Dalam COP 26, anak muda juga digandeng untuk menyampaikan pendapat mereka tentang krisis iklim. United Nations Climate Change Conference (UNFCCC) membentuk konstituen Anak dan Pemuda yang dinamai YOUNGO pada 2009. Kini YOUNGO beranggotakan 200 organisasi anak muda dan lebih dari 5.500 individu.
Pada pertemuan COP 26, Heeta Lakhani dan Marie-Claire Graf dari YOUNGO Global mengatakan bahwa YOUNGO telah bekerja sama dengan Kepresidenan Inggris dan Sekretariat UNFCCC untuk merancang Hari Pemberdayaan Pemuda dan Publik. Mereka juga menyatukan empat generasi untuk berbagi contoh praktik terbaik demi mencapai keadilan iklim secara kolektif.
Para Menteri Pendidikan dari 23 negara juga berjanji untuk menempatkan perubahan iklim sebagai jantung kurikulum. Mereka akan menghilangkan karbon di sekolah hingga mengembangkan sumber daya sekolah.
Baca Juga: Manifestasi Sumpah Pemuda, Ribuan Pemuda Terjun dalam Aksi Muda Jaga Iklim
EcoNusa juga mendorong anak muda untuk berperan aktif dalam mengatasi krisis iklim. Selain memberikan pendidikan tentang lingkungan melalui School of Eco Diplomacy kepada para anak muda di wilayah Papua dan Maluku, EcoNusa juga menginisiasi #AksiMudaJagaIklim (AMJI) selama Oktober 2021. Gerakan AMJI yang menggerakkan kaum muda di seluruh Indonesia diisi dengan penanaman mangrove, pembersihan pantai, transplantasi terumbu karang, penanaman kerang hijau, pelepasan tukik, serta webinar dan siaran langsung Instagram tentang isu lingkungan. Aksi tersebut dilakukan di 142 titik di seluruh Indonesia.
Selama aksi tersebut, sebanyak 33.572 bibit mangrove dan pohon sudah ditanam, 1.058 terumbu karang ditransplantasi, 24.241 kilogram sampah dibersihkan, 1.000 kilogram kerang hijau ditanam, serta 200 ekor tukik dilepas. Kaum muda harus bergerak bersama melakukan aksi nyata untuk mengatasi krisis iklim ini. “Mungkin hal yang kita lakukan ini terlihat sederhana, tapi kalau kita bergerak bersama di seluruh Indonesia, maka dampaknya akan luar biasa,” kata Irene Natalia Komala, seorang influencer muda yang terlibat dalam AMJI ini.
Peran Tanah Papua dan Kepulauan Maluku
Badan Pusat Statistik mencatat luas hutan di Tanah Papua dan Kepulauan Maluku pada 2019 mencapai 39 juta hektare atau tiga kali lebih besar dari luas Pulau Jawa. Kedua wilayah tersebut menyimpan 50 persen hutan yang masih tersisa di Indonesia. Berdasarkan data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) pada 2019, stok karbon di kawasan tersebut 7.145 Gigaton.
Baca Juga: Gegara Media Sosial, Marcello Tahitoe Ogah Pakai Plastik Sekali Pakai
Menurut CEO EcoNusa, Bustar Maitar, perlindungan hutan di Tanah Papua dan Kepulauan Maluku menjadi salah satu langkah menahan laju krisis iklim. “Ini our last frontier. Tempat hutan kita yang tersisa ada di Papua dan Maluku. Laut yang masih bagus dan ikannya masih banyak juga ada di timur Indonesia. Ini tempat yang paling jauh. Tempat jauh biasanya tidak diperhatikan. Untuk itu perlu kita lindungi,” katanya.
Untuk melindungi hutan yang masih tersisa tersebut, EcoNusa bersama pemerintah daerah memberikan pelatihan pemetaan partisipatif tanah adat di beberapa wilayah di Papua Barat. Salah satunya di wilayah Kabupaten Sorong, Papua Barat. Ini dilakukan untuk mempercepat proses pengembalian wilayah ke masyarakat adat.
Baca Juga: Melindungi Wilayah Adat dari Investasi Sawit
Skema pengakuan dan perlindungan wilayah adat di Kabupaten Sorong diatur dalam Peraturan Daerah (Perda) Nomor 17 tahun 2017 dan Peraturan Bupati (Perbup) Sorong Nomor 6 Tahun 2020. “Mumpung investor belum datang dan mengambil tanah adat, maka kita harus memanfaatkan Perda pengakuan masyarakat hukum adat ini untuk melindungi wilayah adat kita. Minimal kita bisa mendapatkan Surat Keputusan Bupati sebagai jaminan untuk melindungi wilayah adat,” kata Koordinator Penelitian dan Geospasial EcoNusa, Darkono Tjawikrama.
Editor: Leo Wahyudi