Indeks Kerukunan Umat Beragama (KUB) 2019 yang dikeluarkan oleh Kementerian Agama menempatkan Provinsi Papua Barat di peringkat wahid dari 34 provinsi. Skor indeks KUB Provinsi Papua Barat 82,1, melebihi skor indeks KUB rata-rata nasional sebesar 73,83. Peringkat berikutnya diikuti oleh Nusa Tenggara Timur, Bali, Sulawesi Utara, dan Maluku. Sebagai perbandingan, Jakarta yang merupakan kota kosmopolitan nan heterogen mendapat skor indeks di bawah rata-rata nasional, yakni hanya 71,3.
Skor Indeks KUB ditentukan oleh beberapa faktor. Di antaranya, korelasi antara pendidikan keluarga, pendapatan rumah tangga, heterogenitas agama, implementasi kearifan lokal, dan peran Kementerian Agama. Dalam konteks Papua Barat, faktor penentu tersebut berkorelasi dengan kearifan lokal yang mengakar kuat di masyarakat. Kondisi seperti ini terlihat dalam aktivitas sehari-hari di Kabupaten Fakfak dengan konsep Satu Tungku Tiga Batu. Inilah filosofi kerukunan hidup dalam pluralisme bermasyarakat.
Berdasarkan publikasi Kabupaten Fakfak dalam Angka 2020 (2020), Kabupaten Fakfak dihuni oleh 78.686 jiwa pada 2019. Mayoritas penduduknya beragama Islam (43.696 jiwa). Sedangkan sisanya memeluk agama Kristen Protestan (16.819 jiwa), Katolik (15.027 jiwa), Hindu (21 jiwa), dan Buddha (10 jiwa). Penduduk Kabupaten Fakfak tersebar di 149 kampung di 17 distrik.
Selain penduduk asli, Kabupaten Fakfak juga dihuni oleh beragam etnis yang telah ada jauh sebelum Indonesia terbentuk. Menurut Saidin Ernas dalam Simbol Politik dan Harmoni Sosial: Makna Satu Tungku Tiga Batu dalam Dinamika Politik Lokal di Fakfak Papua Barat (2015), pendatang dari Maluku dan Arab menginjakkan kaki di Fakfak pada abad ke-17 melalui perdagangan dan misi penyebaran agama.
Baca juga: Idul Fitri di Tanah Papua, Tak Mengadakan Tradisi Pawai Silaturahmi karena Pandemi
Etnis Bugis, Makassar, dan Buton datang ketika pemerintahan Indonesia telah terbentuk. Mereka menetap di Fakfak saat proses integrasi Papua dengan Indonesia berlangsung. Sedangkan pendatang dari Jawa tiba di Fakfak sebagai transmigran pada 1996.
Pertemuan berbagai agama dan budaya tersebut menciptakan sikap saling menghormati dan menghargai dalam setiap sendi kehidupan di Fakfak. Saidin mencatat, terdapat tradisi bakubantu/masohi, yaitu sikap saling membantu bahkan dalam pembangunan rumah ibadah meski berbeda agama. Ada pula budaya tombormarge, kewajiban saling membantu dalam penyelenggaraan kegiatan keagamaan. Semboyan Satu Tungku Tiga Batu membuat toleransi tanpa menghilangkan relasi antarmanusia berserta kepercayaannya.
Abbas Bahambah, budayawan Fakfak, menyatakan bahwa Suku Mbaham Matta Wuh memasak menggunakan tungku, disangga tiga batu besar berukuran sama dalam pola melingkar. Tungku menjadi simbol kehidupan. Sedangkan tiga batu dimaknai sebagai relasi antara “kau”, “saya”, dan “dia”.
Menurut Daud Alfons Pandie dalam Konsep “Satu Tungku Tiga Batu” Sosio-Kultural Fakfak sebagai Model Interaksi dalam kehidupan Antarumat Beragama (2018), tungku menjadi representasi dari tanah. Masyarakat Fakfak memaknai tanah sebagai tempat semua makhluk hidup bernaung. Tiga Batu menjadi simbol penyangga kehidupan sosial masyarakat, yakni adat, pemerintah, dan agama.
Baca juga: Sinara, Menghargai Leluhur dan Merawat Alam
Heru Suroto, peneliti Balai Arkeologi Papua menyatakan bahwa masyarakat Fakfak memandang tiga agama, yakni Islam, Katolik, dan Kristen Protestan, sebagai agama keluarga. Dalam satu keluarga lazim ditemukan tiga pemeluk agama berbeda. “Sehingga muncul semboyan ‘Satu Tungku Tiga Batu, Satu Hati Satu Saudara’ untuk mempererat harmonisasi antar sesama,” kata Heru.
Menurut Heru, tingginya toleransi masyarakat Fakfak tercermin dalam bentuk arsitektur Masjid Patimburak di Kampung Patimburak, Distrik Kokas. Raja Pertuanan Wertuar membangun Masjid Patimburak pada 1870 dengan memadukan bentuk masjid dan gereja.
“Jika dilihat dari kejauhan, masjid terlihat seperti gereja. Kubahnya mirip arsitektur gereja-gereja di Eropa,” kata Heru.
Penerapan Satu Tungku Tiga Batu dalam kehidupan sehari-hari menarik untuk disimak lebih jauh. Abbas bercerita, umat Nasrani menjadi panitia hari raya Idul Fitri. Dalam kesempatan yang berbeda, umat Islam akan mengurus perayaan Natal. Saling membantu lintas agama juga terjadi saat pemberangkatan jamaah haji maupun upacara pentahbisan di gereja.
“Yang membedakan adalah ritual keagamaannya. Yang berbeda agama tentu tidak akan terlibat pada ritualnya. Setiap hari raya kita juga pelesiran, berkunjung, atau bersilaturahmi karena dalam satu marga keluarga ada beberapa agama di dalamnya. Ini adalah bentuk kerukunan,” papar Abbas.
Baca juga: Pemuka Agama Diminta Ikut Selamatkan Hutan Tropis Indonesia
Kerukunan juga terlihat di Kampung Air Besar, Distrik Fakfak Tengah, Kabupaten Fakfak, yang dihuni oleh 604 jiwa. Mayoritas penduduknya beragama Kristen Protestan. Hanya 6 orang beragama Islam. Saat berpuasa, Halim Samsyu, penduduk Kampung Air Besar, mendapat makanan dari warga non-Muslim. Saat merayakan Lebaran, Halim balik mengundang penduduk untuk menikmati hidangan di rumahnya.
“Saya punya saudara Kristen dan Katolik. Cuma saya yang Muslim. Jadi di rumah saya, kalau mau dipakai untuk ibadah Kristen silakan,” ucap Halim yang menjadi Kepala Kampung sejak 2015.
Beranjak dari Kabupaten Fakfak, kerukunan umat beragama juga dapat dijumpai di Kampung Kambala, Distrik Buruway, Kabupaten Kaimana, Provinsi Papua Barat. Tim Ekspedisi Mangrove, akhir tahun lalu mendapat kesempatan berbincang dengan Amiruddin Kamay, guru agama Islam. Menurut Amiruddin, penduduk Kampung Kambala hidup harmonis dengan mengenal konsep keluarga sesama manusia.
“Sebagai manusia kita adalah keluarga sesama manusia. Kalau keluarga sesama agama beda lagi. Tapi sesama manusia adalah satu keluarga dan harus dijaga kerukunan itu. Baik itu manusia antarumat beragama, individu atau suku bangsa, harus dijaga. Karena kalau kita pisah-pisah nanti hidupnya tidak bagus. Sedangkan kita hidup itu butuh kedamaian,” tegas Amiruddin.
Editor: Leo Wahyudi