. Adhuri, peneliti Pusat Riset Masyarakat dan Budaya, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), dalam diskusi daring bertajuk “Melihat Arah Kebijakan Kelautan dan Perikanan 2022” pada 23 Februari 2022.
Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menetapkan peningkatan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) sebagai salah satu prioritas hingga 2024. Berdasarkan izin penangkapan ikan, pemerintah mendapatkan PNBP sekitar Rp600 miliar. Namun, penerimaan tersebut dinilai tak sebanding dengan potensi perikanan yang terhampar di laut Indonesia. Untuk itu, dengan menggratiskan izin, pemerintah berharap mendapatkan Rp12 triliun dari tarif hasil penangkapan sumber daya perikanan.
Baca juga: Kapok Pakai Bom Ikan
Regulasi untuk mengatrol PNBP diatur dalam draf Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Penangkapan Ikan Terukur dan Rancangan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan tentang Tata Cara Penarikan Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berasal dari Pemanfaatan Sumber Daya Alam Perikanan dengan Sistem Kontrak (Permen KKP Sistem Kontrak). Sayangnya, kebijakan tersebut tak memperhitungkan keseimbangan ekosistem perairan dan nasib nelayan kecil.
Dedi mengatakan, rancangan PP Penangkapan Ikan Terukur hanya memuat klausul potensi ikan pada zona penangkapan ikan terukur. Ia menyoroti alpanya pengaturan sumber daya perikanan yang telah dieksploitasi secara berlebih dan berada pada zona merah. Berdasarkan Kepmen No.50/KEPMEN-KP/2017 cumi, lobster, dan udang berada pada zona merah hampir di setiap Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP).
Kemudian, menurut Dedi, pembagian zonasi WPP ke dalam tiga kategori zona industri, zona nelayan tradisional, dan zona perikanan terbatas, akan membuat zona tangkapan menjadi tumpang tindih. Pasalnya, setiap WPP memiliki pelaku industri dan nelayan kecil yang berbeda. “Bagaimana mengatur realitas yang tumpang tindih ini? Lalu, di zona penangkapan ikan untuk industri ada kuota yang sudah ditetapkan, dikemanakan spesies yang lebih tangkap?” ungkap Dedi.
Baca juga: Pentingnya Kehadiran RUU Daerah Kepulauan
Kekhawatiran Dedi lainnya terletak pada relasi timpang antara nelayan kecil dan dengan industri penangkapan ikan. Dalam Pasal 14 rancangan PP Penangkapan Ikan Terukur, Ayat 1 menyebutkan penangkapan ikan pada zona industri penangkapan ikan wajib menggunakan nahkoda dan anak buah kapal (ABK) berkewarganegaraan Indonesia. Lalu, pada Ayat 2 disebutkan anak buah kapal diutamakan nelayan lokal yang berdomisili di wilayah administratif provinsi pada zona industri penangkapan ikan.
“Nelayan dapat dididik sebagai ABK melalui pendidikan vokasi oleh KKP. Ini menunjukkan rencana yang mensubordinasi nelayan kecil yang selama ini entitasnya mandiri, menjadi pekerja kapal. Tidak ada penyiapan dan pengorganisasi nelayan dan pembuatan koperasi yang seharusnya diantisipasi KKP,” ujar Dedi.
Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara), Susan Herawati, menuturkan skema kemitraan yang ditawarkan pemerintah kepada pihak swasta dan asing merupakan langkah mundur kedaulatan perairan Indonesia. Menurutnya, upaya memerangi penangkapan ikan ilegal, tidak dilaporkan, tidak diatur (IUU Fishing) akan menjadi sia-sia.
Kemitraan melalui sistem kontrak termaktub dalam rancangan PP Penangkapan Ikan Terukur. Pada Pasal 8 Ayat 1, disebutkan pemanfaatan kuota industri pada zona industri penangkapan ikan dilakukan dengan sistem kontrak kerja sama dan perizinan berusaha. Berdasarkan rancangan Permen KKP Sistem Kontrak, durasi kontrak paling lama 20 tahun dan dapat diperpanjang.
“11 WPP boleh dikontrakkan kepada korporasi asing dengan menggunakan skema penanaman modal asing. Ketika kita berjuang agar laut Indonesia tidak lagi dieksploitasi oleh kapal asing, hari ini melalui UU Cipta Kerja dan peraturan turunannya eksploitasi bisa terjadi. Ini gerakan yang sangat mundur dari mandat kita sebagai negeri bahari,” ungkap Susan.
Menurut Susan, mekanisme kontrak pada pemanfaatan sumber daya perikanan berpotensi mengulang kasus rasuah yang pernah terjadi di KKP pada periode sebelumnya. Mantan Menteri KKP Edhy Prabowo divonis lima tahun penjara karena terbukti menerima suap pada kasus perizinan ekspor benih lobster.
Baca juga: Rehabilitasi Mangrove, Upaya Pemerintah Mengurangi Emisi Karbon
Penolakan rancangan PP Penangkapan Ikan Terukur juga disampaikan oleh Koalisi untuk Kelautan dan Perikanan Berkelanjutan (Koral). Berdasarkan sejumlah publikasi hasil penelitian, sistem kuota pada perikanan terukur memiliki dampak negatif lebih banyak, seperti menjauhkan nelayan kecil dari sumber daya perikanan, kerusakan ekologi, dan memicu peningkatan gas rumah kaca.
“Kebijakan ini tak menjamin keberlanjutan sumber daya kelautan dan perikanan yang juga telah menjadi tujuan pembangunan berkelanjutan (SDGs),” ujar Suhana dari Pandu Laut Nusantara mewakili Koral.
Editor: Leo Wahyudi & Wiro Wirandi