Search
Close this search box.
EcoStory

G20 Kunci Perubahan Paradigma Pembangunan

Bagikan Tulisan
CEO EcoNusa Bustar Maitar (kiri) dan Kepala Perwakilan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Indonesia Valerie Julliand (tengah) menjadi pembicara di Seminar “The Development of Indonesia’s Blue Economy Roadmap” di Belitung, Rabu, 7 September 2022. (Yayasan EcoNusa/Nur Alfiyah)


Setiap negara ingin menyejahterakan rakyatnya lewat pembangunan. Pembangunan selama ini diterjemahkan sebagai pertumbuhan ekonomi. Sumber daya alam pun disebut tidak terbatas dan kita bisa mengambil sebanyak yang kita inginkan.

“Apakah ada akhir untuk pertumbuhan ekonomi?  Tidak ada akhir untuk pertumbuhan ekonomi kecuali batas yang dimiliki planet kita,” kata Valerie Julliand, Kepala Perwakilan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Indonesia, dalam Seminar “The Development of Indonesia’s Blue Economy Roadmap”, salah satu Side Event G20 yang diselenggarakan di Belitung, Rabu, 7 September 2022.

Namun, konsep pembangunan demi pertumbuhan ekonomi tersebut telah mengakibatkan rusaknya lingkungan yang berefek pada perubahan iklim. Perubahan iklim berdampak pada semua sendi kehidupan, mulai dari cuaca yang makin tidak menentu, meningkatnya kekeringan, kenaikan permukaan air laut, hilangnya spesies, berkurangnya stok makanan, hingga meningkatnya risiko kesehatan.  

Baca Juga: Inklusivitas dan Keberlanjutan Pengelolaan Perikanan dalam Ekonomi Biru Indonesia 

Karena itu, kata Valerie, paradigma tentang pembangunan harus diubah. Pertumbuhan ekonomi bukanlah obat mujarab untuk menyejahterakan manusia. “Kita tidak ingin bertumbuh lebih, tapi kita ingin hidup lebih baik,” ujarnya.

Menurut Valerie, negara anggota G20 bisa menjadi kunci perubahan tersebut. Karena 20 negara yang tergabung dalam G20 menyumbang 80 persen gas rumah kaca di dunia. Saat ini ada 193 negara yang diakui di dunia. “Artinya 10 persen negara tersebut menyumbang 80 persen gas rumah kaca,” tuturnya.   

CEO EcoNusa, Bustar Maitar, sepakat dengan hal tersebut. Ia menambahkan, negara-negara G20 harus secara drastis mengurangi emisi yang dihasilkan. “Kalau emisi tidak diturunkan, apa pun yang kita lakukan akan sia-sia,” katanya.

Baca Juga: Peran Nyata Karbon Biru Papua Mengendalikan Emisi Dunia

Menurut Bustar, transisi menuju ekonomi yang ramah lingkungan bisa dilakukan. Bustar mencontohkan, saat ia bekerja di Greenpeace, ia mengadvokasi perusahaan untuk menyetop penggundulan hutan. Upaya ini banyak mengalami hambatan. Namun setelah bertahun-tahun, pada 2013 salah satu perusahaan kertas terbesar di dunia akhirnya menyatakan akan menghentikan deforestasi dan diikuti oleh perusahaan-perusahaan lain. “Perubahan itu hal yang mungkin,” ujarnya.   

Menurut Valerie, untuk mengurangi dampak kerusakan lingkungan tersebut, pemerintah tidak bisa bekerja sendirian. Perlu ada pelibatan dari lembaga-lembaga swadaya masyarakat dan masyarakat sendiri. “Semua pemangku kepentingan punya peran yang berbeda untuk dimainkan,” katanya.

Pemerintah, kata Valerie, punya peranan untuk membuat kebijakan yang tepat yang berpihak kepada lingkungan. Bersama organisasi mitra pembangunan internasional, pemerintah pun bertugas mengidentifikasi sumber daya keuangan agar kebijakan bisa berjalan. Sedangkan lembaga swadaya masyarakat berperan memberikan edukasi karena merekalah yang bekerja lebih dekat dengan masyarakat. “Mereka adalah orang-orang yang ada di lapangan. Masyarakat bisa ikut berpartisipasi jika mereka mendapatkan pendidikan yang tepat,” ujarnya.

Baca Juga: Krisis Iklim Mengancam Kesejahteraan Nelayan Indonesia

Keterlibatan masyarakat itu sangat penting. Masyarakat kadang tidak menyadari bahwa apa yang ia gunakan akan berdampak besar terhadap lingkungan. Misalnya, penggunaan plastik. Banyak sampah plastik yang akhirnya bermuara di lautan. Pada 2050 jumlah sampah plastik di lautan diperkirakan lebih banyak dari pada ikan. “Saat ini bahkan ada pulau sampah yang mengambang di Samudra Pasifik yang seukuran dengan negara saya, Prancis. Prancis bukanlah negara kecil,” katanya.

Bustar mengatakan, jika masyarakat tidak paham, mereka tidak akan terlibat dalam perubahan tersebut. “Masyarakat adat, masyarakat lokal tidak dapat berpartisipasi jika mereka tidak memiliki informasi,” ujarnya.

Ia menambahkan, kebijakan ekonomi baru harus terintegrasi lintas sektor. Perencanaan yang tepat juga perlu diperkuat mulai dari level nasional hingga ke kampung-kampung.

Selain itu, perlu adanya akses keuangan bagi daerah dan masyarakat. Saat ini, kata Bustar, ada banyak sekali pendanaan dari komunitas internasional untuk mendukung komunitas lokal. Namun, pendanaan tersebut sangat sulit untuk dijangkau. Padahal masyarakat adat akan sangat terdampak oleh perubahan iklim yang disebabkan oleh negara-negara G20. “Perlu dipikirkan bagaimana membuka akses keuangan untuk masyarakat adat atau pemerintah daerah, sehingga mereka juga dapat menghasilkan sesuatu untuk mendukung pemulihan ekonomi dan pembangunan hijau,” katanya.

Editor: Leo Wahyudi

EcoBlogs Lainnya

Copyright ©2023.
EcoNusa Foundation
All Rights Reserved