
Distrik Inanwatan di Kabupaten Sorong Selatan, Papua Barat Daya, dikenal sebagai salah satu wilayah dengan kekayaan perikanan yang melimpah. Salah satu penopang utama produktivitas tersebut adalah hamparan hutan mangrove yang mengelilingi muara-muara sungai dan garis pantai Inanwatan.
Mangrove di wilayah ini memiliki produktivitas tinggi berkat limpahan unsur hara, kondisi perairan yang tenang, dan lingkungan berpasir-lumpur yang menjadi tempat ideal bagi berkembangnya berbagai jenis biota laut. Udang, kepiting, dan ikan tumbuh subur, menjadikan Inanwatan salah satu daerah penghasil sumber daya perikanan yang penting di Sorong Selatan.
Bagi masyarakat adat pesisir, mangrove bukan sekadar ekosistem. Ia adalah sumber kehidupan. Udang dan kepiting dari kawasan ini telah menjadi komoditas andalan masyarakat selama bertahun-tahun, baik untuk konsumsi maupun untuk dijual.
Baca Juga: Antara Ritual Pemanggil Udang dan Koperasi Fgan Fen Sisi
Dengan lebih dari satu sungai besar dan muara yang dikelilingi mangrove, Inanwatan memiliki habitat alami yang ideal bagi udang, menjadikannya pusat mata pencaharian utama sebagian besar keluarga nelayan.
Sumber Daya Berlimpah, Namun Kesejahteraan Nelayan Inanwatan Masih Rendah
Meskipun Inanwatan dianugerahi habitat udang yang produktif, peningkatan kesejahteraan nelayan di wilayah ini masih jauh dari harapan. Setiap musim panen, tangkapan udang dapat mencapai jumlah signifikan. Potensi ekonomi tersebut semestinya mampu meningkatkan pendapatan masyarakat.
Namun, kenyataannya berbeda. Para nelayan menghadapi berbagai kendala struktural yang menghambat perkembangan ekonomi mereka.
Pertama, akses terhadap permodalan hampir tidak tersedia. Nelayan kesulitan mendapatkan pinjaman dari lembaga keuangan formal untuk membeli peralatan, memperbaiki mesin, atau meningkatkan armada. Minimnya modal membuat mereka bertahan dengan alat tangkap seadanya. Jaring yang sudah penuh lubang dan perahu sederhana.
Baca Juga: Mama Yulita Buat Limbah Kepala Udang Bernilai Ekonomi
Kedua, kurangnya pelatihan dan pendampingan dalam manajemen keuangan maupun pengolahan hasil perikanan membuat mereka kesulitan meningkatkan kapasitas usaha. Masyarakat belum terbiasa menabung, sehingga uang hasil tangkapan hari ini akan segera habis di hari yang sama.
Ketiga, rantai pasar yang panjang dan tidak adil membuat nelayan bergantung sepenuhnya pada pengepul dari luar daerah. Harga udang dipatok rendah di tingkat nelayan, sementara keuntungan jauh lebih besar dinikmati pengepul saat menjualnya ke pasar kota.
Semua tantangan ini menunjukkan jurang besar antara potensi sumber daya dan kesejahteraan masyarakat pesisir Inanwatan.

Armada, Biaya Operasional, dan Pola Penangkapan Nelayan Inanwatan
Kegiatan penangkapan di Inanwatan tidak lepas dari kondisi armada dan biaya operasional yang harus ditanggung setiap harinya. Nelayan di wilayah ini umumnya menggunakan tiga jenis perahu, yakni perahu tanpa mesin, perahu ketinting, dan perahu bermesin tempel 15 PK. Sebagian besar nelayan mengandalkan mesin tempel karena lebih cepat dan mudah menjangkau lokasi penangkapan.
Di kampung Mate terdapat sekitar 170 nelayan, dan sebagian kecil masih menggunakan perahu ketinting atau perahu tanpa mesin. Sementara itu, kampung Isogo memiliki sekitar 190 nelayan dengan komposisi armada yang hampir sama.
Fishing ground atau wilayah tangkap para nelayan tidak dibatasi oleh wilayah adat tertentu. Mereka biasanya menangkap dari muara hingga ke tanjung dan reef, bahkan hingga perairan dalam. Rata-rata perjalanan ke lokasi penangkapan memakan waktu hingga 180 menit.
Biaya operasional cukup tinggi. Sekali melaut, nelayan harus menyiapkan:
- BBM: 15–20 liter, dengan harga Rp10.000–Rp15.000 per liter
- Es: Rp5.000–Rp10.000
- Biaya lain: kopi, rokok, oli mesin
Total biaya melaut berkisar Rp200.000–Rp300.000 per hari.
Tantangan semakin berat karena tidak adanya fasilitas pendingin yang memadai di darat. Udang yang tidak segera ditangani bisa menurun kualitasnya, sehingga nelayan harus menjual dengan harga rendah.
Intervensi dan Dampingan EcoNusa: Memperkuat Ekonomi Nelayan Inanwatan
Sejak Januari 2025, Yayasan EcoNusa menjalankan berbagai program pendampingan di Distrik Inanwatan untuk memperkuat kapasitas masyarakat adat nelayan. Langkah ini dilakukan untuk memperbaiki rantai nilai perikanan, membuka akses pasar, serta meningkatkan kemandirian ekonomi masyarakat.
Salah satu terobosan awal adalah pembangunan Rumah Timbang atau pos pelayanan sebagai pusat pengembangan ekonomi di dua sub-suku (Bira dan Iwaro). Fasilitas ini berfungsi sebagai tempat transaksi jual beli, penyimpanan hasil tangkapan, serta titik distribusi ke gudang KOBUMI Sorong.
Baca Juga: Ubah Limbah Udang Menjadi Harapan Baru
Untuk meningkatkan efisiensi penangkapan, EcoNusa juga memberikan pelatihan penggunaan GPS kepada nelayan agar mereka mampu menandai dan menyimpan titik tangkapan potensial sehingga dapat memaksimalkan hasil melaut.
EcoNusa juga membangun jetty sebagai labu jolor dan sebuah pondok produksi untuk kelompok PKK yang mengolah limbah kepala udang menjadi terasi. Produk terasi “SEBATO INANWATAN” bahkan telah memiliki nomor PIRT dan kini rutin dipasarkan hingga ke Kota Sorong. Hingga awal Oktober 2025, kelompok mama-mama berhasil memproduksi 29 kg terasi secara mandiri.
Di sisi lain, kelompok Perkumpulan Wanita di kampung Isogo juga telah menerima pelatihan pengolahan terasi dan sedang menuju produksi rutin.
Upaya-upaya ini diharapkan menjadi langkah awal menuju kemandirian ekonomi masyarakat adat nelayan di Inanwatan, dengan pengelolaan sumber daya yang lebih adil, berkelanjutan, dan menguntungkan bagi masyarakat pesisir.


