Search
Close this search box.
EcoStory

Merawat Jaring Harapan di Kampung Segun

Bagikan Tulisan
Peserta Sekolah Transformasi Sosial (STS) Segun mempelajari cara memperbaiki jaring ikan yang rusak agar dapat digunakan kembali. (Yayasan EcoNusa/Lutfy Putra)

Yefta Fadan terpaku memerhatikan jalinan benang nilon yang membentang di depannya. Saat teman-teman lain bisa bersenda gurau, Yefta irit bicara. Jemarinya menyusuri tiap helaian benang nilon agar tak terjadi kesalahan dalam memotong jaring ikan yang rusak saat melaut. Salah memotong jaring berarti memperpanjang waktu memperbaiki jaring dan membuat pola jaring berantakan.

“Memperbaiki jaring tidak mudah. Kita harus potong dulu jaring yang rusak, tapi itu juga tidak gampang. Salah potong nanti jaringnya berantakan,” kata Yefta sambil merajut benang nilon pada Kamis, 6 Oktober 2022, di pekarangan rumah warga di Kampung Segun, Distrik Segun, Kabupaten Sorong.

Selain Yefta, beberapa pemuda lain turut mempelajari keterampilan cara memperbaiki jaring ikan. Mereka berasal dari tujuh kampung yang tersebar di tiga distrik di Kabupaten Sorong, antara lain yakni Kampung Segun, Malamas, Gisim, Klajaring, Waimon di Distrik Segun, Kampung Ningjemur di Distrik Moisegen, dan Kampung Kasimle di Distrik Seget.

Baca juga: Menanti Kehadiran Jalan Darat di Distrik Segun

Memperbaiki jaring merupakan salah satu materi di kelas perikanan yang diajarkan dalam kegiatan Sekolah Transformasi Sosial (STS) di Kampung Segun. Selain kelas perikanan, peserta STS juga mengikuti kelas pertanian organik dengan menanam keladi, rica, dan sayur-mayur, dan kelas perkebunan dengan budidaya dan pengolahan sagu.

Sejak berusia 18 tahun, Yefta telah familiar dengan dunia perikanan. Kampung Waimon yang berhadapan langsung dengan Laut Seram memungkinkan masyarakat untuk mengelola sumber daya perikanan yang melimpah. Sayangnya, hal itu belum diimbangi dengan ketersediaan pasar dan kapasitas masyarakat.

Hasil tangkapan ikan masyarakat tak terserap seluruhnya oleh pasar. Konsumen tak tertarik dengan ikan segar. Ikan kakap, nila, kerapu, baronang hanya berakhir di meja makan masyarakat. Konsumen baru tertarik bila ikan telah diolah menjadi ikan asin. “Ikan segar per kilogram harganya Rp5.000. Tidak menutupi biaya bensin. Beda dengan ikan kering yang sudah diasinkan harganya Rp40.000 per kilogram,” ujar Yefta.

Baca juga: Mewujudkan Ketahanan Pangan di Kampung Seraran dengan Padi Organik

Lobster menjadi satu-satunya komoditas yang telah mendapatkan pasar. Jika debit air dalam kondisi setengah pasang atau konda, dan air cukup jernih, dalam sehari masyarakat bisa mendapatkan seratus ekor lobster. Jika arus kencang dan jarak pandang kabur, dalam sehari hanya lima belas ekor lobster yang berhasil ditangkap.

“Kami jual lobster ke pengepul. Harganya Rp70 ribu per kilogram. Kalau arus air laut sedang bagus bisa dapat 200 kilogram ke atas. Misalnya dapat 300 kilogram, bisa dapat Rp21 juta. Nanti dikurangi pengeluaran bensin dan keperluan lain. Sekali molo (menyelam) bisa habis 25 liter,” kata Yefta.

Selain bahan bakar, jaring termasuk dalam pengeluaran tambahan yang mengurangi pendapatan. Jaring sering kali rusak karena tersangkut karang atau kayu. Sekali rusak, jaring akan berakhir di tempat pembuangan. Sebelumnya, masyarakat Waimon belum mengetahui cara memperbaiki kerusakan jaring.

Baca juga: Cerita Pala Kaimana, dari Dorongan Pembibitan Sampai Pelatihan Pala Goyang

Kelas perikanan STS Segun membuat peserta STS menyimpulkan bahwa jaring tak harus dibuang bila mengalami kerusakan. Satu jaring baru dibeli seharga Rp300 ribu. Dalam sekali melaut masyarakat menggunakan hingga dua puluh jaring. “Kalau saya punya jaring rusak, nyuruh orang lain anyam ongkosnya Rp150 ribu satu jaring. Sekarang sudah bisa perbaiki sendiri,” kata Yefta.

Fasilitator kelas perikanan STS, Sadrak Wambraw, mengatakan bahwa nelayan sudah sepatutnya dapat membuat dan memperbaiki jaring. Selain menambah pengeluaran, jaring yang dibuang sering kali menjadi sampah berbahaya bagi ekosistem dan kapal nelayan.

Sampah jaring memberikan dampak besar bagi ekosistem laut dengan siklus yang berulang. Jaring akan membuat ikan tersangkut dan merusak ekosistem. Setelah ikan tersebut terurai, jaring kembali melayang di lautan dan menjebak kembali ikan. Kondisi itu membuat jaring dijuluki sebagai silent killer.

Baca juga: Transformasi Sosial

“Jaring bisa bikin mesin rusak orang lain punya kendaraan laut. Baling-baling patah atau gerigi mesinnya habis. Ganggu kendaraan yang lewat. Kalau rusak di laut kita harus bawa dia (jaring), taro di tempat sampah,” kata Sadrak.

Menurut pengakuan Sadrak, beberapa kali ia melihat nelayan membuat jaring sembarangan. Ia khawatir hal itu dapat membuat ekosistem laut rusak dan menyulitkan saat mencari ikan di laut. “Saya tegur. Jangan tutup laut ini supaya dia punya pernafasan lancar,” ujar Sadrak.

STS Segun merupakan bagian dari Sekolah Eco Involvement (SEI) yang diselenggarakan oleh Yayasan EcoNusa. Program tersebut bertujuan untuk mendukung Pemerintah Kabupaten Sorong dalam membangun ketangguhan kampung yang masuk dalam wilayah konsesi kelapa sawit. Usai izin usaha perkebunan dicabut oleh Johny Kamuru, Bupati Sorong kala itu, Pemerintah Kabupaten Sorong berupaya mendorong ketangguhan masyarakat melalui program-program ketangguhan pangan.

Baca juga: Kampung Marsi Butuh Pelatihan Perawatan Pala

SEI yang diikuti oleh 29 perserta diawali dengan Workshop Kepala Kampung (WKK) yang berlangsung selama dua hari. Para kepala kampung dan perwakilan Badan Musyawarah Kampung (Bamuskam) berdiskusi menentukan arah pembangunan kampung agar efektif dan tepat sasaran. 

Editor: Leo Wahyudi

EcoBlogs Lainnya

Copyright ©2023.
EcoNusa Foundation
All Rights Reserved