Search
Close this search box.
EcoStory

Mengembangkan Kampung Berbasis Potensi dan Aset

Bagikan Tulisan
Peta aset dan potensi Kampung Klasman, Distrik Konhir, Kabupaten Sorong, Provinsi Papua Barat. (Yayasan EcoNusa/Lutfy Putra)

Merencanakan pembangunan kampung berbasis aset dan potensi menjadi modal awal untuk menapaki pembangunan yang humanis di Tanah Papua. Sebab, pembangunan tak hanya berbicara perihal fasilitas umum dan sosial yang belum terpenuhi dengan baik di kampung-kampung. Duduk dan merencanakan pembangunan kampung bersama tiap marga menjadikan penduduk kampung setara dalam menentukan arah pembangunan tanah adat.

Siang itu Jefri Fadan, Kepala Kampung Klasman, Distrik Malabotom, Kabupaten Sorong, Provinsi Papua Barat, berada di dalam ruang serba guna Kampung Tarsa, Distrik Konhir. Ia bersama sepuluh kepala kampung lain yang tersebar di empat distrik di Kabupaten Sorong mengikuti lokakarya kepala kampung yang diinisiasi Yayasan EcoNusa pada Sabtu, 25 Juni 2022. Selama sehari penuh para kepala kampung difasilitasi untuk membuat perencanaan kampung.

“Kami dibantu merencanakan pembangunan kampung. Ini pertemuan yang bagus sekali. Jadi uang kampung lebih jelas larinya ke mana. Setelah anggaran dana desa turun, ada tim yang akan mengelolanya bersama masyarakat,” kata Jefri.

Baca juga: STS Tarsa, Bersama Membangun Kampung

Pertemuan tersebut dimulai dengan memetakan potensi dan aset yang ada di tiap kampung. Masing-masing kepala kampung menuliskannya di atas kertas plano. Jefri menggambar peta Kampung Klasman yang memuat aset kampung seperti jalan, kantor dan kendaraan kampung, penerangan, air bersih, gereja, dan puskesmas pembantu. Ia juga menjabarkan beragam potensi Kampung Klasman seperti batu bara, kayu gaharu, kayu merbau, dan minyak bumi.

Kepala Kampung Klasman Jefri Fadan di sela kegiatan Lokakarya Kepala Kampung di Kampung Tarsa, Distrik Konhir, Kabupaten Sorong, Provinsi Papua Barat. (Yayasan EcoNusa/Lutfy Putra)

“Selama ini masing-masing keluarga hanya mengolah sagu untuk ditokok dan dijual ke pasar. Sumur minyak sudah ada sejak zaman Belanda. Untuk batu bara, penggalian sudah ada,” ucap Jefri yang menggambarkan potensi minyak bumi dan batu bara di kampungnya.

Selain mengolah sagu, mayoritas warga Kampung Klasman menghidupi diri dengan berkebun dari lahan di sekitar rumah. Mengikuti tradisi perladangan berpindah, masyarakat belum mengenal intensifikasi kebun dengan menggunakan pupuk dan pestisida organik, pembibitan, dan intensitas cahaya untuk tanaman.

Baca juga: Cerita dari Neniari Gunung, Menggerakkan Para Mama untuk Bertanam Sayur Organik

Jefri mengatakan, dalam Rencana Kerja Pemerintahan (RKP) Kampung Klasman tahun 2022, pengembangan perkebunan akan berfokus pada penanaman patatas, kasbi, dan pisang. Selain perkebunan, tiga kepala keluarga akan berfokus pada budidaya ikan. “Selesai kegiatan ini kami akan rapat musyawarah bersama masyarakat. Jika masyarakat ingin berkebun kami akan mendukung dengan memberikan bibit,” ujar Jefri.

Sementara itu, fasilitator Lokakarya Kepala Kampung, Ita Natalia, mengatakan bahwa perencanaan kampung yang dirumuskan bersama akan membuat masyarakat menjadi subjek pembangunan. Dengan kata lain, masyarakat kampung terlibat sejak perencanaan awal, penganggaran, hingga evaluasi.

Menurut Ita, sepanjang proses pembangunan berlangsung, pemerintah daerah baik dari tingkat provinsi hingga kampung, serta mitra pembangunan, dapat turut berperan pada upaya peningkatan kapasitas masyarakat. “Penting untuk melihat kemajuan sumber daya manusia di Tanah Papua. Tidak ada hutan dan laut yang lestari kalau manusia Papua sendiri tidak diperkuat,” ungkap Ita.

Baca juga: Penutupan STS Morekau, Sesi Berbagi Membangun Negeri

Ita mengingatkan bahwa proses pembangunan multidimensi yang berlangsung di Tanah Papua akan memakan waktu panjang. Oleh karena itu, pendekatan yang digunakan oleh pemerintah dan mitra pembangunan terkait peningkatan kapasitas masyarakat akan sangat menentukan kemandirian masyarakat kelak.

“Proses itu menjadi penting. Ada budaya masyarakat yang akan berubah. Jangan sampai hanya mau cepat dapatkan hasil tapi tidak peduli proses. Dan proses itu yang menentukan nanti masyarakat akan mampu berjuang secara mandiri atau mereka terus menunggu,” ucap Ita.

Kepala Dinas Pertanian Sorong, Frengki Wamafma, menilai bahwa pergeseran budaya masyarakat merupakan tantangan yang terjadi selama proses pembangunan. Ia mencontohkan pergantian cara bertanam dari perladangan berpindah ke perladangan menetap yang memanfaatkan intensifikasi perkebunan. Pada tahap ini, penyuluh pertanian lapangan (PPL) berperan besar mendampingi masyarakat.

Baca juga: Eko, Sosok Perangkul Pemuda dan Pendorong Para Mama

“Perlu ada intervensi pengetahuan, ada input yang diberikan penyuluh. Misalnya bagaimana meningkatkan kesuburan tanah sehingga bisa menghasilkan panen yang lebih baik dari sebelumnya. Ini tantangan yang tidak mudah karena mengubah cara berpikir,” ungkap Frengki.

Editor: Leo Wahyudi

EcoBlogs Lainnya

Copyright ©2023.
EcoNusa Foundation
All Rights Reserved