Pemanfaatan hutan tak hanya melalui kayu, satwa liar, maupun alih fungsi hutan. Tanpa perlu sentuhan tangan manusia, hutan dengan sendirinya menyediakan manfaat yang dibutuhkan manusia untuk bertahan hidup. Bahkan lebih dari itu, hutan juga memberi jalan bagi perbaikan perekonomian.
Pemikiran tersebut hinggap di kepala Orgenes Dimara, warga Kampung Saporkren, Pulau Waigeo, Kabupaten Raja Ampat, Provinsi Papua Barat, pada pertengahan November 2011. Orgenes menyadari pemanfaatan hutan melalui ekoturisme jauh lebih menguntungkan: sementara alam terjaga, manusia dapat hidup bahagia. Sejak saat itu kesehariannya disibukkan sebagai pemandu wisata selepas menyiapkan taman wisata burung cendrawasih.
“Saya mulai promosi, datangi wisatawan untuk menawarkan paket wisata,” kata Orgenes saat ditemui pada Konferensi Internasional Keanekaragaman Hayati, Ekowisata, dan Ekonomi Kreatif (ICBE) 2018, Manokwari, Selasa (9/10/2018).
Orgenes menawarkan jasa pengamatan atraksi burung yang ada di Pulau Waigeo. Diperkirakan terdapat 171 jenis burung hidup di Pulau Waigeo; diantaranya burung endemik cendrawasih, rangkong, kakak tua hitam, kakak tua jambul kuning, nuri hijau, raja udang. Wisatawan harus rela bangun pagi pukul 5, mendaki bukit selama 30-60 menit sebelum menyaksikan cendrawasih berdansa.
“Biasanya cendrawasih hinggap di pohon yang dijadikan taman. Mereka panggil temannya datang. Setelah betina muncul, burung jantan akan mengambil posisi untuk merayu betina. Burung jantan menari jazz. Itu atraksi yang luar biasa sehingga wisatawan selalu puas,” ucap Orgenes.
Tamu Orgenes tak hanya berasal dari wisatawan lokal, namun juga wisatawan mancanegara seperti Inggris, Jerman, Amerika, Rusia, Perancis, dan India. Pada bulan Oktober hingga Januari, Orgenes semakin sibuk. Mandors Guest House miliknya disesaki wisatawan.
Mengutip Liputan6.com, sepanjang tahun 2017 Kampung Saporkren mampu mengisi pundi pendapatan sekitar Rp 300 juta dengan jumlah kunjungan wisatawan mencapai 1.000 orang. Pada tahun yang sama, Kampung Saporkren menyandang kampung binaan terbaik kedua dari Direktorat Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam Ekosistem Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Keberhasilan Orgenes dan warga Kampung Saporkren tak akan pernah terjadi bila mereka tak acuh terhadap hutan dan mengandalkan tangkapan ikan. Pasalnya, cendrawasih termasuk burung yang “rewel”. Menurut Orgenes, cendrawasih memilih habitat yang aman, tenang, dan nyaman. Raungan mesin penebang kayu membuat cedrawasih stres dan meninggalkan habitatnya.
Orgenes tak menikmati sendiri kue ekonomi ekoturisme. Ia memberdayakan masyarakat sekitar menjadi pemandu wisata. Dalam waktu 30-60 menit menikmati atraksi burung, Orgenes dapat mengisi pundi sekitar 4-6 juta. Pendapatan tersebut terkadang habis setelah dibagikan dengan pemandu wisata binaan. Total pemandu wisata binaan sebanyak tiga puluh orang yang berasal dari enam marga.
“Saya tidak memperhitungkan untung rugi. Tapi bagimana caranya saya menyadari orang jahat dan memajukan orang yang belum mengerti untuk bergandengan tangan, satukan hati mendukung konservasi dan pelestarian alam. Itu tujuan utama,” ujar Orgenes.
Pemberdayaan masyarakat pun terus berlanjut. Orgenes menjajal kerja sama dengan Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam Papua Barat. Dari kerja sama tersebut terciptalah Kader Konservasi. Anggotanya adalah pemandu wisata binaan yang terbagi menjadi tiga kelompok: smart patrol, kebun hutan, dan peduli api.
Kader Konservasi pernah menangkap pemburu satwa. Barang bukti berupa senapan angin dan tabung angin disimpan Orgenes. Orgenes berharap pemilik senapan angin datang menemuinya. Ia mengaku akan mengajak bicara pemburu tentang manfaat hutan bagi masyarakat.
“Ini harapan saya. Dan harapan saya kepada pemerintah, mari bergandengan tangan dan mau melihat semua persoalan yang terjadi di alam konservasi dan pariwisata,” kata Orgenes.