Search
Close this search box.
EcoStory

Bandikut, Tikus Babi Endemik dari Tanah Papua

Bagikan Tulisan

Tanah Papua adalah rumah agung dan surga biodiversitas di dunia. Keanekaragaman hayati yang ada di Tanah Papua terbilang unik karena menyimpan banyak spesies satwa dan tumbuhan dengan karakter Indo-Malesia dan Australis. Pada wilayah daratan rendah, flora dan fauna yang ditemui banyak memiliki kemiripan dengan spesies di wilayah Asia Tenggara dan Australia, sedang untuk wilayah dataran tinggi dan pegunungan mempunyai karakter yang amat khas dan unik karena terisolasi.

Baca juga: Hutan Halmahera, Pesona yang Terancam

Dilansir Kompas, alam Tanah Papua menjadi habitat bagi 602 spesies burung dengan 52 persennya adalah endemik, 223 jenis reptil dengan 35 persen spesies endemik, dan 125 spesies mamalia dengan tingkat endemisitas sebesar 55 persen.

Salah satu spesies endemik yang hidup di alam Papua adalah bandikut. Bandikut merupakan satwa peralihan antara Australia Utara dan Papua Nugini yang tersebar di wilayah Papua, Papua Nugini, dan Australia. Penyebarannya di Tanah Papua tersebar mulai dari Pulau Waigeo, Biak, Yapen, bagian utara dari timur Manokwari, Merauke, hingga ke arah selatan Pulau Nugini dengan ketinggian 1.550 meter di atas permukaan laut. Dari delapan spesies bandikut yang dapat ditemukan di Tanah Papua, dua di antaranya merupakan jenis endemik, yaitu bandikut cokelat utara (Isoodon macrourus) dan Bandikut Raffay (Perorcytes raffrayana). 

Hewan pengerat ini mempunyai moncong hidung agak panjang. Oleh karena itu spesies ini dikenal juga dengan sebutan tikus babi. Hewan ini juga memiliki tubuh dengan rambut berwarna coklat kekuningan bercorak agak kehitaman, dan cenderung agak terang di bagian pipi dan tenggorokannya. Rata-rata bobot tubuh hewan ini adalah 400-2000 gram. Cakar di kaki depan spesies marsupial ini amat cekatan menggali tanah untuk menemukan umbi-umbian, dan kaki belakangnya yang panjang membuat bandikut bisa melompat jauh layaknya kangguru.

Baca juga: Sagu, Tanaman Sejuta Manfaat yang Terancam oleh Pembangunan

Bagi masyarakat di Tanah Papua, khususnya petani, bandikut dianggap hama karena merusak hasil panen di kebun. Bandikut biasanya memakan petatas (ubi), kasbi (singkong), dan tanaman jagung yang ada. Oleh karena itu, hewan ini biasa ditangkap dan diburu menggunakan jerat ataupun anjing pemburu di malam hari.Selain diburu karena menjadi hama, spesies ini pun menjadi sumber protein bagi masyarakat di Tanah Papua. Bandikut banyak diburu untuk dikonsumsi dagingnya. Sebuah penelitian yang dilakukan Frandz Rumbiak Pawere dan John Arnold Palulungan dari Fakultas Peternakan Universitas Papua pada tahun 2020 menyatakan bahwa dalam sekali perburuan, masyarakat bisa mendapatkan dan mengonsumsi 1-10 ekor bandikut. Tak hanya itu, daging satwa ini juga dijual di pasar dengan harga cukup tinggi, yaitu Rp100.000 sampai Rp200.000 per ekor.

Kekayaan keanekaragaman hayati yang tersimpan di Tanah Papua tak hanya penting dalam menopang kehidupan masyarakat. Namun juga berperan vital dalam menjaga keseimbangan ekosistem. Hutan pun yang menjadi “supermarket” megah bagi masyarakat asli, terutama yang hidup berbatasan dengan hutan, juga berperan besar terhadap penyerapan karbon dan menjaga keseimbangan iklim. Mari kita jaga bersama kelestarian hutan dan keanekaragaman hayati di dalamnya, untuk mendukung carbon net sink dan mengendalikan perubahan iklim. Agar masa depan kehidupan kita semua di bumi ini menjadi lebih baik dan berkelanjutan.

Editor: Nur Alfiyah

EcoBlogs Lainnya

Copyright ©2023.
EcoNusa Foundation
All Rights Reserved