Search
Close this search box.
Search
Close this search box.
EcoStory

Menjaga Hutan Adat, Memperkuat Kedaulatan Pangan di Tanah Papua

Bagikan Tulisan
Direktur Perkumpulan Silva Papua Lestari (PSPL) Kristian Ari (kiri), Kepala Festival Pesta Ulat Sagu Yambumo Kwanimba (kedua dari kiri), dan Kasubdit pengakuan Masyarakat Hukum Adat dan Perlindungan Kearifan Lokal Kementerian Lingkungan dan Kehutanan Yuli Prasetyo Nugroho dalam di Jakarta, Jumat (10/8/2018).

Masyarakat adat Kombai sedang memperjuangkan hak pengelolaan hutan adat untuk menjaga tumbuhan sumber pangan berharga mereka, yakni sagu. Sagu merupakan salah satu makanan pokok masyarakat di tanah Papua. Tidak hanya itu, ada nilai filosofis budaya dan adat istiadat di dalamnya, seperti menanam, memelihara hingga menuai sagu.

Dalam rangka memperingati hari masyarakat adat internasional, masyarakat adat Kombai menyuarakan perjuangan mereka untuk memperoleh hak pengelolaan hutan adat dengan menyelenggarakan Festival Pesta Ulat Sagu yang disampaikan pada kegiatan Diskusi Lingkungan Rakyat (Lingkar) Papua yang diadakan di Jakarta (10/8). Hadir sebagai pembicara adalah Kristian Ari, Direktur Perkumpulan Silva Papua Lestari (PSPL), Yambumo Kwanimba, Kepala Festival Pesta Ulat Sagu Kombai yang merupakan perwakilan dari Suku Kombai, Yuli Prasetyo Nugroho, Kasubdit pengakuan Masyarakat Hukum Adat dan Perlindungan Kearifan Lokal Kementerian Lingkungan dan Kehutanan (KLHK) Republik Indonesia pada Direktorat Penanganan Konflik Tenurial dan Hutan Adat, Dirjen Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan.

Masyarakat adat Kombai adalah salah satu masyarakat di tanah Papua yang memiliki kearifan lokal yang cukup terjaga, salah satunya adalah Pesta Ulat Sagu. Untuk melestarikan kearifan lokal tersebut maka masyarakat adat Kombai memandang perlunya diadakan Festival adat. Festival Pesta Ulat Sagu tersebut akan diadakan pada 26 September 2018 di Kampung Uni, Distrik Bomakia, Kabupaten Boven Digoel, Papua.

Ada tiga elemen penting dalam festival ini, yaitu Masyarakat Adat, Hutan dan Sagu. Akan tetapi, ketiganya tersebut saat ini terancam karena belum adanya pengakuan atas hutan adat. “Karena masih ada ritual adat di hutan, dan itu masih berhubungan erat dengan sumber daya hutan, misalnya sagu, kalau hutan terancam maka sagu terancam, jadi sumber penghidupan masyarakat itu adalah Hutan. Bayangkan kalau festival itu masih dilakukan, berarti butuh sagu dalam jumlah banyak, kalau ada konversi lahan, maka akan ada ancaman terhadap pangan dan budaya dari suku Kombai,” kata Kristian Ari.

Hutan adat masyarakat Kombai saat ini sedang terancam dengan adanya ekspansi hutan di sekitarnya. Seperti dari Hutan Tanaman Industri (HTI), Hak Pengusaha Hutan (HPH) serta konversi hutan menjadi sawit. Perusahaan Pt. Digoel Daya Sakti dan Pt. Damai Setia Tama.Tbr sebagai perusahaan Hak Pengelolaan Hutan di masa Orde Baru telah beroperasi dari tahun 1980an dan pada tahun 1990an telah meninggalkan areal konsesi mereka di wilayah adat masyarakat Kombai. Saat ini masyarakat adat Kombai berjuang agar dapat memiliki hak pengelolaan hutan melalui skema Perhutanan Sosial (hutan adat).

Telah banyak tahapan dilewati seperti pemetaan wilayah adat, pengisian formulir permohonan dan pembuatan peraturan daerah (PERDA). Sementara proses berjalan masyarakat juga mendapat tantangan karena Proses di Pemerintah Daerah sendiri masih terkendala penerbitan PERDA pengakuan masyarakat adat dan hak ulayatnya.

Kasubdit Pengakuan Hutan Adat dan Perlindungan Kearifan Lokal Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI, Yuli Prasetyo Nugroho, menyebut Festival Ulat Sagu yang akan dihelat oleh Suku Kombai dan Korowai adalah salah satu pilar penting dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Oleh karena itu, masyarakat hukum adat di sana harus dilindungi. “Maka Pemerintah Provinsi dan Daerah penting untuk lakukan proses pengakuan ini, Intinya bahwa pengakuan itu merupakan keniscayaan yang harus dilakukan oleh Pemerintah Pusat, Provinsi dan Kabupaten,” terang dia.

Dirinya memastikan jika keniscayaan tersebut sebenarnya dijamin oleh Undang-undang yang sudah ada. Dalam diskusi tersebut dirinya menyebut mulai dari Undang-undang Dasar, Undang-undang Kehutanan, hingga Undang-undang Pengelolaan dan Perlindungan Lingkungan Hidup. “Saya kira kita di Kementerian LHK dan kawan-kawan provinsi siap untuk bahu-membahu untuk pastikan pengakuan itu,” tukas Prasetyo.

Kepala Pesta Ulat Sagu, Yambumo Kwanimba mengatakan bahwa sagu merupakan makanan sehari-hari suku Kombai dan Korowai, sehingga pelestarian hutan berarti juga melestarikan sagu. Ada sisi pangan, ada sisi kekeluargaan juga, pesta ini akan memperlihatkan bagaimana kami sebagai satu kesatuan suku bekerjasama dalam saling menjaga kebutuhan makan antar suku. Mungkin ada satu keluarga yang bisa panen sedikit, itu akan ditutupi oleh mereka yang bisa panen banyak.

Rencananya, Festival Pesta Ulat Sagu tersebut akan turut mempertunjukan tari-tarian adat dari masyarakat yang berasal dari 14 kampung yang hadir. Dalam festival ini juga akan diadakah pasar traditional dimana masyarakat dapat bertransaksi dengan cara menukar barang (barter). Selain masyarakat, Festival ini juga akan dihadiri oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Media, dan juga turis mancanegara. Semakin banyak elemen yang hadir, maka diharapkan semakin besar pula dukungan untuk masyarakat adat Kombai dalam melanjutkan perjuangannya mendapatkan hak hutan adat.

EcoBlogs Lainnya

Copyright ©2023.
EcoNusa Foundation
All Rights Reserved