Search
Close this search box.
Defending Paradise

Ekowisata, Salah Satu Jawaban Penyelamatan Hutan Partisipatif

Tulisan Terkait
Pemanfaatan jasa lingkungan melalui ekowisata menjadikan hutan tetap lestari, menghentikan pembalakan liar dan perburuan, sementara di sisi lain masyarakat menerima manfaat finansial.

Hutan hujan tropis di Indonesia menyusut seiring waktu. Tak banyak hutan yang tersisa di Sumatera dan Kalimantan. Hutan di Tanah Papua menjadi benteng terakhir yang dapat kita harapkan dan lestarikan agar tak beralih fungsi. Di sana, keanekaragaman hayati tertinggi di dunia berada: lebih dari 20.000 spesies tanaman, 602 jenis burung, 125 mamalia, dan 223 reptil.

Ekowisata menjadi salah satu alternatif cara yang dapat dilakukan untuk tetap menjaga keberadaan hutan di Indonesia. Pemanfaatan jasa lingkungan melalui ekowisata menjadikan hutan tetap lestari, menghentikan pembalakan liar dan perburuan, sementara di sisi lain masyarakat menerima manfaat finansial. Ekowisata memberikan jawaban pengelolaan hutan yang partisipatif di mana masyarakat terlibat secara langsung.

Hal tersebut menjadi pembahasan utama dalam Mari Cerita (MaCe) Papua bertajuk Cenderawasih, Ekoturisme dan Pengelolaan Hutan Papua yang menghadirkan pembicara Alex Waisimon (Pengelola Ekowisata Isio Hill), Adi Kristianto (Pengamat Burung dan Fotografer Alam), Edo Rakhman (Koordinator Koalisi Golongan Hutan), Alosius Numberi (Program Associate Pengelolaan Sumber Daya Alam Tanah Papua Yayasan EcoNusa). Hadir sebagai moderator adalah Andhyta F.Utami.

Alex menyatakan bahwa kunci ekowisata adalah memetik manfaat hutan tanpa merusak. Selain itu juga memastikan generasi mendatang dapat menikmati kesempatan melihat hutan serta keragaman hayati di dalamnya. Hal tersebut tercermin dari praktik ekowisata pengamatan burung Bukit Isio (Isio Hill’s Bird Watching) yang dikelola Alex di Rhepang Muaif Unurum Guay, Distrik Nimbokrang, Kabupaten Jayapura, Papua.

Alex berhasil menyakinkan masyarakat dari sepuluh suku untuk menjadikan lahan seluas 98.000 hektare sebagai hutan lindung dan ekowisata. Terdapat enam spesies cendrawasih yang dapat dinikmati wisatawan di sana. Totalnya, ada 84 spesies burung dari 31 famili yang bermukim di hutan.

Gagasannya membuat spot pengamatan burung berhasil menghentikan pembalakan liar dan perburuan. Alex mengubah cara pandang berburu dari senjata ke kamera. “Sesuai dengan perkembangan zaman, kita ada new hunting, berburu cara yang baru yaitu dengan ekowisata. Mereka melihat dan ambil gambar,” kata Alex.

Pengamat burung dan fotografer alam Ady Kristanto mengatakan Tanah Papua memiliki ratusan spesies burung dan berbagai burung endemik yang harus dilindungi. Ady menuturkan, ekowisata pengamatan burung dapat menjadi salah satu cara menikmati sekaligus menjaga habitat burung endemik tetap terjaga.

Namun, keberlangsungan ekowisata mendapat tantangan dari bermacam faktor. Selain alih fungsi lahan, pembangunan infrastruktur juga mengancam hilangnya habitat berbagai satwa endemik. Ady mencontohkan, pembangunan jalan lingkar luar Waigeo dan perluasan bandara mengancam hilangnya habitat cendrawasih merah (Paradisaea rubra).

“Lahan cagar alam yang terkena dampaknya sekitar 40-50 persen dari pembangunan jalan lingkar luar. Perluasan bandara sekitar 10 persen habitat yang di dekat Desa Saporkren berpotensi hilang,” ucap Ady.

Pengelolaan ekowisata perlu mendapat dukungan dari berbagai pihak. Hal ini diperlukan agar ekowisata dan hutan di dalamnya mendapat perhatian penuh dari masyarakat dan pemerintah. Yayasan EcoNusa menangkap berbagai inisiatif baik dari masyarakat dalam pengelolaan sumber daya secara berkelanjutan.

“Khususnya terkait praktik menjaga hutan. Karena hutan Papua adalah hutan hujan tropis harapan Indonesia yang perlu dijaga. Jika hutan dijaga masyarakat bisa hidup karena hutan itu. Pengelolaan hutan terbaik itu melalui jasa lingkungan,” ujar Program Associate Pengelolaan Sumber Daya Alam Tanah Papua Yayasan EcoNusa, Alosius Numberi.

Alosius menjelaskan, Yayasan EcoNusa mendampingi ekowisata di Kabupaten Kepulauan Yapen. Di sana terdapat Telaga Sarawandori yang dapat dimanfaatkan para pelancong untuk berswafoto. Pengelolaan spot foto oleh masyarakat membuat hutan di sekitar telaga tetap terjaga. “Dulu masyarakat memanfaatkan kayu di sekitar telaga. Tapi setelah tahu manfaat swafoto tidak lagi menebang kayu. Hutan di pinggir telaga dijaga untuk mendapatkan latar belakang panorama saat berfoto,” tambah Alosius.

Bagi masyarakat Papua, hutan layaknya mama yang memberikan kehidupan lintas generasi. Hutan mencukupi kebutuhan hidup masyarakat dari sandang, papan, hingga pangan. Untuk itu, diperlukan usaha bersama berbagai pihak untuk dapat melindungi hutan baik itu di Tanah Papua maupun Indonesia seluruhnya.

Koordinator Golongan Hutan Edo Rakhman menyatakan bahwa sebenarnya kekayaan hutan kalau dilestarikan jauh lebih berharga dibandingkan dialih fungsikan. Kawasan hutan yang ada di Indonesia saat ini harus kita pertahankan untuk menjadi wilayah penyangga kehidupan manusia ke depannya. Gabungan lembaga swadaya masyarakat (LSM) melalui Golongan Hutan mengajak masyarakat, terutama generasi muda, untuk memiliki kepedulian terhadap hutan. Generasi muda memilki potensi strategis, mulai dari menentukan pemimpin Indonesia hingga ikut berpartisipasi dalam pelaksanaan kebijakan terkait lingkungan hidup.

Artikel Lainnya

Copyright ©2023.
EcoNusa Foundation
All Rights Reserved