Search
Close this search box.
EcoStory

Peserta STS Pertanyakan Status Hutan ke KPH Sorong Selatan

Bagikan Tulisan
Suasana kelas hari pertama Sekolah Transformasi Sosial di Kampung Mogatemin, Kabupaten Sorong Selatan, Papua Barat.
(Yayasan EcoNusa/Alberth Yomo)

Sekolah Transformasi Sosial ( STS ) di Kampung Mogatemin, Distrik Kais Darat, Kabupaten Sorong Selatan (Sorsel), nampaknya menjadi wadah diskusi yang penting dan menarik bagi warga kampung. Warga kampung yang selama ini bertanya-tanya tentang status hutannya akhirnya bisa mendapatkan jawabannya, walaupun itu tidak membuat mereka puas.

Hal itu terlihat ketika sejumlah peserta STS Mogatemin menyampaikan beragam pertanyaan  kepada Kepala Seksi Perencanaan dan Pemanfaatan Hutan di Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) Sorong Selatan, Yermias Y.M Thesia, usai mempresentasikan materinya. Presentasi tentang pengelolaan potensi sumber daya alam, kaitannya dengan perlindungan hutan dan lautan, disampaikan pada hari pertama pelaksanaan STS Mogatemin, Sabtu, 26 Maret 2022.

“Kami masyarakat tidak mengerti dengan pengelolaan hutan yang dimaksud ini seperti apa? Di kampung kami ada potensi kayu damar merah dan damar putih. Masyarakat tebang pohon terus jual kayu, kami tidak pikir ke depan seperti apa. Jadi langkah apa yang harus kami ambil?” tanya Derek Tigori, peserta STS asal Kampung Manelek.

Baca Juga: Masyarakat Arguni Bawah Manfaatkan Hasil Kebun untuk Pupuk Alami

Menanggapi pertanyaan itu, Yermias menjelaskan bahwa selama ini pihaknya ( KPH Sorsel ) belum masuk ke wilayah Manelek, karena itu di luar wilayah kerja KPH Sorsel. Tapi dengan aturan baru, KPH Sorsel sudah bisa masuk ke wilayah Manelek untuk melihat potensi apa yang bisa dikembangkan. 

“Sebelumnya wilayah kerja KPH Sorsel dibatasi hanya pada Hutan Lindung dan Hutan Produksi. Sedangkan Kampung Manelek itu termasuk dalam Hutan Produksi Konversi. Nah, dengan adanya aturan baru (Peraturan Pemerintah 23 Tahun 2021), KPH Sorsel sudah bisa masuk ke Hutan Produksi Konversi. Jadi nanti kita lihat potensi apa yang bisa didorong di sana,” jawab  Yermias.

Namun Yermias berharap, masyarakat setempat khususnya dari Kampung Manelek dan juga kampung-kampung lainnya bisa mengelola potensi alamnya secara bijaksana. “Kalau tebang pohon untuk keperluan bangun rumah warga silakan. Tapi jangan sampai jual hutan ke orang lain, nanti masyarakat sendiri yang susah,” ujarnya.

Baca Juga: Sekolah Transformasi Sosial Resmi Dibuka Bupati Sorong Selatan

Pertanyaan berikutnya dari Alfaris Dere, peserta STS asal Kampung Mogatemin tentang status hutan konservasi dan hutan lindung. ”Kami masyarakat bingung, pemerintah bilang ini hutan lindung, ini hutan konservasi, tidak usah tebang pohon, nanti polisi tangkap. Tolong bapak jelaskan apa perbedaan dan persamaan hutan lindung dan hutan konservasi itu? Lalu siapa yang menentukan hutan itu hutan lindung dan hutan konservasi? Apakah dari masyarakat atau pemerintah?” tanya Alfaris.

Pertanyaan ini sempat membuat ruang diskusi jadi ramai, karena sebagian besar peserta tampaknya memiliki pandangan yang sama. “Status hutan di Indonesia ditetapkan oleh Pemerintah. Hutan konservasi itu fungsinya untuk melindungi keanekaragaman hayati, supaya tidak punah. Karena di hutan itu ada fauna endemik, ada flora endemik yang hanya ada di tempat itu. Karena itu, hutan itu ditetapkan sebagai hutan konservasi supaya flora dan fauna endemik Papua itu tidak punah,” jelasnya.

Sementara hutan lindung, menurut Yermias, adalah hutan yang berfungsi untuk menjaga ekologi dan ekosistem di daerah itu. Kalau hutan itu rusak, sistem lingkungan yang lebih besar bisa ikut rusak dan berdampak buruk bagi manusia. Misalnya, hutan lindung yang fungsinya untuk menjaga debit air, kalau hutannya rusak, masyarakat tidak bisa dapat air bersih lagi.

Baca Juga: Workshop Kepala Kampung, Agar Hutan Tak Lagi Hilang

Dalam pemaparannya Yermias juga menjelaskan tentang tupoksi baru KPH Sorong Selatan sesuai Pasal 123 Peraturan Pemerintah Nomor 23/2021. Mulai dari membuat rencana pengelolaan hutan di Hutan Produksi, Hutan Konservasi, dan Hutan Lindung.

Dalam konteks otonomi khusus, KPH melaksanakan kegiatan dengan menghasilkan produksi  sekaligus memberikan contoh kepada masyarakat, mengajak untuk melakukan usaha pemanfaatan ekonomi khusus hasil hutan bukan kayu dan berperan dalam setiap prosesnya. “Di samping sebagai unit pengelola, maka 1 KPH diwajibkan  mengawal minimal 1 produk sampai dengan finishing siap untuk dipasarkan,” jelas Yermias.

Yermias menjelaskan, sesuai dengan visi KPH yaitu mewujudkan KPH yang profesional dan mandiri menuju kelestarian hutan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat padai 2025, maka KPH Sorsel memiliki sejumlah misi. Beberapa di antaranya adalah menciptakan  peluang dan iklim investasi di bidang  kehutanan serta menumbuhkan budaya kewirausahaan  dalam  peningkatan  usaha bidang  kehutanan. Tujuannya untuk  mendapatkan  manfaat  lingkungan, sosial, budaya,  dan ekonomi  yang seimbang dan lestari untuk  kesejahteraan  rakyat serta mewujudkan  pemberdayaan  masyarakat  dalam konteks  otonomi daerah,  otonomi khusus  bagi Provinsi  Papua dan  Papua Barat.

Baca Juga: Minyak Lawang, Potensi Tersembunyi di Boven Digoel

Beberapa kegiatan pengelolaan kawasan hutan yang telah dilaksanakan KPH Sorong Selatan di antaranya melakukan pembinaan dan pemantauan terhadap pemegang izin untuk Hasil Hutan Kayu. Hasilnya, tiga perusahaan telah mendapatkan Izin Usaha Pengelolaan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK), yakni PT. Bangun Kayu Irian, PT. Mitra Pembangunan Global, dan PT. Manca Raya Agro Mandiri.

Untuk Hasil Hutan Bukan Kayu, KPH Sorsel telah mendorong pengelolaan sagu, damar, gaharu, sarang semut, minyak atsiri,  dan madu oleh kelompok masyarakat sekitar hutan. ntuk Jasa Lingkungan, KPH Sorsel bersama masyarakat sekitar kawasan hutan telah merintis wisata air terjun, lokasi foto, dan Air Minum Dalam  Kemasan (AMDK).

Editor: Leo Wahyudi & Nur Alfiyah

EcoBlogs Lainnya

Copyright ©2023.
EcoNusa Foundation
All Rights Reserved