Search
Close this search box.
EcoStory

Pinang, Komoditas Lokal yang Berpotensi Besar

Bagikan Tulisan
Buah pinang.

Pinang sudah tidak asing bagi masyarakat Papua dan menjadi bagian dari tradisi orang Papua. Tradisi mengunyah buah pinang diperkirakan sudah ada sejak abad ke empat Masehi. Baik pagi, siang, sore, dan malam masyarakat mengkonsumsi buah pinang. Pinang juga menjadi salah satu hidangan yang ada pada saat acara adat berlangsung, misalnya kelahiran, syukuran anak yang baru lahir, pengantar lamaran,  pembayaran mas kawin, bahkan saat acara kematian. 

Christine Sangganafa, Dosen Antropologi Sosial Universitas Cenderawasih, mengungkapkan  bahwa pinang dapat menjadi alat untuk membantu menyelesaikan masalah sosial. “Ketika menyelesaikan masalah, ada pinang ditaruh di tengah-tengah kita sambil berbicara terasa lebih enak. Masalah yang tadinya panas, ketika sambil makan pinang masalah bisa diselesaikan secara baik-baik,” katanya di acara MaCe #5: Potensi Buah Pinang: Dari Tradisi jadi Siap Diekspor, Rabu, 30 November 2022. 

Baca Juga: Merawat Jaring Harapan di Kampung Segun

Meski pinang memiliki rasa pahit, namun ketika sudah terbiasa, rasa itu mulai tidak terasa. Masyarakat Papua biasa mengkonsumsinya dengan cara  dikupas terlebih dahulu dari kulitnya, lalu dikunyah, dan dicampurkan dengan sirih serta kapur. Mereka mengunyahnya sampai menghasilkan warna merah. 

Masyarakat mengkonsumsi buah ini bukan hanya karena tradisi. Karena buah pinang memiliki banyak manfaat bagi kesehatan tubuh. Misalnya, menjadikan gigi lebih kuat dan menghilangkan bau mulut, membantu menghilangkan darah kotor bagi ibu yang baru saja melahirkan. Selain itu, buah pinang dapat dijadikan sebagai salah satu bahan dasar pembuatan kosmetik (lipstik), dan dapat diolah menjadi permen atau jus. 

Di Papua pohon pinang tersebar di 13 Kabupaten, dengan luas perkebunan 3.700 hektare, di antara di kabupaten Jayapura, Keerom, Sarmi, Biak, Supiori, Yapen, Waropen, Nabire, Mimika, Merauke, Maapi, dan sebagian di Tolikara.  Pinang sendiri hanya dapat tumbuh di 10° LU-10° LS di daerah khatulistiwa dan tidak bisa tumbuh di belahan bumi yang lain. Hal ini menjadi peluang besar bagi masyarakat kita untuk menanam pinang, karena pinang memiliki peminat yang cukup banyak. 

Baca Juga: Menggali Potensi Kampung Gisim di Sorong

Bukan hanya memenuhi kebutuhan sosial budaya masyarakat setempat, namun pinang sudah menghasilkan nilai ekonomi. Karel M Jarangga, Kepala Bidang Perkebunan Dinas Pertanian dan Pangan Provinsi Papua mengatakan pinang juga menjadi salah satu komoditi ekspor yang cukup tinggi. Untungnya, masyarakat Papua sudah bisa membaca kondisi dan memanfaatkan situasi ini. Pada 2018, kata Karel, Papua mengekspor 280 ton buah pinang, pada 2019 Papua mengekspor 3.300 ton buah pinang dengan total nilai kurang lebih Rp300 miliar dan 2021 Jambi berhasil mengekspor lebih banyak dari itu. 

Para pembicara di acara MaCe #5: Potensi Buah Pinang: Dari Tradisi jadi Siap Diekspor.

Pinang biasanya diekspor dalam bentuk biji yang sudah dicacah. Orang luar negeri yang membeli biji pinang biasanya dijadikan sebagai salah satu bahan pembuatan kosmetik. Biji pinang kering rata-rata dijual dengan harga Rp28-30 ribu per kilogram. Jenis pinang yang bisa diekspor adalah pinang betara. 

Baca Juga: Bupati Keerom Canangkan Program Budidaya Pinang Batara

Musa Piatawa, salah satu petani pinang dari Kampung Molof, Kabupaten Keerom menyampaikan bahwa masyarakat Kampung Molof sudah siap untuk mengekspor hasil panen pinang. “Tapi belum ada komunikasi,” katanya. Ia juga menceritakan bahwa sampai saat ini hasil panen hanya dijual ke pasar-pasar yang berada di luar Kampung Molof. Bahkan, di Kampung Molof sendiri belum ada komunitas khusus untuk mengelola hasil panen dari pohon pinang. 

Menurut Karel, potensi ekonomi pinang sangat besar. Oleh karenanya, orang Papua tidak usah ragu untuk menanam pinang. “Jangan takut atau jangan ragu untuk menanam pinang karena ke depannya kebutuhan buah pinang pasti akan ada terus dan tidak akan terputus. Karena tidak semua daerah bisa untuk menanam pinang,” ujarnya.

Editor: Nur Alfiyah

EcoBlogs Lainnya

Copyright ©2023.
EcoNusa Foundation
All Rights Reserved