Search
Close this search box.
EcoStory

Anggrek Iriana dan Urgensi Museum Sejarah Alam Tanah Papua

Bagikan Tulisan
Anggrek Bulbophyllum irianea yang ditemukan oleh Eduard De Vogel, Charlie Danny Heatubun, Daawia Suhartawan, dan Eline Hoogendijk di hutan primer di Distrik Senggi, Kabupaten Keerom, Provinsi Papua. Sumber: Dokumentasi tim peneliti

Eduard De Vogel, Charlie Danny Heatubun, Daawia Suhartawan, dan Eline Hoogendijk menyusup ke dalam hutan primer di Distrik Senggi, Kabupaten Keerom, Provinsi Papua. Hari itu, pekan kedua Februari 2018, menjadi salah satu hari keberuntungan mereka sebagai ilmuwan.

Kendati observasi pertama, pandangan mata Ed – sapaan Eduard – dan koleganya telah dimanjakan oleh banyaknya anggrek yang mereka temui. Ratusan anggrek berhasil mereka koleksi dari batang pohon yang telah ditebang masyarakat. Atas nama konservasi, mereka tak ingin menebang batang pohon lainnya.

Dewi fortuna belum beranjak. Keberuntungan lain terjadi saat mereka mendapati anggrek genus Bulbophyllum berbunga. Karakteristik bunga menjadi kunci untuk menjawab pertanyaan apakah Bulbophyllum merupakan spesies baru atau bukan.

Anggrek yang tengah mekar jarang mereka dapati. Biasanya, dari banyak anggrek yang mereka temui, hanya 10 persen kelopak bunga anggrek bermekaran. Kali ini, bunga Bulbophyllum mencapai 8 sentimeter.

“Kami sangat senang ketika menemukan anggrek (Bulbophyllum). Saya pegang dengan kedua tangan saat memindahkan,” kata Ed di sela rangkaian acara Konferensi Internasional Keanekaragaman Hayati, Ekowisata, dan Ekonomi Kreatif atau ICBE 2018, Manokwari, Papua Barat.

Pada pandangan pertama, Ed curiga Bulbophyllum tersebut merupakan spesies baru. Untuk membuktikan dugaannya, Ed membuka laman orchidsnewguinea.com, situs yang merangkai informasi tentang anggrek di New Guinea; dataran yang menjadi wilayah Tanah Papua (Papua dan Papua Barat) dan Papua New Guinea. Halaman web tersebut dibuat bersama André Schuiteman, ilmuwan Royal Botanic Garden Kew, Inggris.

Mereka mengabadikan bentuk Bulbophyllum ke dalam lensa kamera. Butuh beberapa hari untuk memastikan anggrek Bulbophyllum merupakan spesies baru. Eline bertugas membuat gambar Bulbophyllum untuk publikasi ilmiah.

Penghormatan kepada Iriana Jokowi

Ed telah memberikan penghormatan kepada banyak orang untuk mengabadikan nama mereka dalam nama taksonomi anggrek. Ia telah menempatkan nama pengusaha kosmetik dan jamu Martha Tilaar, Ratu Maxima, Ratu Beatrix dan duta besar yang berjasa mempertahankan keanekaragaman hayati, di belakang genus Bulbophyllum.

Kali ini, keempat peneliti sepakat untuk memberikan penghormatan kepada orang yang berjasa terhadap Tanah Papua: Ibu Negara Iriana Joko Widodo. Dengan demikian, Iriana punya dua nama yang tersemat di belakang nama genus anggrek.

Pada Juli 2015 lalu, pemerintah Singapura menempatkan nama Iriana Jokowi di belakang genus Dendrobium. Dendrobium iriana jokowi menjadi simbol penghormatan atas kunjungan Jokowi dan Iriana ke Taman Anggrek Nasional.

“Dia berbuat banyak untuk pembangunan di Papua, mendukung inisiatif pembangunan, mengenali konferensi (ICBE) ini. Sayangnya dia (Iriana) tidak bisa hadir,” ujar Ed.

Hasil penelitian Ed dan koleganya telah dipublikasikan di jurnal Orchideenjournal Volume 6 pada 5 Oktober 2018, dua hari sebelum pembukaan ICBE. Dalam jurnal yang sama juga terdapat deskripsi anggrek Bulbophyllum adolinae, penghormatan kepada Juliana Adolina Kiriwenno Mandacan, istri Gubernur Papua Barat Dominggu Mandacan.

Presiden Jokowi diagendakan hadir membuka ICBE 2018. Menurut Daawia, Eline dan Ed telah menyiapkan bingkai gambar B. irianae yang mereka bawa dari Belanda. Kali ini mereka tak beruntung. Jokowi dan Iriana terbang ke Medan, Sumatera Utara, membuka Musabaqah Tilawatil Quran Nasional (MTQN) XXVII.

Opsi lainnya, mereka ingin menyambangi langsung Iriana ke Jakarta. Sebelum datang ke Istana Negara, Daawia mengatakan ingin menjalin kerja sama dengan PT Pos Indonesia.

“Kami punya rencan untuk mencetak gambar (Bulbophyllum irianae) di perangko dan ditandatangai (oleh Iriana). Mungkin Eline yang memberikan karena dia yang menggambar. Kami ingin supaya B. irianae bisa dikenal orang,” ujar Daawia.

Ed dan koleganya memiliki pekerjaan rumah untuk melakukan deskripsi dan eksplorasi lanjutan. Ed sendiri mengaku memiliki 350 spesies baru yang menunggu untuk dideskripsi. Ratusan angrek itu berasal dari Tanah Papua dan Papua New Guinea.

“Kami akan meneruskan (eksplorasi anggrek). Kami punya sangat banyak pekerjaan rumah untuk diselesaikan,” tegas Eline.

Museum Sejarah Alam

Saat ini diperkirakan terdapat 3.000 spesies anggrek di New Guinea dari 30.000 spesies anggrek di dunia. New Guinea hanya kalah dari Pegunungan Andes, Amerika Selatan, yang memiliki 7.000 spesies.

Ed beranjak lebih jauh. Berdasarkan pengalamanannya menemukan B. irianae, ia menduga setidaknya ada 4.000 spesies. Sayangnya belum ada data utuh terkait anggrek di New Guinea.

Misalnya, hingga kini mereka meyakini B. irianae merupakan anggrek endemik Papua. Dugaan ini beralasan mengingat 90 persen anggrek di New Guinea merupakan tanaman endemik. Namun ekplorasi lebih lanjut dan pengumpulan data distibusi anggrek ke depan dimungkinkan untuk menegaskan status endemik B. irianae.

Hal ini pernah Ed alami saat baru memulai eksplorasi anggrek di New Guinea. Ed dan koleganya menghitung distribusi anggrek per spesies. Lebih dari setengah jumlah spesies yang tercatat hanya diketahui dari satu atau dua spesimen.

“Jadi kami tidak tahu apapun tentang distribusi. Dan kami temukan satu anggrek di buntut New Guinea, lalu setelah meneliti lebih lanjut kami temukan anggrek tersebut telah dideskripsikan dari Pulau Buru. 3.000 km terpisah,” ungkap Ed.

Untuk mendukung hal ini, Papua dan Papua Barat telah berkomitmen untuk membentuk Museum Sejarah Alam dan Kebun Raya di Tanah Papua. Komitmen itu termaktub pada poin keenam Deklarasi Manokwari yang dibacakan diakhir acara ICBE 2018.

Akademisi Universitas Papua Keliopas Krey menuturkan, belum adanya pusat data yang menampung informasi keanekaragaman hayati Tanah Papua. Menurut dia, masih banyak fenomena alam yang belum diketahui secara lengkap.

“Langkah pertama yang harus kita segerakan adalah dorong pemerintah dan mitra pembangunan untuk mendirikan Museum Sejarah Alam, sehingga data yang kita anggap sulit diakses dan tersebar di mana-mana itu bisa dihimpun di museum ini,” ujar Keliopas.

Menurut Keliopas, urgensi pendirian musem penting untuk meningkatkan kapasitas peneliti muda. Dia mencontohkan, habitat burung cendrawasih di hutan primer membuat keindahan burung endemik tersebut sulit diakses secara langsung.

“Itu sebabnya kita butuh satu representasi dalam museum untuk jelaskan ekologinya, biodeversitasnya, budaya, lagu tentang burung cendrwasih, ktia perlu menghimpun dalam satu fasilitas museum,” kata Keliopas.

Sementara itu, Kepala Bidang Zoologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Hari Sutrisno mengatakan, Museum Sejarah Alam dan Kebun Raya dapat dibentuk dengan pembinaan dibawah Dirjen Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

“Pemda boleh ajukan seperti Unit Pelaksana Teknis Daerah. Di daearah itu banyak saya kira yang memiliki museum tapi pembinannya nanti menginduk ke Kemendikbud,” ucap Hari.

EcoBlogs Lainnya

Copyright ©2023.
EcoNusa Foundation
All Rights Reserved