Berprofesi sebagai akademisi dan pejabat daerah membuat Charlie D. Heatubun sering keluar-masuk hutan untuk penelitian. Dia adalah Guru Besar Botani dan Sumber Daya Hutan, Fakultas Kehutanan, Universitas Papua, dan Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Daerah Papua Barat. Pengalaman ini membuatnya mengimani bahwa hutan adalah tempat yang tak tergantikan. Tak ada teknologi yang dapat menggantikan arti dan peran hutan. Hutan adalah “ibu” yang memberikan kasih tak ternilai kepada masyarakat. Hutan adalah sumber inspirasi bagi kebudayaan. Hutan adalah taman bermain yang membuat para peneliti tersenyum takjub.
“Hutan bagi saya sendiri merupakan sebuah dunia yang mengasyikkan. Saat saya berada di hutan, semua masalah di luar sana hilang dalam sekejap dan saya merasakan suasana yang nyaman. Betul-betul menginspirasi sehingga bisa menghasilkan karya yang bermanfaat,” kata Charlie, saat ditemui EcoNusa di Taman Wisata Alam Gunung Meja di Manokwari, Papua Barat, pada medio Juni 2021.
Sepanjang hidupnya, Charlie kerap bersua dengan hutan. Dia adalah peneliti flora dengan spesialisasi pada tanaman palem atau famili Arecaceae. Saat menjadi peneliti kehormatan dan profesor tamu di Royal Botanic Gardens, Kew, Inggris, Charlie yang melakukan studi di hutan Papua menemukan spesies pinang baru.
Baca juga: Izin Bermasalah, Warga Merasa Kena Tipu
Temuan tersebut dia namakan Pinang Unipa (Areca unipa) dan dipublikasikan di jurnal Phytotaxa pada 2013. Dua tahun sebelumnya, Charlie menemukan tujuh spesies pinang baru, lima di antaranya adalah spesies endemik Kalimantan. Temuan tersebut juga dipublikasi di jurnal Phytotaxa pada September 2011.
Untuk menghargai jasa Presiden Joko Widodo terhadap pengembangan Tanah Papua, Charlie menyematkan nama Presiden Jokowi pada spesies pinang yang ditemukan di hutan lembah di Gunung Daweri, Kabupaten Nabire, Provinsi Papua. Pinang Jokowi (Areca jokowi Heatubun) dipublikasikan di jurnal Phytotaxa pada 2016.
Berbagai spesies baru yang ditemukan Charlie dan para peneliti lainnya tak mungkin terjadi tanpa kondisi hutan yang sehat. Dua provinsi di timur Indonesia menjadi benteng terakhir hutan hujan tropis di Indonesia mengingat hutan di Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi telah terkikis akibat alih fungsi hutan.
Menjaga Alam
Menyadari kekayaan alam merupakan keunggulan sekaligus identitas masyarakat, Provinsi Papua Barat menetapkan diri sebagai “Provinsi Konservasi” pada Oktober 2015 (Provinsi lain yang mendeklarasikan diri dengan konsep serupa adalah Provinsi Gorontalo dan Kalimantan Timur). Abraham O. Atururi, Gubernur Papua Barat saat itu, berkeinginan untuk menggunakan sumber daya alam secara bertanggung jawab.
Komitmen melindungi sumber daya alam terus berlanjut dengan dengan penyelenggaraan Konferensi Internasional Keanekaragaman Hayati, Ekowisata, dan Ekonomi Kreatif (ICBE) pada 2018. ICBE berhasil mengikat komitmen Papua Barat dan Papua melalui Deklarasi Manokwari. Keduanya bersepakat untuk membangun Tanah Papua secara berkelanjutan berbasis wilayah adat.
Deklarasi Manokwari kemudian diperkuat dengan disahkannya Peraturan Daerah Khusus (Perdasus) Nomor 10 Tahun 2019 tentang Pembangunan Berkelanjutan di Provinsi Papua Barat dan Perdasus Nomor 9 Tahun 2019 tentang Pedoman Pengakuan, Perlindungan, Pemberdayaan Masyarakat Hukum Adat dan Wilayah Adat. “Kami berusaha melaksanakan pembangunan ini dengan bijaksana. Daerah lain mengupayakan peningkatan ekonomi dengan ekstraksi sumber daya alam, tapi kami berpikir sebaliknya,” ujar Charlie.
Baca juga: Penyelamatan Hutan Papua dan Maluku Tak Hanya Menyangkut Kelestarian Cenderawasih
Dalam kacamata ekonomi klasik, Papua Barat termasuk provinsi yang “aneh”. Betapa tidak, dalam Deklarasi Manokwari misalnya disebutkan Rencana Tata Ruang Wilayah Papua Barat mengakomodir 70 persen daratan dan 50 persen perairan sebagai kawasan lindung. Sebagai provinsi termiskin kedua di Indonesia, menyejahterakan Orang Asli Papua (OAP) sekaligus menjalankan komitmen Deklarasi Manokwari bak mencari jarum di tumpukan jerami.
Namun dalam kacamata pembangunan berkelanjutan, komitmen yang tertuang dalam Deklarasi Manokwari tak sulit untuk dipahami. Papua Barat, dengan luas hutan mencapai 24,8 juta hekatare (data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan tahun 2018) menyimpan berbagai kekayaan tak ternilai yang berada di dalam hutan.
Publikasi di jurnal Nature yang dilakukan oleh peneliti lintas negara mendapati bahwa Pulau Papua menggeser posisi Madagaskar sebagai pulau dengan biodiversitas flora tertinggi. Terdapat 13.364 spesies flora dengan 68 persen di antaranya adalah spesies endemik di Pulau Papua, sementara Madagaskar memiliki 11.488 spesies flora.
Krisis Iklim
Tidak hanya kekayaan flora, ada 716 jenis burung, 125 mamalia, dan 223 reptil. Cenderawasih, jenis burung dari keluarga Paradisaeidae, juga tersebar di hutan-hutan Pulau Papua. Dari sekitar 40 spesies, 28 spesies di antaranya hidup di Tanah Papua dan Kepulauan Maluku. Kemudian, 4 spesies lainnya hanya ditemukan di Papua Barat, tepatnya di Kawasan Pegunungan Arfak.
“Cenderawasih favorit saya itu Parotia Arfak (Parotia sefilata). Kalau display dia seperti menari, makanya sering disebut ‘Balerina dari Pegunungan Arfak’. Keanekaragaman hayati ini akan terus bertambah. Masih banyak daerah yang belum dieksplorasi. Yang perlu ditekankan adalah keanekaragaman ini perlu dilestarikan karena punya kontribusi menghadapi krisis iklim secara global,” ucap Charlie.
Baca juga: Igya Ser Hanjop, Pengelolaan Ruang Ekologi Suku Arfak
Bila kenaikan suhu berlanjut hingga mencapai 2 derajat celciuscelsius, krisis iklim akan memberikan dampak yang sangat besar bagi Tanah Papua. Tidak hanya kehilangan keanekaragaman hayati, namun juga berimbas pada budaya dan kehidupan masyarakat adat. Charlie dan beberapa ilmuwan lainnya membuat simulasi dampak krisis iklim hingga 2070 melalui penelitian Climate Change Threatens New Guinea’s Biocultural Heritage di jurnal Science Advance.
Hasil penelitian tersebut memprediksi kepunahan spesies tanaman endemik di Pulau Papua. Flora endemik di dataran tinggi punah karena perubahan suhu yang menghangat. Flora dataran rendah menginvasi flora dataran tinggi. Akibatnya, masyarakat adat kehilangan sumber pangan, budaya, dan bahasa terkait kepunahan tersebut.
“Krisis iklim harus segera kita tindak lanjuti. Ambil langkah cepat, kurangi, cegah fakta terburuk yang bisa akan terjadi. Ini menyangkut identitas dan juga pintu masuk mempelajari kebudayaan berbagai macam flora, terutama terkait ritual budaya, pengobatan tradisional yang saat ini belum kita tahu kandungan (zat) yang ada,” kata Charlie.
Editor: Leo Wahyudi & Nur Alfiyah