Search
Close this search box.
Search
Close this search box.
EcoStory

Mencipta Seni Demi Lindungi Laut

Bagikan Tulisan

Limbah barang konsumsi sering kali dipandang sebelah mata. Jika nilai estetikanya telah berkurang, tak jarang suatu barang akan berakhir di tempat pembuangan. Kemudian, sampah yang tak terkelola dengan baik di tempat pembuangan akan berakhir di lautan dan merusak ekosistem perairan dan perikanan. Padahal dengan memadukan kreativitas, sampah akan memiliki nilai tambah.

Pola pikir tersebut terpatri di benak Dosen Produk Desain Universitas Podomoro, Dina Lestari Pringgotono. “Kita bisa menjaga ekosistem laut dengan melakukan penelitian dan pengembangan sebelum kita berkreasi dengan sampah,” kata Dina dalam diskusi daring Sail to Campus (STS) bertajuk “The Ocean Connects us all” yang terselenggara berkat kerja sama Yayasan EcoNusa dengan Universitas Podomoro, Jakarta, pada 7 Juni 2022.

Dina mengolah berbagai kaus bekas untuk menciptakan produk lain yang memiliki nilai tambah artistik. Ia membuat lukisan berukuran 120×90 menggunakan tufting gun, mesin pembuat karpet. Minatnya besarnya pada seni tekstil membuat Dina dan beberapa temannya mengembangkan teknik pembuatan batik ramah lingkungan.

Baca juga: Cegah Makan Ikan Berplastik, Kota Sorong Setop Plastik

“Kami menggunakan bahan-bahan ramah lingkungan, bahan food grade. Ketika dicuci masih bisa diurai oleh lingkungan. Kami mengganti lilin malam dengan bubuk biji asam yang dicampur dengan margarin, sehingga ketika diaplikasikan dia mengeras dan menjadi perintang sebagai pengganti lilin,” kata Dina.

Industri tekstil menjadi salah satu penyebab kerusakan lingkungan di darat maupun perairan. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menyatakan bahwa lautan Indonesia telah tercemar sekitar 1.772,7 gram per meter persegi pada 2020. Dengan total luas laut 3,25 juta kilometer persegi, diperkirakan terdapat 5,75 juta ton sampah yang mencemari laut Indonesia. Dari jumlah tersebut, komposisi sampah kain sekitar 128,58 gram per meter persegi.

Selain menghasilkan tren fast fashion, industri tekstil merupakan salah satu penyebab pencemaran sungai dari proses pewarnaan dan pencucian pakaian. Sungai Bengawan Solo misalnya, tercemar dari limbah industri tekstil dan industri alkohol. Berdasarkan penelitian sampel air di 11 lokasi di Kali Gupit dan Sungai Bengawan Solo pada Maret 2021, air sungai telah tercemar zat kimia berbahaya dan kandungan mikroplasik.

Baca juga: Forum Dekan jadi Pengawal Kebijakan Kelautan dan Perikanan

Menanggapi kondisi tersebut, Manager of Partnership Penjaga Laut, Jeki Anderson Nababan, mengatakan aktivitas industri yang tak mengindahkan kelestarian lingkungan akan berdampak besar pada ekosistem perairan. Kematian hingga kelangkaan biota laut menjadi tak terhindarkan. Ancaman lainnya datang dari krisis iklim yang membawa dampak turunan seperti kenaikan permukaan air laut.

“Masyarakat pesisir yang paling merasakan dampak krisis iklim. Tahun lalu nelayan bisa membawa banyak ikan, tahun ini ikannya berkurang karena krisis iklim dan penangkapan ikan berlebihan,” ujar Jeki.

Perlindungan laut menjadi keniscayaan yang harus disegerakan. Dalam hal ini, bonus demografi Indonesia dengan lonjakan usia produktif dapat menjadi salah satu langkah kolektif dalam melindungi laut. Hal ini ditunjang dengan kesadaran lingkungan yang terus meningkat di negara-negara Asia, termasuk Indonesia. Managing Director of Catalyze Indonesia, Marc Antoine D., mengatakan, untuk menciptakan aksi kolektif perlindungan laut, komunikasi persuasif dalam berkampanye memainkan peran penting.

Baca juga: Koalisi Masyarakat Sipil Rancang Peraturan Negeri Demi Lindungi Wilayah Pesisir

“Ada banyak masalah lingkungan bisa diselesaikan dengan komunikasi persuasif. Kita bisa berikan inspirasi kepada masyarakat untuk berjuang. Banyak anak muda yang bersemangat. Kita bisa motivasi mereka. Memberikan keyakinan bahwa ada sesuatu yang harus dilakukan untuk laut,” ucap Marc.

Editor: Leo Wahyudi

EcoBlogs Lainnya

Copyright ©2023.
EcoNusa Foundation
All Rights Reserved