Search
Close this search box.
EcoStory

Cerita Pala Bagian 1: dari Rempah Buruan Bangsa Eropa sampai Tanaman Konservasi

Bagikan Tulisan

Gudang pala di Air Merah di Kampung Bantemi menjadi salah satu dari enam gudang penampung pala terbesar di  Kabupaten Kaimana, Provinsi Papua Barat. Tumpukan karung berisi pala menjulang tinggi memenuhi gudang berukuran 10 x 20 meter tersebut.

Pala (Myristica argentea Warb) punya nilai ekonomis tinggi. Tak heran jika bangsa Eropa mengincar rempah yang satu ini hingga berabad lamanya. Setelah embargo bangsa Arab pasca penaklukan Konstantinopel pada 1453, seorang militer Portugis bernama Afonso de Albuquerque pada 1511 masuk ke Malaka. Ia mendirikan benteng yang akhirnya bisa mengkonsolidasi monopoli bangsa Portugis terhadap jalur perdagangan pala dunia. Kejayaan itu pudar kala Belanda datang untuk menaklukkan Ambon, menyingkirkan Portugis pada 1605.

Baca Juga: Mendongkrak Produktivitas Pala di Kaimana

Hingga saat ini, pala masih menjadi salah satu komoditas andalan negara kita. Indonesia merupakan negara pengekspor biji pala dan fuli terbesar karena menyumbang 75 persen pangsa pala di pasaran dunia, selain Guatemala, India, Nepal, dan Laos. Indonesia mengekspor pala ke Uni Eropa, Vietnam, Amerika Serikat, Belanda, dan Jepang. Data Direktorat Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian menyebutkan, nilai ekspor pala mencapai USD 111,69 juta pada 2018 dengan total volume ekspor sebesar 20.202 ton. 

Sedangkan data Dirjen Perkebunan pada 2016 menyebutkan produksi pala pada 2015 mencapai 33.711 ton dengan luas area tanam mencapai 168.904 hektare, dengan Maluku dan Papua sebagai penyumbang pala terbesar. Pala, terutama bagian biji dan bunga pala (fuli), dimanfaatkan di berbagai bidang. Mulai dari industri obat-obatan, parfum, dan kosmetik. 

Baca Juga: Teluk Arguni, Gudang Pala dan Komoditas Hutan Kaimana

Pala juga merupakan tanaman konservasi. Dibandingkan dengan merbau dan kayu keras lainnya, kelestarian pala justru lebih terjaga karena tidak ada masa penebangan. Pala dapat tetap berproduksi baik meskipun usianya mencapai 50 tahun. Tak heran jika banyak dijumpai pohon-pohon pala yang menjulang tinggi dan berumur ratusan tahun. Bahkan banyak pekebun menanam di halaman belakang rumah mereka lantaran nilai ekonomis biji pala.

Pala yang rimbun dan lebat itu membuat tutupan hutan tetap lestari. Jika dibandingkan dengan tanaman buah-buahan, tutupan pohon pala jauh lebih lebat. Akarnya yang dalam membuatnya tetap dapat hidup meski di daerah yang cukup kering, seperti di Distrik Arguni Bawah, Kabupaten Kaimana. 

Kampung ini tanahnya berdebu ketika kemarau. Tanahnya berwarna kemerahan dan banyak pasir. Berada di ketinggian, aliran sungai besar jauh, hampir tidak ada. Karena itulah, tak ada lahan pertanian di kampung ini. Tak banyak tanaman semusim seperti pisang, cabai, atau sayur-sayuran yang hidup di sini. Namun meski terlihat kering, warga di kampung ini tak pernah kekurangan air bersih. Tanah kerontang dan retak-retak kala kemarau, tetapi air mengalir sepanjang tahun di anak sungai.

Baca Juga: Membuka Egek, Melihat Deposito Alami Suku Moi

Air berlimpah ini tidak terlepas dari kondisi tutupan hutannya. Saat warga kampung membangun jaringan air bersih (Proyek Pamsimas), kawasan yang rimbun oleh pala nyaris tak pernah tersentuh cahaya mentari. Berkat komitmen pekebun menjaga pohon pala, kampung tak pernah kekurangan air bersih. Jaringan air bersih yang dibangun warga, bisa dinikmati warga kampung lain yang berada di bawah.

“Volume air tak pernah berkurang,’’ kata Sakeus Tafre, Pengurus Badan Usaha Milik Kampung Manggera, Distrik Arguni Bawah.

Editor: Nur Alfiyah, Leo Wahyudi

EcoBlogs Lainnya

Copyright ©2023.
EcoNusa Foundation
All Rights Reserved