Sebagai bagian dari rangkaian Ekspedisi Maluku EcoNusa, tim ekspedisi bersama komunitas-komunitas di Maluku melakukan berbagai kegiatan pelestarian lingkungan hidup di perairan sekitar Haruku. Di antaranya adalah penanaman mangrove, transplantasi karang, dan bersih sampah plastik di laut. Hal ini dilakukan sebagai bentuk dukungan EcoNusa terhadap upaya pelestarian alam yang telah dilakukan oleh masyarakat Haruku.
Masyarakat Haruku dengan Kepala Kewangnya, Eliza Marten Kissya, telah bertahun-tahun melakukan upaya pelestarian lingkungan hidup dengan kearifan lokalnya. Misalnya, tradisi sasi atau pelarangan untuk mengambil sumber daya hutan dan laut dalam jangka waktu tertentu. Selain sasi, upaya pelestarian lingkungan hidup dilakukan juga dengan membudidayakan mangrove dan melestarikan burung gosong.
Baca juga: Eliza, Sang Penjaga Hutan dan Laut di Negeri Haruku
Menanam Mangrove
Teria Salhuteru, Koordinator Komunitas Moluccas Coastal Care (MCC), komunitas yang turut bergabung dalam kegiatan penanaman mangrove di Haruku, mengaku sejak 2017 pihaknya telah turut aktif menjaga lingkungan di pesisir Maluku dengan menanam mangrove. Kawasan Teluk Ambon adalah titik awal komunitas ini bergerak melakukan upaya konservasi.
“Di Teluk Ambon kita sudah menanam 2.200 mangrove. Nah, kali ini bersama EcoNusa, kita juga akan melakukan tanam mangrove. Sebanyak 520 anakan mangrove jenis rhizophora kita tanam di sini, di pesisir Kampung Haruku,” katanya.
Tahun 2019 lalu, gempa bumi menggetarkan Maluku dan terjadi kurang lebih 2.000 kali gempa susulan. Banyak daerah dan perkampungan, tak terkecuali wilayah pesisir di Maluku, yang terkena dampaknya. Inilah yang mendasari inisiatif komunitas ini melakukan penanaman mangrove.
“Mangrove punya fungsi sangat penting dalam menjaga wilayah pesisir. Contohnya ketika bencana, mangrove bisa menjadi ekosistem yang dapat menjaga kestabilan daerah pesisir, seperti melindungi pesisir dari gelombang dan abrasi,” kata Teria.
Menurutnya, di Haruku mangrovenya sudah banyak berkurang. Dengan menanam anakan-anakan mangrove baru, pihaknya berharap mangrove-mangrove tersebut nantinya akan menjadi garda utama ekosistem mangrove yang mampu melindungi wilayah pesisir.
Terkait evaluasi keberlanjutan mangrove, Teria mengatakan, setiap 6 bulan sekali diadakan monitoring untuk memantau mangrove yang baru ditanam. Ia menambahkan, mangrove yang ditanam mempunyai masa kritis selama dua pekan. Kalau mangrove yang ditanam tetap hidup, maka artinya sudah melewati masa kritis dan dapat berkembang biak dengan baik.
Sebenarnya, mangrove bisa patah dan rusak ketika musim utara datang, karena ada gelombang yang relatif besar. Maka dari itu, MCC menyiasati dengan memasang jaring dan kayu nani sebagai penghalang. Fungsinya untuk menahan lajunya gelombang maupun sampah.
“Daya bertahan (mangrove) sebenarnya tergantung pada ancaman sampah dan gelombang. Bulan depan rencananya kita akan tanam lagi 500 anakan di sini (di Haruku),” kata Teria.
Transplantasi Terumbu Karang
Sementara itu, Koordinator Tunas Bahari Maluku (TBM), Zainudin Mokan, mengatakan, dari hasil observasi yang dilakukan pada beberapa titik di Haruku, ditemukan hampir sebagian besar terumbu karang mengalami kerusakan. Kondisi itu dampak dari aktivitas masyarakat, seperti menangkap ikan dengan bom.
Menurutnya, transplantasi terumbu karang adalah alternatif untuk menjaga lingkungan dan melestarikan kembali terumbu karang yang mulai rusak dan punah. Karang yang ditransplantasikan oleh tim EcoNusa dan TBM merupakan jenis Acropora. Karang jenis ini dapat berkembang dengan baik dalam satu tahun. Durasi pertumbuhannya berlangsung lama dan relatif lambat. Kira-kira hanya 1 cm dalam satu bulan. TBM melakukan monitoring setiap 3 bulan sekali. Sedangkan media yang digunakan untuk transplantasi terumbu karang adalah besi dengan berbagai bentuk seperti segitiga, rumah, kursi, dan meja.
“Saat transplantasi terumbu karang di Haruku juga ditemukan banyak sampah plastik, yang memang sangat mempengaruhi ekosistem laut dan juga substrat perairan,” kata Mokan.
Di sekitar area lokasi transplantasi di kedalaman 7 meter ditemukan banyak sampah. Kebanyakan adalah pembalut, pampers, dan kemasan deterjen hingga makanan. Selain Haruku, pencemaran sampah plastik yang cukup fatal mempengaruhi substrat laut dan pesisir juga ditemukan di Teluk Ambon.
“Sangat disayangkan, karena kebanyakan masyarakat tidak tahu bahwa sampah plastik memberi dampak sistemik dan merusak ekosistem laut, termasuk pada kelestarian terumbu karang. Sampah plastik juga mengganggu rantai makanan, polusi udara, dan dapat membunuh biota laut,” lanjut Mokan.
Mewakili Tunas Bahari Maluku, Mokan berharap, Yayasan EcoNusa tidak hanya bergerak untuk melestarikan laut dan pesisir dalam jangka waktu pendek, namun berkelanjutan.
“Masih banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan bersama untuk melindungi laut yang ada di Maluku dan Papua. Harapan kami, aksi ini berkepanjangan dan tidak saja di perkotaan, tapi juga di daerah-daerah terpencil,” ujarnya.
Dalam kegiatan transplantasi karang dan bersih sampah di perairan sekitar Haruku ini diikuti oleh 14 orang, termasuk Ridho dari grup musik Slank yang bergabung saat penanaman mangrove.
Editor: V. Arnila Wulandani & Leo Wahyudi