Search
Close this search box.
Defending Paradise

Perlindungan Hutan dan Cenderawasih dalam Budaya Adat Papua

Tulisan Terkait
Perlindungan Hutan dan Cenderawasih dalam Budaya Adat Papua _ Ondoafi Gustaf Toto
Ondoafi Gustaf Toto, Pemimpin Adat Tertua di Kampung Necheibe, Distrik Ravenirara, Kabupaten Jayapura. (Dok. EcoNusa/Novie Sartyawan & Bertho Yekwam)

Keberadaan cenderawasih di hutan tropis Tanah Papua dan Maluku tak hanya menjadi pertanda sehatnya ekosistem hutan saja. Bagi masyarakat adat di Tanah Papua, cenderawasih menjadi simbol budaya adat dan religi. Kearifan lokal dalam aturan-aturan adat untuk melindungi alam dan seisinya pun telah dilakukan secara turun temurun. 

Hendra Maury, Ahli Ekologi Universitas Cenderawasih mengatakan bahwa melalui konsep budaya itu, masyarakat adat menerjemahkan alam sebagai sesuatu yang memberi kehidupan dan berkaitan satu sama lain. “Buat masyarakat Papua, pemahaman hutannya sangat baik sekali, dengan mengibaratkan sebagai ibu. Seorang ibu mempunyai air susu yang mengalir memberi kehidupan bagi masyarakat di sekitar. Demikian juga dengan hutan dan seisinya,” ujar Hendra. 

Berjarak satu jam perjalanan dari Kota Jayapura menggunakan speedboat, ada sebuah kampung tua di kaki Pegunungan Cyclops bernama Kampung Necheibe. Wilayah ini menghadap lautan lepas Samudera Pasifik dan memiliki hutan tempat beragam satwa tinggal, termasuk cenderawasih. 

Baca juga: Zeth Wonggor, David Gibbs, Pioner Ekowisata Bagian 1

Di kampung ini, praktik melindungi alam dan memaknai cenderawasih dalam sendi budaya adat masih dipegang teguh oleh masyarakat. Ondoafi Gustaf Toto, pemimpin tertua adat Kampung Necheibe, menuturkan bahwa kesejahteraan hidup masyarakat Necheibe tidak terlepas dari alam dan isinya.

“Bagi kami di sini, kehidupan kami jaya karena adanya hijau. Kebahagian dan hidup kami ada pada alam. Hidup kami ada pada hutan. Segala binatang, tumbuhan, air adalah bagian dari alam ciptaan Tuhan. Sehingga, suara apapun (dari alam) di muka bumi adalah memuji Tuhan. Karena bagian dari alam, suara burung (cenderawasih) adalah suara nyanyian untuk membesarkan Tuhan,” tutur Ondoafi Toto.

Masyarakat adat di Necheibe tak hanya memiliki ikatan yang erat dengan hutan dan laut sebagai komponen alam, melainkan juga dengan burung cenderawasih. Jika hutan dianggap sebagai ibu yang mencukupi kebutuhan hidup, cenderawasih dianggap sebagai adik kandung. 

Sebagai pemimpin adat atau Ondoafi, Gustaf Toto mewarisi mahkota adat terbuat dari burung cenderawasih kuning yang dianggap sebagai adik. “Jadi, kami punya adat turun temurun. Mahkota ini diberikan kepada Ondoafi yang tertua sebagai penghargaan. Mahkota ini hanya ada satu dan diturunkan dari Ondoafi sebelumnya kepada Ondoafi berikutnya turun temurun,” ujar Ondoafi Toto sambil memperlihatkan mahkota itu.

Hutan Hujan Tropis di Kampung Necheibe. (Dok EcoNusa/Novie Sartyawan)

Hubungan erat antara hutan dan cenderawasih dalam nilai budaya juga dipertahankan oleh masyarakat Kampung Tablasupa yang berada di sisi lain Pegunungan Cyclops. Sama halnya Kampung Necheibe, di kampung ini mahkota cenderawasih juga hanya bisa dikenakan oleh Ondoafi. 

“Ada sanksi adat bagi masyarakat biasa yang melanggar aturan dan memakai mahkota cenderawasih atau mencoba membuatnya dari burung asli baru,” Lukas Oyaitou, Ketua Konservasi Kampung Tablasupa menjelaskan. Sanksi yang diberikan bisa berupa menangkap babi hutan, harus menyelenggarakan upacara adat, hingga membayar denda dengan tomako batu (kapak batu adat) dan sejumlah uang. 

Sama halnya dengan Necheibe, di Tablasupa praktik perlindungan hutan dan cenderawasih dilakukan serius. Bahkan, Kampung Tablasupa telah mengembangkan ekowisata birdwatching di beberapa titik di hutan sekitar kampung sebagai upaya perlindungan hutan dan memberikan sumber penghasilan masyarakat. 

Ekowisata birdwatching di Tablasupa ini telah didukung oleh pemerintah melalui Badan Konservasi dan Sumber Daya Alam (BKSDA). “Dari Badan, kami diberi pembinaan, seperti tidak boleh menebang jenis pohon tertentu karena tempat cenderawasih tinggal. Cenderawasih ini beda dengan satwa lain, dia pintar dan sensitif. Ada dahan patah satu saja di pohon yang ditinggali, ia akan menjauhi pohon itu. Jika beberapa waktu tidak terjadi apa-apa, burung itu akan kembali. Jika hutan yang semula ditinggalinya diubah jadi perkebunan, bisa dipastikan cenderawasih akan pindah semakin jauh,” Lukas menjelaskan. 

Baca juga: Penyelamatan Hutan Papua dan Maluku Tak Hanya Menyangkut Kelestarian Cenderawasih

Aturan-aturan adat untuk menjaga alam sebetulnya sudah ada sejak dulu, jauh sebelum ada hukum pemerintah. Hukum adat memang tertuang secara lisan, namun keberadaannya kuat dan dianut semua masyarakat. “Seperti aturan adat masyarakat tidak boleh berkebun hingga pegunungan bagian atas, karena ternyata dapat merusak ekosistem hutan. Tidak boleh berkebun dekat sungai atau air terjun karena bisa mematikan sumber air. Di dalam hutan, ada jenis-jenis pohon tertentu yang tidak boleh ditebang karena ternyata punya fungsi khusus, seperti menjadi tempat tinggal cenderawasih tadi,” ujar Lukas. 

Menurut Lukas, di Tablasupa, peran Ondoafi sangat berpengaruh. Ondoafi punya kewenangan menjaga segala hal yang berkaitan dengan hutan, satwa, tumbuhan, dan kesejahteraan masyarakat. “Siapapun yang datang dan mau melakukan apapun di kampung ini, harus seizin Ondoafi. Secara adat, masyarakat kampung juga tidak diizinkan menjual tanah dan hutan, karena hutan memiliki nilai sakral yaitu sebagai ibu yang pelihara kami, maka tidak bisa diusik,” kata Lukas. 

Hendra Maury mengatakan bahwa konsep ibu yang dipakai masyarakat adat adalah untuk mempertahankan peran penting hutan dalam menjaga kualitas hidup di sekitar area hutan. Tanpa adanya hutan, maka kualitas hidup kehidupan akan menurun drastis. “Jadi ketika  ibunya hilang, mati, masalah-masalah akan mulai muncul. Kerusakan hutan akan menurunkan kualitas hidup mereka. Hutan tidak ada, maka akhirnya tidak akan jauh-jauh dari kemiskinan,” terang Hendra.

Tonton Seri Video Defending Paradise Episode 3, Para Penjaga Hutan dan Burung Surga

Wawancara: Novie Sartyawan, Astried, Robertho Yekwam

Penulis: V. Arnila Wulandani

Editor: Leo Wahyudi

Artikel Lainnya

Copyright ©2023.
EcoNusa Foundation
All Rights Reserved