Search
Close this search box.
EcoStory

Mengelola Sumber Penghidupan Masyarakat Kaimana, Papua Barat

Bagikan Tulisan
Pembuatan rumah pengering serba guna dalam kegiatan Sekolah Transformasi Sosial (STS) di Kaimana, Papua Barat. (Yayaysan EcoNusa/Carmelita Mamonto)

Mengelola sumber penghidupan masyarakat kampung secara mandiri menjadi salah satu langkah membangun ketangguhan masyarakat di Tanah Papua. Untuk mencapai hal itu, peningkatan kapasitas masyarakat seyogianya berjalan terus-menerus seiring perkembangan ilmu pengetahuan. Keterlibatan berbagai pemangku kepentingan diharapkan mempercepat proses tersebut. 

Yayasan EcoNusa bersama Perdikan/Insist Yogyakarta berupaya membangun ketangguhan masyarakat di Kabupaten Kaimana, Provinsi Papua Barat, melalui program Sekolah Eco Involvement (SEI). Kegiatannya antara lain Workshop Kepala Kampung (WKK) dan Sekolah Transformasi Sosial (STS). WKK diikuti oleh para kepala kampung dan ketua Badan Musyawarah Kampung (Bamuskam) pada 21-23 Juni 2021. Sedangkan STS diikuti oleh kaum muda dari 12 kampung yakni Kampung Guriasa, Yarona, Edor, Kooy, Manggera, Egerwara, Warmenu, Kufuryai, Seraran, Mai mai, Sisir II, dan Marsi pada 25 Juni hingga 16 Juli 2021.

Pelaksanaan STS terbagi menjadi dua kelas, yakni teknologi budidaya pertanian pangan organik dan teknologi pengering serbaguna menggunakan energi terbarukan dengan energi matahari dan briket dari arang tempurung. Masyarakat yang terbiasa menggunakan pola perladangan berpindah juga mendapat pengetahuan baru tentang pengujian kesuburan tanah, pengelolaan benih, pembibitan, pengendalian hama dan penyakit tanaman, teknik produksi pupuk cair dan padat organik, serta teknik produksi pestisida hayati. 

Baca juga: Koperasi LJP, Upaya Peningkatan Ekonomi Masyarakat

Bagi Alif Furu, wakil dari Kampung Seraran, mengendalikan hama secara organik adalah pengalaman baru baginya.  Bunga matahari yang jamak ditemui di kampung dapat digunakan sebagai pengendali hama, seperti hama penggerek batang buah, daun, biji, dan akar. Bunga berwarna terang menghasilkan nektar yang menjadi makanan predator seperti serangga, capung, lebah, tungau, laba-laba. Saat hama bertengger di sayur-mayur, selain bunga matahari predator juga tergiring memangsa hama tanaman.

“Selama ini saya belum tahu kegunaan bahan-bahan yang terdapat di lingkungan kita masing-masing. Kalau kita kekurangan bibit, sekarang kita dapat mengolahnya di kampung masing-masing,” ujar Alif. 

Sementara itu, Milton Isoga, dari Kampung Kooy mendapatkan pengetahuan baru dalam pembuatan rumah pengering. Menurutnya, proses pembuatan rumah pengering jauh lebih sulit karena memerlukan penghitungan bahan dan pengelasan dengan akurat. 

Baca juga: Mengembalikan Hutan Papua Barat kepada Pemiliknya

“Cara-cara (pembuatan rumah pengering) dengan menghitung itu pekerjaan sulit. Tidak sama kerja dengan kayu. Kayu itu hanya ada paku. Kalau (rumah) pengering pakai las, pengukuran, baut, itu semuanya sulit,” ujarnya. Milton akan menggunakan rumah pengering baru tersebut untuk meningkatkan kualitas produksi pala dan kopra yang selama ini dikeringkan secara tradisional.

Koordinator Program SEI dan Penghubung Program Region Maluku Yayasan EcoNusa, Carmelita Mamonto, mengatakan, 12 kampung tersebut dipilih karena letaknya yang berdekatan dengan hutan. Kemampuan mengelola sumber daya alam secara berkelanjutan akan menjadi modal utama menghadapi risiko kehilangan sumber penghidupan akibat potensi pembukaan hutan untuk ekspansi perkebunan atau pembangunan infrastruktur.

Tanpa kemampuan mengenali dan memanfaatkan sumber daya alam yang ada, masyarakat akan cenderung bergantung pada pihak luar untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Padahal mereka memiliki sumber daya alam berlimpah. Mereka diharapkan mampu untuk mandiri dalam memenuhi kebutuhan pangan dengan pengetahuan yang diberikan dari program SEI ini. 

Baca juga: Mengapa Pemuda Papua Perlu Meneliti Tanah Papua?

“Kalau dibiarkan, masyarakat berada dalam kondisi kerentanan yang tinggi karena masih bergantung banyak dari luar. Padahal sumber kehidupan dan penghidupan itu ada di kampung. Sementara sebagian besar penghasilan mereka digunakan untuk belanja pangan. Jadi kalau pangan bisa disediakan sendiri akan mengurangi pengeluaran rumah tangga,” kata Carmelita. 

Selain pendampingan intensif, rekomendasi usai pelaksanaan WKK dan STS adalah pemetaan sosial dan spasial di 12 kampung. Menurut Carmelita, melalui pemetaan, masyarakat kampung dapat mengetahui sumber daya alam yang mereka miliki. Dari hasil pemetaan, masyarakat dapat merencanakan berbagai potensi pengembangan kampung. “Kalau ada pemetaan sosial bisa update, misalnya berapa jumlah kepala keluarga. Dari pemetaan spasial masyarakat bisa tahu seberapa besar hutan mereka, siapa pemiliknya, tanah yang kosong akan digunakan untuk apa,” ucap Carmelita.

Editor: Leo Wahyudi & Nur Alfiyah

EcoBlogs Lainnya

Copyright ©2023.
EcoNusa Foundation
All Rights Reserved