Search
Close this search box.
Search
Close this search box.
EcoStory

Pulau Um, Simbol Kelestarian Alam

Bagikan Tulisan
Pantai berpasir putih di Pulau Um, Distrik Makbon, Sorong. (Yayasan EcoNusa/Nur Alfiyah)

Tanah Papua memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi. Beragam spesies hewan hidup di pulau yang berada di ujung timur Indonesia ini. Salah satunya di Pulau Um yang  terletak tak jauh dari Kota Sorong, Papua Barat. Pulau berpasir putih yang menjadi salah satu tujuan wisata ini menjadi rumah bagi beragam spesies mamalia dan burung.

Um adalah pulau mungil yang terletak di Distrik Makbon. Hanya butuh berjalan kaki sekitar 15 menit untuk mengelilingi seluruh tepi pulau tersebut. Meski daratannya kecil, di pulau ini hidup ribuan mamalia dan burung. Jenis yang paling mendominasi adalah kelelawar, camar, burung mata merah, gagak, dan maleo. Mereka tinggal di hutan mini yang berada di pulau tersebut. “Semua hewan yang berada di Pulau Um dilarang diambil,” kata Yoap Mabale, salah satu pemuda Malaumkarta yang mengantarkan EcoNusa ke Pulau Um, Senin, 6 September 2021.  

Baca Juga: Igya Ser Hanjop, Pengelolaan Ruang Ekologi Suku Arfak

Pulau Um terletak tepat di seberang Kampung Malaumkarta yang dihuni oleh masyarakat adat suku Moi. Selain tinggal di Malaumkarta, suku Moi juga mendiami kampung di area Malaumkarta Raya lainnya, seperti Makbon dan Mibi. Mereka menyepakati aturan tradisional untuk mengelola sumber daya alam mereka, termasuk hutan dan perairan.

Dalam istilah lokal, aturan tersebut dikenal dengan egek. Egek merupakan konservasi tradisional berupa larangan memanfaatkan sumber daya alam di suatu daerah dalam kurun waktu tertentu. “Untuk Pulau Um, egek diberlakukan selamanya, tidak boleh diambil kapan pun,” kata Ketua Perkumpulan Pemuda Generasi Malaumkarta (PGM) Torianus Kalami.

Wisatawan menyaksikan rombongan kelelawar meninggalkan Pulau Um. Setiap sore, hewan tersebut pergi untuk mencari makan, sementara burung-burung, seperti camar, pulang ke pulau tersebut. (Yayasan EcoNusa/Nur Alfiyah)

Masyarakat suku Moi mempercayai bahwa alam memiliki kekuataan. Jika mereka melanggar aturan, alam akan marah. Mereka pun memiliki legenda turun-temurun tentang Pulau Um. Konon, pulau tersebut dulunya lebih besar dari sekarang. Masyarakat dilarang membawa babi atau pun menyentuh maleo di pulau tersebut. Dulu pernah ada orang yang melanggar aturan dengan membawa babi ke Um. Alam menghukumnya dengan menenggelamkan rumah orang tersebut. “Kalau menyelam di dekat Pulau Um, ada batu yang bentuknya rumah, kami mempercayai itu adalah rumah pelaku. Sampai sekarang pun kalau ada yang bawa babi, pasti hujan deras,” kata Tori.

Baca Juga: Kearifan Lokal Egek, Upaya Perlindungan Hutan Malaumkarta Raya

Selain mempercayai kekuatan tersebut, masyarakat pun tidak menangkap hewan yang ada di pulau itu karena mereka paham hubungan timbal-balik antara manusia dengan alam. Burung dan kelelawar akan menjatuhkan biji dari buah yang mereka makan. Biji-bijian tersebut akan tumbuh dan berbuah. Manusia jugalah yang memanfaatkan buah dan pohon dari biji tersebut.

Pulau Um dapat dijangkau dengan menyeberang dari Kampung Malaumkarta, Mibi, atau Makbon. Dari Kota Sorong, kampung-kampung tersebut bisa ditempuh sekitar 1,5 jam perjalanan menggunakan mobil, melewati jalanan beraspal yang berkelok dan naik-turun membelah hutan kampung. Dari Malaumkarta, kita bisa menyeberang ke Pulau Um dengan menyewa perahu penduduk. Jika air sedang tenang, perjalanan dengan perahu ini cukup ditempuh selama 7 menit. 

Baca Juga: Ekosistem Kompleks Pengaruhi Endemisitas dan Keragaman Cenderawasih

Kita bisa menyaksikan ribuan burung tersebut bergantian menjaga Pulau Um menjelang matahari tenggelam. Satu per satu, kelelawar itu terbang meninggalkan pulau untuk mencari makan. Ketika langit mulai berubah warna menjadi lembayung, rombongan kelelawar yang terbang bertambah banyak.  Di saat bersamaan, kawanan burung-burung lain, seperti camar,  pulang ke pulau untuk beristirahat. “Banyak pulau lain yang indah, tapi tidak ada yang seperti Pulau Um yang memiliki banyak burung,” kata Tori.   


Editor: Leo Wahyudi  

EcoBlogs Lainnya

Copyright ©2023.
EcoNusa Foundation
All Rights Reserved