Search
Close this search box.
Search
Close this search box.
EcoStory

Setelah Pencabutan Izin Perusahaan Sawit di Papua Barat, Lalu Bagaimana?

Bagikan Tulisan

Belasan izin perusahaan perkebunan kelapa sawit di Papua Barat dicabut pada pertengahan 2021. Di tengah upaya mengendalikan krisis iklim, kabar pencabutan izin tersebut seperti oasis di tengah terik padang pasir. Ada harapan baru bagi masyarakat adat untuk dapat mengelola tanah adat mereka secara berkelanjutan. Kemudian, setelah dicabut apa yang akan terjadi selanjutnya?

Evaluasi perizinan perkebunan kelapa sawit membuahkan hasil positif setelah menghabiskan waktu selama tiga tahun. Sejak 2018, tim evaluasi perizinan saling berkoordinasi dengan berbagai kementerian dan lembaga dalam mengevaluasi izin 24 perusahaan. Hasil evaluasi tersebut disampaikan dalam rapat tertutup pada akhir Februari 2021 lalu. 

“Kami berharap tindak lanjut dari proses ini bisa mendorong masyarakat adat secara signifikan dalam pengelolaan sumber daya alam di Papua Barat,” kata Gubernur Papua Barat, Dominggus Mandacan dalam rapat koordinasi Hasil Evaluasi Perizinan Perkebunan Kelapa Sawit di Kantor Gubernur Papua Barat, Kamis, 25 Februari 2021 lalu.

Baca juga: PTUN Jayapura Kembali Tolak Gugatan Perusahaan Sawit

Evaluasi perizinan menggunakan Penilaian Usaha Perkebunan (PUP) sebagai instrumen penilaian. Pada perusahan sawit yang telah berproduksi, tim evaluasi menggunakan PUP Operasional, sedangkan PUP Tahap Pembangunan digunakan pada perusahaan yang berada dalam proses pembangunan kebun kelapa sawit.

Pencabutan Izin

“Hasil penilaian tersebut menunjukkan bahwa seluruh konsesi perkebunan kelapa sawit melakukan kesalahan administratif dan operasional,” kata Koordinator Penelitian dan Geospasial Yayasan EcoNusa, Darkono Tjawikrama. Kesalahan tersebut termasuk dalam melaksanakan prinsip kelestarian pembangunan kebun kelapa sawit berkelanjutan berdasarkan kriteria Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) dan Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO).

Ada 24 perusahaan perkebunan kelapa sawit di Papua Barat yang memiliki konsesi seluas sekitar 759.000 hektare. Dari jumlah tersebut, sekitar 625.000 hektare di antaranya adalah kawasan hutan. Namun, tak semua konsesi telah ditanami. Dari sekitar 400.000 hektare konsesi aktif, hanya sekitar 134.000 hektare yang telah ditanam kelapa sawit. 

Menindaklanjuti hasil evaluasi, delapan bupati mencabut izin enam belas perusahaan perkebunan kelapa sawit seluas 340.000 hektare. Hal ini tidak saja memberi kabar baik pada upaya mengendalikan krisis iklim, tetapi juga upaya membentuk kedaulatan masyarakat dalam mengelola sumber daya alam secara berkeadilan dan berkelanjutan. 

Baca juga: CEO Yayasan EcoNusa: Pencabutan Izin Perusahaan Harus Diikuti Pengembalian Hak Masyarakat Adat

Pemerintah Papua Barat bergerak cepat untuk mengembalikan lahan konsesi kepada masyarakat adat. Sekitar tujuh bulan usai pencabutan izin oleh delapan bupati, Dominggus Mandacan menerbitkan Peraturan Gubernur Papua Barat Nomor 25 Tahun 2021 tentang Tata Cara Penetapan Pengakuan Masyarakat Hukum Adat dan Wilayah Adat. 

“Pergub tersebut bertujuan sebagai pedoman penetapan pengakuan masyarakat adat dan wilayah adat. Dengan demikian, masyarakat adat memiliki legalitas dalam mengelola wilayah adat mereka sendiri yang sebelumnya merupakan lahan konsesi perkebunan sawit,” ujar Darkono. 

Dalam Pasal 4 Pergup 25/2021, pemerintah provinsi dan kabupaten/kota diwajibkan untuk membentuk panitia masyarakat adat yang bertugas mengidentifikasi, melakukan verifikasi dan validasi, serta menetapkan masyarakat adat dan wilayah adat. Identifikasi masyarakat adat dilakukan dengan menimbang sejarah, letak dan luas wilayah, hukum adat, sistem pemerintahan adat, dan benda-benda adat.

Salah satu daerah yang telah melaksanakan Pergup 25/2021 adalah Kabupaten Sorong. Pembentukan panitia didasari Keputusan Bupati Sorong Nomor 224/Kep. 408/XI/Tahun 2021 tentang Panitia Masyarakat Hukum Adat Kabupaten Sorong. Dalam menjalankan tugasnya, panitia terdiri dari akademisi, pakar hukum adat, lembaga swadaya masyarakat, dan masyarakat adat.

Baca juga: Jalan (Masih) Panjang di Balik Kemenangan

“Tahap demi tahap kita lakukan. Yang penting pemetaan (wilayah adat), setelah itu bentuk hak-hak pengakuan dari pemerintah terhadap masyarakat adat kita kembalikan dulu secara resmi. Mereka (masyarakat adat) akan tahu hak-hak mereka,” ucap Bupati Sorong Johny Kamuru usai acara Outlook EcoNusa 2022 pada awal Maret 2022.

Penguatan kapasitas kampung

Johny mengatakan, usai masyarakat adat menerima secara resmi hak pengelolaan wilayah adat, Pemerintah Kabupaten Sorong akan memberikan penguatan kapasitas kepada masyarakat adat. Ia mencontohnya, salah satu program yang mungkin dilakukan adalah program pertanian organik “Program pertanian supaya meningkatkan pendapatan mereka. Walaupun kecil tapi berkelanjutan,” ujarnya. 

Terkait program penguatan kapasitas, Yayasan EcoNusa memiliki program bernama Sekolah Eco-Involvement (SEI). SEI merupakan program pendidikan kader pembangunan kampung (desa) dalam mewujudkan keadilan sosial. Hal itu ditempuh dengan menumbuhkan kader yang peduli terhadap pembangunan kampung. 

Baca juga: EcoNusa Outlook 2022: Pendekatan Rasa di Timur Indonesia

Hingga Desember 2021, SEI telah diselenggarakan di Kabupaten Sorong, Kabupaten Merauke, kabupaten Halmahera Selatan, Kabupaten Seram Bagian Barat, Kabupaten Kaimana, dan Kabupaten Sorong Selatan. Dari enam kawasan tersebut, 64 kampung telah berpartisipasi dalam program SEI. Dari sisi peserta, ada 158 kepala kampung dan 146 kader kampung yang mengikuti SEI. 

Program pembelajaran selama SEI berlangsung disesuaikan dengan kondisi daerah tersebut. Untuk Kabupaten Merauke misalnya, kelas pembelajaran dibagi menjadi dua, yakni program pangkalan data dan program pertanian organik. Cristofora Kwerkujai, peserta SEI Merauke asal Kampung Erambu, mempelajari pertanian organik dan berhasil menjual hasil panennya hingga pendapat penghasilan lebih untuk ditabung. 

Sedangkan, Billy Matemko, warga Kampung Bupul, mempelajari pangkalan data sebagai basis pembangunan kampung. Billy mengumpulkan data sosial, sektoral, dan spasial. Data sosial menyangkut data demografi masyarakat namun dalam taraf yang lebih mendalam. Selain mengumpulkan data demografi (jumlah orang dalam satu rumah, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan, dan golongan darah), tim pangkalan data juga mengumpulkan data pendidikan, kesehatan, mata pencaharian, hingga sistem pemerintahan desa.

Baca juga: Menata Ulang Kampung di Merauke Berbasis Data

Data sektoral diperlukan untuk menganalisis produksi pangan dengan ekosistem di sekitar kampung. Misalnya, data luas lahan, jenis tanah, cuaca, sumber aliran air, tumbuhan obat yang tersedia, situs sejarah dan budaya, warisan adat, kesenian tradisional, dan jaringan jalan.

Data spasial memiliki peran yang krusial bagi masyarakat, terutama di Kampung Bupul yang telah dikelilingi konsesi perkebunan kelapa sawit. Melalui peta spasial, masyarakat bisa mengetahui potensi kampung dan mempertahankan hak adat mereka. “Karena di dalam hutan itu ada kehidupan. Ada sumber daya alam seperti ikan, daging, obat-obatan yang bisa dimanfaatkan. Ada banyak juga yang belum kita gali. Kalau memang ada pembangunan, wilayah mana yang harus dikasih, masyarakat sudah tahu,” ujar Billy.  

Editor: Leo Wahyudi

EcoBlogs Lainnya

Copyright ©2023.
EcoNusa Foundation
All Rights Reserved