Search
Close this search box.
EcoStory

Festival Egek, Menjaga Alam dan Warisan Leluhur Suku Moi

Bagikan Tulisan
Para tetua adat suku Moi melakukan upacara fie untuk membuka egek. (Yayasan EcoNusa/M. Fikri)

“Semua harap keluar dari rumah dan berkumpul di gapura. Mari tong (kita) siap-siap untuk Festival Egek!” seru seorang lelaki Suku Moi di Kampung Malaumkarta sambil menggenggam pengeras suara di pagi yang cerah. Lelaki ini berkeliling ke setiap sudut kampung sambil menyerukan hal yang sama, diikuti tiupan sangkakala dari kulit bia (cangkang kerang) sebagai tanda panggilan kepada seluruh masyarakat kampung. Hari ini, Senin, 5 Juni 2023 adalah hari pertama dilaksanakannya Festival Egek di Kampung Malaumkarta, Distrik Makbon, Sorong, Papua Barat Daya.

Festival Egek 2023 merupakan festival pertama yang diinisiasi oleh masyarakat Suku Moi dan digerakkan oleh para pemuda yang tergabung dalam Pemuda Generasi Malaumkarta. Dengan dukungan berbagai pihak, mulai dari pemerintah pusat, pemerintah kabupaten, dan pemangku kepentingan lainnya, festival budaya yang mengangkat slogan “Tong Jaga Alam, Wariskan Budaya Egek Suku Moi” ini diselenggarakan pada 5-8 Juni 2023. Waktu pelaksanaan dipilih untuk memeriahkan Hari Lingkungan Hidup Sedunia yang jatuh pada 5 Juni setiap tahunnya.

“Kami dari Pemerintah Provinsi Papua Barat sangat mendukung ini, karena ini penting dalam menjaga kelestarian lingkungan terutama laut. Jangan sampai budaya suku Moi punah,” ucap Edison Siagian, Penjabat (Pj.) Sekretaris Daerah Provinsi Papua Barat, dalam sambutannya pada pembukaan Festival Egek. Edison juga mendorong agar bahasa suku Moi dimasukkan ke dalam kurikulum Pendidikan, agar bahasa lokal ini senantiasa lestari dan tidak punah dimakan zaman.

Baca Juga: Catatan Perjalanan: Egek, Budaya Konservasi Tradisional Suku Moi

Egek adalah kearifan lokal suku Moi yang mengatur larangan untuk mengambil sumber daya alam dalam kurun waktu tertentu di wilayah tertentu. Tradisi ini dipilih sebagai nama festival karena memiliki makna penting bagi orang Moi. Karena hakikat egek adalah mengambil secukupnya dan memberikan jeda kepada alam untuk pulih sebelum diambil kembali. 

“Konsep dasar egek sarat akan nilai adat dan budaya suku Moi yang memiliki potensi tinggi untuk sektor pariwisata. Segala festival yang mengandung nilai kelestarian harus kita jaga dan kita dorong, sehingga membawa manfaat ekonomi bagi masyarakat lokal,” kata Pj. Bupati Sorong, Yan Piet Mosso.

Dalam pembukaan festival, tamu undangan hadir disambut dengan tarian a’leing, yakni tarian penyambutan khas Suku Moi. Para mama, bapak, nona, dan adik mengenakan pakaian angsling, yakni pakaian tradisional suku Moi yang terdiri dari baju adat yang terbuat dari kulit kayu agmai, mahkota perahu khas suku Moi bernama woser, lengkap dengan beragam aksesoris lainnya. Para mama dan bapak juga mengalungi noken. Beberapa mama dan bapak mengisi nokennya dengan payung tradisional khas Suku Moi bernama koba-koba. alat menokok sagu bernama lemek, juga hasil bumi yang mereka miliki.

Baca Juga: Bukan dari Laut, Garam Asli Papua Berasal dari Hutan

Kegiatan dilanjutkan dengan upacara fie, sebuah ritual adat Suku Moi untuk membuka egek yang dipimpin oleh tetua adat. Ritual ini dilakukan sebagai bentuk permohonan izin kepada leluhur untuk mengambil hasil laut dan memohon keselamatan untuk masyarakat Moi yang bertugas menyelam untuk mengambil hasil laut. Dalam ritual fie, dewan adat menyiapkan beberapa persembahan untuk leluhur seperti pinang, sirih, kapur, rokok, kain tenun, nasi kuning, sagu iris, ampas sagu, juga alat tangkap ikan seperti kacamata molo dan jerat pancing.

Sebagai kearifan lokal, egek adalah kearifan lokal yang memberikan jeda kepada alam untuk beregenerasi. Ini adalah cara masyarakat Kampung Malaumkarta menjaga laut sebagai sumber penghidupan. “Masyarakat semua mata pencahariannya nelayan, dari hasil lautlah kami bisa menghidupi keluarga dan menyekolahkan anak-anak. Jadi torang (kami) sangat bergantung sekali dengan laut. Tong harus jaga alam, agar alam tidak murka,” kata mama Abigail Kalami, salah satu warga asli Malaumkarta.

Ketika egek ditutup, artinya masyarakat Moi yang ada di wilayah Malaumkarta Raya tidak diperbolehkan mengambil hasil laut dalam jumlah banyak. Masyarakat juga dilarang mengambil beberapa spesies, seperti lobster, lola, dan teripang. Jenis hasil laut ini hanya boleh diambil saat egek sedang dibuka, itu pun dengan berbagai aturan, contohnya lobster yang masih kecil dan yang memiliki telur harus dilepas lagi ke laut. Hal ini dilakukan guna menjaga kelestarian hasil laut demi kesejahteraan kehidupan masyarakat Suku Moi sendiri. Adat pun mengatur secara tegas bahwa tidak dibolehkan mengambil hasil alam dengan alat yang merusak ekosistem laut. Bila ada yang melanggar aturan adat ini, ada sanksi adat yang dikenakan.

Baca Juga: Sasi di Pulau Lemon, Inisiatif Anak Muda untuk Menjaga Laut

Mama Abigail juga menambahkan bahwa egek adalah warisan dan amanat dari leluhur mereka untuk menjaga alam. Bila mereka tidak menjaga alam dengan baik, alam akan marah dan akan mendatangkan bencana bagi masyarakat Moi. Bagi orang Moi, alam adalah supermarket yang menyediakan semua kebutuhan, baik laut maupun hutan.

Selain berlaku untuk laut, egek di Malaumkarta juga berlaku untuk wilayah hutan. Beberapa hasil hutan yang dilarang untuk diburu antara lain semua jenis kangguru, burung, dan reptil. Satwa yang boleh diburu hanya babi hutan, dan rusa dalam jumlah yang dibatasi. Masyarakat juga tidak boleh sembarangan menebang pohon. “Kalau tong tebang satu pohon dari hutan, tong harus tanam pohon sepuluh. Itu wajib, supaya hutan tetap ada,” kata mama Abigail.

Mama Abigail mewakili suara seluruh orang-orang Moi sangat berharap alam di Tanah Papua, mulai dari hutan, mata air, hingga laut bisa terus terjaga kelestariannya. Harapannya, budaya seperti egek ini tidak hanya dilakukan oleh orang-orang di Malaumkarta saja, tapi juga oleh orang-orang di kampung lainnya di Tanah Papua, bahkan di Indonesia. “Tong hidup dari situ (alam). Karena kalau alam rusak, maka akan mengganggu tong pu kehidupan secara langsung,” tutup mama Abigail.

Editor: Nur Alfiyah

EcoBlogs Lainnya

Copyright ©2023.
EcoNusa Foundation
All Rights Reserved