EcoStory

Merawat Bank Sagu Kampung Manelek

Bagikan Tulisan
Peserta Sekolah Kampung bersama berfoto bersama masyarakat dan fasilitor di Gedung Serbaguna Kampung Manelek, Distrik Konda, Kabupaten Sorong Selatan. (Yayasan EcoNusa/Lutfy Putra)

Gedung Serbaguna Kampung Manelek, Distrik Konda, Kabupaten Sorong Selatan, Provinsi Papua Barat, riuh rendah sejak pagi. Di bagian dalam, beberapa mama sibuk mengoles mentega ke sisi dalam loyang secara merata, memastikan agar adonan berbahan sagu tak menempel saat dipanggang. Di ruangan lain, kue sif, ongol-ongol, kembang goyang, dan lemet telah tersaji di atas meja. Semua kudapan itu menggunakan sagu sebagai salah satu bahan dasar.

Praktik memasak di Gedung Serbaguna tersebut merupakan bagian dari rangkaian Sekolah Sagu yang diselenggarakan pada 29-30 Juni 2022. Mereka termasuk dalam kelas olahan yang mempelajari pembuatan berbagai produk olahan sagu. Kelompok lainnya, kelas budidaya, mempelajari bagaimana komoditas utama Kampung Manelek itu dapat terus tumbuh dan mendukung ketahanan pangan masyarakat. Sekolah Sagu diikuti oleh  22 orang.

Baca juga: Peserta STS Mogatemin: Ini Ilmu yang Sangat Mahal

“Sagu merupakan potensi Kampung Manelek. Kami punya banyak sekali pohon sagu di belakang rumah. Setelah praktik di Sekolah Sagu ini mereka dibiarkan praktik sendiri dan hasilnya akan dipasarkan ke Pasar Obor di kampung dan di pasar di Teminabuan,” kata Alfonsina Segeit, salah satu fasilitator.

Sekolah Sagu merupakan bagian dari rencana tindak lanjut yang dirancang oleh peserta Sekolah Transformasi Sosial (STS) di Kampung Mogatemin, Distrik Kais Darat, Sorong Selatan, pada akhir Maret 2022. STS  berlangsung selama tujuh hari dan diikuti oleh 38 peserta yang berasal dari 14 kampung di Sorong Selatan. Selain Alfonsina, Kampung Manelek diwakili oleh Derek Tigori dan Arius Saflesa.

Pembelajaran pada STS Mogatemin terbagi ke dalam tiga kelas berbeda yakni kelas sagu, pertanian, dan perikanan. Di kelas sagu, Alfonsina terkejut dengan banyaknya jenis tanaman sagu. Ia juga belajar bagaimana membedakan sagu dan pengolahan sagu untuk menambah nilai ekonomi “tanaman dewa” tersebut.

Baca juga: “Jangan Cuma Makan, Harus Tahu Tanam Juga”

Sementara itu, Arius masuk kelas perikanan. Di sana, ia belajar proses pembuatan kerupuk dan camilan pentol udang. Sedangkan Derek masuk kelas pertanian. Ia belajar cara membuat bedeng, pupuk organik dari kotoran kambing dan ayam, hingga pembibitan. “Kami membuat enam bedeng untuk tanam sawi, kangkung, dan bayam,” kata Derek.

Derek Tigori (kiri), Alfonsina Segeit (tengah), dan Arius Saflesa (kanan) menyelenggarakan Sekolah Kampung usai mengikuti Sekolah Transformasi Sosial di Mogatemin, Distrik Kais Darat, Sorong Selatan, pada akhir Maret 2022. (Yayasan EcoNusa/Lutfy Putra)

Para peserta STS diwajibkan membuat rencana tindak lanjut sebagai bentuk transfer ilmu yang telah mereka dapatkan. Proses tersebut berlangsung selama tiga bulan dan diberi nama Sekolah Kampung. Sayangnya, tidak ada udang yang bisa diolah. Sementara pertanian organik belum menjadi prioritas.

“Kami kumpulkan masyarakat dan sosialisasikan semua. Masing-masing bicara terkait materi yang kami dapat di Mogatemin. Kami jelaskan dulu secara umum dan masyarakat tentukan sendiri mau yang mana. Masyarakat bilang ‘ah kami pilih sagu sudah.’ Di sini (Manelek) potensi sagu kita banyak,” ucap Derek.

Baca juga: Mengembangkan Kampung Berbasis Potensi dan Aset

Dari hasil pembelajaran Sekolah Kampung, masyarakat mencatat ada enam jenis sagu yang tersebar di Kampung Manelek. Dalam bahasa setempat, ada sagu fakirit (sagu duri panjang), faa dla (sagu pelepah mengilat), vasyo (sagu duri pendek), weryek (sagu dengan pelepah paling besar), faa blen (sagu tidak ada duri), dan faa enggan (sagu duri paling pendek).

Di dalam hutan di belakang rumah, kelompok budi daya sagu membuat rakit yang terbuat dari pelepah sagu digunakan sebagai tempat penyemaian bibit. Rakit tersebut diletakkan di atas air yang mengalir agar akar bibit sagu dapat menyerap air dengan baik. Pada bagian bekas potong bibit sagu dioleskan abu untuk mencegah serangan hama.

“Bagi masyarakat sagu ini seperti bank, kalau mereka kehabisan makanan mereka ambil dari sagu. Untuk itu perlu perlakuan khusus agar sagu tetap tumbuh dengan baik. Dahulu mereka ambil bibit langsung tanam dan banyak bibit sagu yang mati,” kata Community Organizer Yayasan EcoNusa, Onesimus Ebar.

Baca juga: Meski Panas Menyengat, Semangat Peserta Kelas Pertanian di STS Mogatemin Tak Surut

Tingginya antusiasme peserta Sekolah Kampung membuat Derek, Alfonsina, dan Arius merasa senang telah menyalurkan pengetahuan baru kepada masyarakat. Terlebih, mayoritas peserta belum bekerja. Mereka ingin Sekolah Kampung dapat menginspirasi masyarakat dalam meningkatkan pendapatan rumah tangga.

“Sering kami nonton di YouTube kampung-kampung lain buat berbagai macam produk. Mereka sering tampil. Kami ingin Kampung Manelek juga bisa tampil supaya kami tidak tertinggal. Mereka buat sesuatu dari daerah mereka, kenapa tidak (kami buat) kalau kami juga bisa,” ungkap Alfonsina.

Editor: Leo Wahyudi & Nur Alfiyah

EcoBlogs Lainnya