Search
Close this search box.
EcoStory

Kopi Ambaidiru Unjuk Gigi

Bagikan Tulisan
Biji kopi Ambaidiru yang telah disangrai secara manual menggunakan kayu bakar dan tenaga manusia. Diperlukan waktu sekitar satu jam untuk mengurangi kadar air yang terkandung di dalam biji kopi. (Yayasan EcoNusa/Lutfy Mairizal Putra)

Geliat industri kopi di Indonesia terus bertumbuh, tak terkecuali di Papua. Tanah Papua di timur Indonesia itu punya berbagai tempat penghasil kopi. Sebut saja kopi Wamena, Dogiyai, Arfak, dan Ambaidiru. Dari semua itu, hanya Ambaidiru, Distrik Kosiwo, Kabupaten Kepulauan Yapen, Papua, yang fokus menghasilkan kopi robusta. Meski kalah pamor dibandingkan kopi single origin Tanah Papua lainnya, Ambaidiru perlahan unjuk gigi di panggung industri kopi nasional.

Panggung kopi Ambaidiru untuk pasar yang lebih luas setidaknya terbuka lewat Festival Kopi Papua yang diselenggarakan oleh Bank Indonesia tahun 2018 di Jayapura. Ada 11 kelompok tani dan 14 kedai kopi dari berbagai daerah di Papua yang mengikuti festival pada 3-4 Agustus 2018. Total transaksi selama festival berlangsung mencapai lebih dari Rp 265 juta.

Yafet Rawai, Kepala Kampung Manainin, Distrik Kosiwo, Kabupaten Kepulauan Yapen, menjadi salah satu peserta festival. Kampung Manainin adalah satu dari empat kampung hasil pemekaran Kampung Ambaidiru. Pada 2014, Ambaidiru pecah menjadi Kampung Ambaidiru, Kampung Numaman, Kampung Ramangkurani, dan Kampung Manainin. Mewakili tempat tinggalnya, Yafet ditemani oleh Titus Rawai, Ketua Badan Usaha Milik Kampung (BUMKam) Manainin, mereka pun ikut di ajang festival kopi tersebut. Tak banyak kopi yang dibawa ke festival saat itu. Titus mengatakan bahwa mereka hanya membawa 8 kilogram green bean dan 5 kilogram kopi bubuk.

“Seluruh peserta festival baru tahu bahwa di Papua ada kopi robusta yang dikembangkan di Kabupaten Kepulauan Yapen. Saat itu stan kami mendapat pengunjung paling banyak,” kata Titus.

Festival tersebut juga menggelar acara lelang kopi. Pemenang lelang jatuh kepada kopi arabika dari Tiom, Kabupaten Lanny Jaya, seharga Rp 5.300.000 juta per kilogram. Harga ini memecahkan rekor lelang kopi yang sebelumnya dipegang oleh kopi dari Gunung Puntang, Jawa Barat, seharga Rp 2.000.000 per kilogram. Kopi dari Ambaidiru, yang menjadi satu-satunya kopi robusta selama lelang, menempati posisi kedua dengan harga Rp 1.125.000 per kilogram.

Sementara itu, kopi arabika asal Timika dan Kampung Walesi, Kota Wamena, keduanya terjual dengan harga Rp 650.000. Dua daerah lain, yakni kopi arabika Distrik Kurulu dan kopi arabika Distrik Kiwirok, masing-masih seharga Rp 350.000 dan Rp 300.000 per kilogram.

Tak lama setelah festival berlangsung, Titus dan Yafet mendapat kesempatan untuk menghadiri upacara peringatan HUT RI ke-73 di Istana Negara. Mereka mendapat kepercayaan dari Pemda Papua untuk mewakili petani kopi. Selain kopi Ambaidiru, ada juga kopi dari Dogiyai, Lanny Jaya, dan Wamena, yang diperkenalkan dalam satu stan sama.

“Saya membawa kopi Ambaidiru mulai dari biji merah, green bean, dan juga bubuk, untuk diperkenalkan kepada tamu-tamu yang hadir. Saat menyajikan kopi Ambaidiru di Istana, pengunjung mengatakan kopi Ambaidiru enak, nikmat, dan aromanya harum,” kenang Yafet bangga.

Editor: Nina Nuraisyah

EcoBlogs Lainnya

Copyright ©2023.
EcoNusa Foundation
All Rights Reserved