Search
Close this search box.
EcoStory

Spirit Mandiri di Tengah Pandemi

Bagikan Tulisan
Homestay di Pulau Manyaifun, Kabupaten Raja Ampat, Papua Barat. (Yayasan EcoNusa/Moch. Fikri)

Pelaku usaha ekowisata di Tanah Papua menolak tunduk pada keadaan. Mereka berusaha tak bergantung kepada siapa pun, termasuk bantuan dari pemerintah. Mereka sadar, sektor pariwisata adalah salah satu industri yang lumpuh akibat pandemi COVID-19. Pembatalan jadwal kunjungan hingga menguapnya devisa negara menjadi keadaan yang tak terelakkan.

Pukulan telak COVID-19 untuk sektor pariwisata terlihat dari jumlah kunjungan wisatawan mancanegara (wisman). Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif mencatat kunjungan wisatawan mancanegara (wisman) sebanyak 470.898 orang pada Maret 2020. Dibanding periode sebelumnya dengan total kunjungan lebih dari 1,3 juta orang, kunjungan wisman turun 64,11 persen. 

Konsekuensinya jelas. Tanpa ada kunjungan wisatawan, tak ada pekerjaan dan pemasukan. Sekitar 15 ribu pekerja pariwisata di Provinsi DI Yogyakarta dirumahkan. Lebih dari 33 ribu pekerja sektor pariwisata di Jawa Barat kehilangan pekerjaannya. Lebih dari 7.000 orang pekerja wisata arung jeram pun dirumahkan.

Cerita serupa juga terjadi Kabupaten Raja Ampat, Papua Barat. Semua kunjungan yang telah dijadwalkan terpaksa dibatalkan. Homestay mendadak sepi. Tak ada tamu, tak ada aktivitas, dan tak ada pendapatan.

“Ini menjadi pukulan tersendiri. Semua homestay hampir sunyi,” ujar Kristian Sauyai, Ketua Perkumpulan Penggerak Usaha dan Penghidupan Masyarakat Asli Raja Ampat (Perjampat), dalam diskusi daring bertajuk “Dampak Pandemi COVID-19 bagi Ekowisata di Tanah Papua – Cerita dari Raja Ampat dan Jayapura” pada Rabu 13 Mei 2020.

Perjampat merupakan asosiasi homestay yang dimiliki oleh Orang Asli Papua (OAP) di Raja Ampat. Perjampat didirikan sejak 2009 dengan 8 homestay di Pulau Kri, Waigeo Selatan, dan Gam. Kini telah ada 133 homestay yang berada di bawah naungan Perjampat. Setiap pulau di Raja Ampat telah berdiri homestay anggota Perjampat.

Semangat pendirian Perjampat didasari atas keinginan untuk mandiri dalam mencari pendapatan dan meningkatkan kapasitas masyarakat, sambil melindungi keanekaragaman hayati. Perjampat menjalin serangkaian kerja sama dengan mitra pembangunan untuk meningkatkan kualitas layanan. Pada akhir 2019 misalnya, Perjampat melakukan kegiatan penanaman kembali pohon sagu di Kampung Manyaifun, Distrik Waigeo Selatan, yang mereka gunakan untuk pembuatan homestay. Sebagai industri seumur jagung, pandemi COVID-19 bukanlah hal yang mudah untuk dihadapi anggota Perjampat.

“Situasi (pandemi) ini membuat teman-teman harus bergerak dengan cara lain untuk bertahan hidup. Beberapa orang fokus untuk mempertahankan apa yang sudah ada,” ungkap Kristian.

Berbeda dengan jenis wisata lainnya, ekowisata tak mampu berdiri sendiri. Bisnis pemanfaatan jasa lingkungan ini beririsan dengan alam dan masyarakat. Bila keduanya tak berjalan harmonis, praktik ekowisata tak mampu menarik pelancong untuk berkunjung.

Menyadari kelindan  relasi tersebut, anggota Perjampat tetap mengawasi laut sekitar mereka dari penangkapan sumber daya kelautan dengan praktik yang tak bertanggung jawab. Salah satunya dilakukan oleh masyarakat Kampung Yenbuba di Pulau Kri. “Mereka melarang penangkapan ikan di diving site. Karena ada kelompok tertentu yang menggunakan situasi ini untuk menangkap ikan secara liar dan merusak lingkungan,” ujar Kristian.

Semangat kemandirian

Tanpa adanya penghasilan dari kunjungan wisatawan membuat masyarakat kembali pada kehidupan sebelumnya. Mereka kembali berkebun agar kebutuhan pangan tercukupi. Kegiatan ini dilakukan karena semangat mereka untuk tak bergantung pada bantuan. Mereka juga kembali mengunjungi hutan yang selalu menyediakan segala hal yang diperlukan. “Hutan bisa memberikan apa saja yang kita mau tanpa kita harus bergantung bantuan dari pemerintah, bantuan dari dana desa,” tandas Kristian.

Semangat berdaulat untuk bertahan hidup tanpa mengandalkan bantuan juga ditunjukkan oleh Demianus Wasage, Manajer di Trek-Papua Tours. Demianus menawarkan jasa menyusuri alam dan budaya Papua kepada pelancong. Bersama Demianus, peminat pengamatan burung menghabiskan waktu hingga dua puluh hari masuk-keluar hutan. Setelah pandemi merebak, jadwal kunjungan dibatalkan.

“Sejauh ini yang dibatalkan sudah 30 orang. Yang masih dalam tahap diskusi, lumayan banyak,” kata Demianus.

Untuk menambal kebutuhan hidupnya Demianus beralih profesi sebagai penjual nasi kuning. Ia juga memburu babi hutan dan menjualnya ke pasar. Di sisi lain, pandemi memberikan waktu luang lebih banyak kepada Demianus. Ia membuat jalur trekking baru bersama pemilik hutan adat di Kampung Dosay dan Sosi, Jayapura Barat. Ia juga mengidentifikasi hewan liar di sepanjang jalur trekking sebagai tawaran wisata baru nantinya.

Ary S Suhandi, pendiri dan Direktur Indonesian Ecotourism Network (INDECON), menyatakan sektor pariwisata memerlukan waktu untuk pulih pascapandemi COVID-19. Pengelola ekowisata dapat menyiapkan perubahan teknis dalam merespon new normal. Menurutnya, ke depannya para pelancong akan lebih sensitif pada kesehatan, kebersihan, dan keamanan pasca pandemi COVID-19.

“Kesadaran lebih tinggi terhadap kesehatan dan perubahan alam memberikan keuntungan tersendiri terhadap pariwisata Tanah Papua,” kata Ary.

Para pelaku pariwisata harus melakukan penyesuaian untuk menyambut wisatawan setelah pandemi berlalu. Ary menyarankan agar para pelaku wisata membersihkan lingkungan secara rutin, menyediakan tempat cuci tangan dan sabun. Para juru masak juga harus menggunakan sarung tangan dan masker. Tempat tidur di homestay pun harus disesuaikan jaraknya, misalnya.

Menurut Ary, ekowisata yang tersebar di Tanah Papua memiliki peluang lebih besar untuk berkembang pascapandemi. Wisatawan akan datang dengan kelompok kecil agar dapat menikmati sajian alam dan budaya Tanah Papua.

Editor: Leo Wahyudi

EcoBlogs Lainnya

Copyright ©2023.
EcoNusa Foundation
All Rights Reserved