Search
Close this search box.
EcoStory

Merenungi Hujan di Bulan Juni

Bagikan Tulisan
Suhu muka laut di perairan Indonesia yang terus menghangat mengikuti kecenderungan pemanasan global akan menyuplai uap air yang lebih banyak sehingga dapat memicu pertumbuhan awan dan hujan yang lebih intens. (Yayasan EcoNusa/ David Hermanjaya)

Sapardi Djoko Damono mungkin tak pernah mengira salah satu puisinya akan menjadi nyata. Suatu hari pada 1989, akademisi cum sastrawan itu menulis puisi sendu berjudul Hujan Bulan Juni. Sapardi menggunakan metafora “hujan bulan Juni” untuk menggambarkan cinta yang tak sampai, persembahan, pengorbanan, dan penantian dalam diam menghayati rindu yang malu-malu.

Hujan Bulan Juni menyentuh hati banyak pembaca. Sapardi menggunakan personifikasi hujan bulan Juni untuk mengisahkan cinta yang bersabar dalam rindu yang rahasia. Hujan di bulan Juni tak pernah datang, begitu juga dengan rindu yang berakhir dalam diam.

Puluhan tahun berselang sejak kali pertama larik-larik itu disusun, pada 2022 hujan bulan Juni mendatangi kita. Bukan berupa puisi, tapi hujan yang datang secara harfiah. Hujan Bulan Juni telah kehilangan daya magisnya walau mungkin masih cukup mujarab untuk dibaca dengan khidmat. 

Baca juga: Mimpi Baru Demokrasi dan Ekologi

Hujan di bulan Juni merupakan fenomena yang tak lazim. Seharusnya musim kemarau datang di bulan Juni dan puncak musim hujan terjadi di bulan Desember. Namun hujan tetap datang di bulan Juni pada 2022. Fenomena itu belum pernah terjadi. Harus diakui, peningkatan emisi karbon, kerusakan ekosistem hutan dan laut, eksploitasi alam berlebihan kini turut andil dalam anomali iklim. Salah satu akibatnya,  kemarau datang terlambat dibanding rata-rata tahunannya.

Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) mencatat musim kemarau pada 2021 telah dimulai pada Mei dan Juni 2021. Menurut BMKG, bila dibandingkan dengan rata-rata selama 30 tahun, yakni pada 1981-2010, awal musim kemarau pada 2021 di sebagian besar wilayah Indonesia mundur terhadap rata-rata.

Indonesia mengenal 342 zona musim (ZOM). Pada 2020, musim kemarau tiba di bulan April pada 17 persen ZOM. Sebanyak 33,3 persen ZOM merasakan musim kemarau pada bulan Mei. Sementara 27,5 persen lainnya masuk musim kemarau pada bulan Juni.

Baca juga: Keterlibatan Pemuda Terhadap Krisis Iklim Krusial

Suhu muka laut di perairan Indonesia yang terus menghangat mengikuti kecenderungan pemanasan global akan menyuplai uap air yang lebih banyak sehingga dapat memicu pertumbuhan awan dan hujan yang lebih intens. “Hal ini dapat berimplikasi terhadap peningkatan risiko bencana hidrometeorologi di Indonesia,” kata Deputi Bidang Klimatologi BMKG Urip Haryoko kepada Kompas.

Fenomena La Nina yang tengah terjadi membuat intensitas hujan di Indonesia meningkat. Sejumlah lembaga pengkajian iklim membuat prediksi La Nina akan berlangsung hingga akhir tahun. Bila ini terjadi, Samudera Pasifik berada dalam fase La Nina selama tiga tahun berturut-turut. Ini termasuk peristiwa yang jarang terjadi.

Ahli Iklim Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) dan Wakil Ketua Kelompok Kerja I Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC), Edvin Aldrian, mengatakan bahwa fenomena La Nina yang terus terjadi dalam tiga tahun terakhir bersifat temporer. “Memang sekarang ada sejumlah anomali cuaca, termasuk Siklon Seroja beberapa waktu lalu, walaupun masih terlalu dini menyimpulkan bahwa pemanasan global telah mengubah rezim iklim,” kata Edvin.

Baca juga: Krisis Iklim Mengancam Kesejahteraan Nelayan Indonesia

Hasil penelitian University of New South Wales yang terbit di jurnal Nature Climate Change memberikan analisis yang berbeda. Secara global iklim telah berubah. Menurut para peneliti La Nina akan sering terjadi. Hal ini disebabkan oleh pemanasan global yang membuat es di kutub utara dan selatan mencair. Dalam 20 tahun terakhir, 5 triliun ton es di Greenland telah mencair. Anatomi lautan dunia telah berubah.

Tatkala Juni membawa peringatan tentang kondisi “rumah” kita, Juni juga menjadi hari bulan yang cukup spesial dibandingkan bulan lainnya. Di bulan ke-6 ini, ada beberapa hari besar yang layak untuk diperingati, yaitu Hari Lahir Pancasila pada 1 Juni, Hari Lingkungan Hidup Sedunia pada 5 Juni, Hari Laut Sedunia pada 8 Juni, dan Hari Segitiga Terumbu Karang pada 9 Juni.

Memutar jam waktu 50 tahun ke belakang, pada 5 Juni 1972, para pemimpin dunia memutuskan duduk bersama dan berdiskusi perihal bagaimana menyadarkan masyarakat untuk menaruh perhatian kepada lingkungan. Untuk memperingati hari bersejarah tersebut, Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa memutuskan menggunakan kembali tema yang sama setelah 50 tahun pertemuan itu berlangsung, “Only One Earth”.

Baca juga: Merangkul Pemuda di Tahun Politik

Selain peringatan hari lingkungan di atas, ada Konferensi Gugus Tugas Reforma Agraria (GTRA Summit) yang dilangsungkan di Kabupaten Wakatobi, Provinsi Sulawesi Tenggara. Pada pembukaan GTRA Summit, Presiden Joko Widodo menekankan agar pemerintah, baik pusat dan daerah bersinergi untuk menyelesaikan sengketa lahan yang ada di masyarakat. Menurut Jokowi, sengketa tanah bukan permasalahan kecil karena dampak sosial dan ekonominya bisa ke mana-mana. 

Peringatan-peringatan hari besar di atas juga mengingatkan kita pada alam yang sudah memberi peringatan kepada kita. Termasuk hujan di bulan Juni yang tak lazim, konflik agraria, persoalan kelautan, kehutanan. Semua memberi pesan bahwa masih ada banyak pekerjaan rumah yang harus kita selesaikan bersama menyangkut alam, hutan, dan laut kita yang kondisinya makin terancam. 

Kondisi ini mengingatkan kita bagaimana Pancasila bekerja. Selain memberi hari libur pada pekerja, peringatan Hari Lahir Pancasila dapat menjadi momentum untuk berefleksi. Pancasila telah berbicara tentang hubungan dengan Tuhan, alam, dan manusia. Tuhan telah menciptakan semesta dengan indah untuk membantu manusia di Bumi. Sudah sepantasnya hasil ciptaan tersebut dijaga bersama.

Editor: Leo wahyudi

EcoBlogs Lainnya

Copyright ©2023.
EcoNusa Foundation
All Rights Reserved